Menakar Divestasi 51% Saham Freeport
A
A
A
Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan
Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
SUNGGUH amat mengagetkan keputusan Freeport yang menyetujui semua tuntutan Indonesia dalam perundingan. Betapa tidak, Freeport sebelumnya sangat ngotot memaksakan tuntutannya tanpa sedikit pun mau berkomitmen memenuhi tuntutan Indonesia. Bahkan Freeport, melalui CEO Freeport McMoRan Richard C Adkerson, sempat melontarkan ancaman kepada Indonesia saat tuntutannya tidak dipenuhi. Salah satunya, Freeport akan memerkarakan Pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional, bila tuntutannya tidak dipenuhi dalam 120 hari.
Tuntutan Indonesia dalam perundingan itu adalah perubahan kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan tiga persyaratan, yaitu smelterisasi, divestasi 51% saham, dan penggunaan tax regime prevailing (besaran pajak dan royalti yang berubah seiring dengan perubahan peraturan di Indonesia). Sementara tuntutan Freeport, pembangunan smelter dengan syarat kontrak diperpanjang selama 20 tahun hingga berakhir pada 2041, divestasi saham maksimal 30%, dan penggunaan tax regime nail down (besaran pajak dan royalti yang tetap).
Belakangan Freeport menarik ancamannya untuk memerkarakan Indonesia ke Arbitrase Internasional tak lama setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memberikan izin sementara ekspor konsentrat. Adanya izin ekspor itu semakin menguatkan posisi tawar Freeport dalam perundingan sehingga semakin keukeuh memaksakan tuntutannya. Freeport juga sempat membantah keras klaim Jonan bahwa Freeport sudah menyetujui divestasi 51% saham. Adanya klaim dan bantahan tersebut mengindikasikan bahwa pada saat itu perundingan belum menemukan titik temu, yang berpotensi deadlock.
Di tengah ancaman deadlock itu, Freeport tiba-tiba menyetujui begitu saja semua tuntutan Indonesia. Barangkali perubahan sikap Freeport itu salah satunya disebabkan oleh sikap keras Presiden Joko Widodo bahwa kewajiban IUPK dengan semua persyaratannya merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam jumpa pers disampaikan bahwa Freeport telah menyetujui perubahan KK menjadi IUPK dengan ketiga persyaratannya. Sementara Indonesia menyetujui perpanjangan kontrak selama 10 tahun, yang bisa diperpanjang 2 kali sepuluh tahun.
Divestasi 51% Saham Freeport
Keputusan Freeport itu memang lebih menguntungkan bagi Indonesia, lantaran semua tuntutan Indonesia telah diakomodasi oleh Freeport. Namun, keputusan itu tidak bermakna sama sekali bagi Indonesia, kalau tidak ada penjabaran yang lebih terperinci untuk implementasinya, utamanya divestasi 51% saham.
Pemerintah perlu mengatur mekanisme pelepasan saham hingga 51% dan metode penetapan harga jual saham. Mekanisme divestasi yang harus dilakukan adalah penawaran langsung kepada pemerintah. Sementara penetapan harga saham dengan menggunakan metode replacement cost atau biaya penggantian investasi, yang tidak memasukan nilai cadangan yang masih di dalam tanah.
Pada saat Freeport harus menjual 10% saham tahun lalu, selain variabel nilai aset, Freeport juga memasukan variabel nilai cadangan. Dampaknya, harga jual saham Freeport kala itu sangat tinggi, bahkan dinilai over value. Pada saat itu, Freeport menawarkan 10,64% sahamnya senilai USD1,7 miliar atau sekitar Rp22,1 triliun (USD1 setara Rp13.000). Asumsi yang digunakan oleh Freeport adalah KK akan diperpanjang selama 20 tahun sehingga cadangan yang diperhitungkan dalam penetapan harga saham itu hingga 2041.
Sementara berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, dengan metode replacement cost, harga 10,64% saham Freeport dinilai sebesar USD630 juta atau sekitar Rp8,19 triliun. Asumsinya, tanpa memasukkan variabel cadangan dalam perhitungan harga saham. Adanya perbedaan perhitungan nilai saham tersebut menyebabkan pemerintah tidak bersedia membeli 10,64% saham Freeport. Akibatnya, Freeport tetap saja menggenggam mayoritas saham sebesar 90,64%, sedangkan Indonesia hanya 9,36% selama 50 tahun terakhir.
Penetapan harga divestasi saham sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 27/2013. Sesuai aturan itu, penetapan divestasi saham dengan metode replacement cost atau biaya penggantian investasi kumulatif, yang dikeluarkan tahap eksplorasi sampai dengan waktu divestasi. Penetapan harga saham tersebut tanpa memperhitungkan variabel cadangan tambang yang masih di bawah tanah. Pertimbangannya, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai Pasal 33 UUD 1945.
Lalu, berapa harga yang harus dibayar Indonesia untuk mencapai 51% saham Freeport? Kalau perhitungannya memasukkan nilai cadangan hingga 2041, nilai 100% saham Freeport diperkirakan sebesar USD159 miliar setara dengan Rp211 triliun. Untuk mencapai 51% saham Freeport, Indonesia masih membutuhkan 41,36% saham sehingga nilainya diperkirakan sekitar USD65,76 miliar atau sekitar Rp85 triliun.
Namun, kalau menggunakan metode replacement cost, tanpa memasukkan nilai cadangan sesuai Permen Nomor 27/2013, harga 100% saham Freeport diperkirakan sekitar USD5,9 miliar atau setara Rp78 triliun. Untuk mencapai 51% saham Freeport, harga saham yang harus dibayar diperkirakan sebesar USD2,44 miliar atau setara Rp31,72 triliun.
Memang berat bagi pemerintah untuk membeli saham Freeport senilai Rp31,72 triliun dengan menggunakan dana APBN. Namun, Holding BUMN Tambang yang merupakan gabungan PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Timah Tbk, dan PT Inalum, sangat mampu untuk membeli saham Freeport hingga mencapai 51%. Total aset Holding BUMN Tambang itu diperkirakan sekitar Rp107 triliun. Dengan total aset sebesar itu, tidak terlalu sulit bagi Holding BUMN Tambang untuk membeli divestasi 51% saham Freeport, baik menggunakan sumber dana internal, maupun sumber dana eksternal.
Berdasarkan hitung-hitungan itu, Holding BUMN Tambang sangat mampu untuk membeli saham Freeport hingga mencapai 51%. Pada saat Indonesia sudah menguasai mayoritas saham, pada saat itulah Indonesia harus mengambil alih pengelolaan Pertambangan Freeport secara mandiri sebagai operator. Tanpa pengambilalihan pengelolaan Freeport, barangkali tidak ada gunanya divestasi saham 51% bagi Indonesia. Dengan pengambilalihan operasi Freeport, Indonesia semakin berpeluang memanfaatkan hasil tambang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai amanah UUD 1945.
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan
Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas
SUNGGUH amat mengagetkan keputusan Freeport yang menyetujui semua tuntutan Indonesia dalam perundingan. Betapa tidak, Freeport sebelumnya sangat ngotot memaksakan tuntutannya tanpa sedikit pun mau berkomitmen memenuhi tuntutan Indonesia. Bahkan Freeport, melalui CEO Freeport McMoRan Richard C Adkerson, sempat melontarkan ancaman kepada Indonesia saat tuntutannya tidak dipenuhi. Salah satunya, Freeport akan memerkarakan Pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional, bila tuntutannya tidak dipenuhi dalam 120 hari.
Tuntutan Indonesia dalam perundingan itu adalah perubahan kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan tiga persyaratan, yaitu smelterisasi, divestasi 51% saham, dan penggunaan tax regime prevailing (besaran pajak dan royalti yang berubah seiring dengan perubahan peraturan di Indonesia). Sementara tuntutan Freeport, pembangunan smelter dengan syarat kontrak diperpanjang selama 20 tahun hingga berakhir pada 2041, divestasi saham maksimal 30%, dan penggunaan tax regime nail down (besaran pajak dan royalti yang tetap).
Belakangan Freeport menarik ancamannya untuk memerkarakan Indonesia ke Arbitrase Internasional tak lama setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memberikan izin sementara ekspor konsentrat. Adanya izin ekspor itu semakin menguatkan posisi tawar Freeport dalam perundingan sehingga semakin keukeuh memaksakan tuntutannya. Freeport juga sempat membantah keras klaim Jonan bahwa Freeport sudah menyetujui divestasi 51% saham. Adanya klaim dan bantahan tersebut mengindikasikan bahwa pada saat itu perundingan belum menemukan titik temu, yang berpotensi deadlock.
Di tengah ancaman deadlock itu, Freeport tiba-tiba menyetujui begitu saja semua tuntutan Indonesia. Barangkali perubahan sikap Freeport itu salah satunya disebabkan oleh sikap keras Presiden Joko Widodo bahwa kewajiban IUPK dengan semua persyaratannya merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam jumpa pers disampaikan bahwa Freeport telah menyetujui perubahan KK menjadi IUPK dengan ketiga persyaratannya. Sementara Indonesia menyetujui perpanjangan kontrak selama 10 tahun, yang bisa diperpanjang 2 kali sepuluh tahun.
Divestasi 51% Saham Freeport
Keputusan Freeport itu memang lebih menguntungkan bagi Indonesia, lantaran semua tuntutan Indonesia telah diakomodasi oleh Freeport. Namun, keputusan itu tidak bermakna sama sekali bagi Indonesia, kalau tidak ada penjabaran yang lebih terperinci untuk implementasinya, utamanya divestasi 51% saham.
Pemerintah perlu mengatur mekanisme pelepasan saham hingga 51% dan metode penetapan harga jual saham. Mekanisme divestasi yang harus dilakukan adalah penawaran langsung kepada pemerintah. Sementara penetapan harga saham dengan menggunakan metode replacement cost atau biaya penggantian investasi, yang tidak memasukan nilai cadangan yang masih di dalam tanah.
Pada saat Freeport harus menjual 10% saham tahun lalu, selain variabel nilai aset, Freeport juga memasukan variabel nilai cadangan. Dampaknya, harga jual saham Freeport kala itu sangat tinggi, bahkan dinilai over value. Pada saat itu, Freeport menawarkan 10,64% sahamnya senilai USD1,7 miliar atau sekitar Rp22,1 triliun (USD1 setara Rp13.000). Asumsi yang digunakan oleh Freeport adalah KK akan diperpanjang selama 20 tahun sehingga cadangan yang diperhitungkan dalam penetapan harga saham itu hingga 2041.
Sementara berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, dengan metode replacement cost, harga 10,64% saham Freeport dinilai sebesar USD630 juta atau sekitar Rp8,19 triliun. Asumsinya, tanpa memasukkan variabel cadangan dalam perhitungan harga saham. Adanya perbedaan perhitungan nilai saham tersebut menyebabkan pemerintah tidak bersedia membeli 10,64% saham Freeport. Akibatnya, Freeport tetap saja menggenggam mayoritas saham sebesar 90,64%, sedangkan Indonesia hanya 9,36% selama 50 tahun terakhir.
Penetapan harga divestasi saham sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 27/2013. Sesuai aturan itu, penetapan divestasi saham dengan metode replacement cost atau biaya penggantian investasi kumulatif, yang dikeluarkan tahap eksplorasi sampai dengan waktu divestasi. Penetapan harga saham tersebut tanpa memperhitungkan variabel cadangan tambang yang masih di bawah tanah. Pertimbangannya, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai Pasal 33 UUD 1945.
Lalu, berapa harga yang harus dibayar Indonesia untuk mencapai 51% saham Freeport? Kalau perhitungannya memasukkan nilai cadangan hingga 2041, nilai 100% saham Freeport diperkirakan sebesar USD159 miliar setara dengan Rp211 triliun. Untuk mencapai 51% saham Freeport, Indonesia masih membutuhkan 41,36% saham sehingga nilainya diperkirakan sekitar USD65,76 miliar atau sekitar Rp85 triliun.
Namun, kalau menggunakan metode replacement cost, tanpa memasukkan nilai cadangan sesuai Permen Nomor 27/2013, harga 100% saham Freeport diperkirakan sekitar USD5,9 miliar atau setara Rp78 triliun. Untuk mencapai 51% saham Freeport, harga saham yang harus dibayar diperkirakan sebesar USD2,44 miliar atau setara Rp31,72 triliun.
Memang berat bagi pemerintah untuk membeli saham Freeport senilai Rp31,72 triliun dengan menggunakan dana APBN. Namun, Holding BUMN Tambang yang merupakan gabungan PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Timah Tbk, dan PT Inalum, sangat mampu untuk membeli saham Freeport hingga mencapai 51%. Total aset Holding BUMN Tambang itu diperkirakan sekitar Rp107 triliun. Dengan total aset sebesar itu, tidak terlalu sulit bagi Holding BUMN Tambang untuk membeli divestasi 51% saham Freeport, baik menggunakan sumber dana internal, maupun sumber dana eksternal.
Berdasarkan hitung-hitungan itu, Holding BUMN Tambang sangat mampu untuk membeli saham Freeport hingga mencapai 51%. Pada saat Indonesia sudah menguasai mayoritas saham, pada saat itulah Indonesia harus mengambil alih pengelolaan Pertambangan Freeport secara mandiri sebagai operator. Tanpa pengambilalihan pengelolaan Freeport, barangkali tidak ada gunanya divestasi saham 51% bagi Indonesia. Dengan pengambilalihan operasi Freeport, Indonesia semakin berpeluang memanfaatkan hasil tambang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai amanah UUD 1945.
(rhs)