Komisioner ke-6 KPK

Rabu, 06 September 2017 - 08:00 WIB
”Komisioner ke-6”...
Komisioner ke-6 KPK
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar dan
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017



FRIKSI
di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak wajar lagi. Friksi itu bahkan sangat tidak sehat karena berpotensi menampilkan ketua bayangan atau komisioner ke-6. Untuk tujuan penguatan peran dan fungsi sekaligus mencegah meluasnya ekses penyalahgunaan wewenang, KPK harus terbuka terhadap koreksi.

Seperti sejumlah fraksi di DPR yang telah mengambil risiko siap tidak populer dengan membentuk panitia khusus (pansus) untuk masalah KPK, Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Brigadir Jenderal Pol Aris Budiman pun telah mengambil risiko sama. Aris dicemooh oleh sejumlah kalangan yang telah kehilangan daya kritisnya, karena mereka menolak mencerna atau memaknai esensi penuturannya tentang friksi di tubuh KPK.

Informasi yang dikemukakan Aris malah disalahartikan sebagai upaya pembusukan dari dalam. Aneh bin ajaib karena para pencemooh Aris berasumsi bahwa orang-orang di dalam KPK itu innocent. Tapi, semua itu tak lebih dari upaya membentuk opini publik untuk coba mempertahankan status quo KPK saat ini.

Dengan bertutur tentang adanya friksi di tubuh KPK, secara tidak langsung Aris mengonfirmasi cerita lama tentang perilaku insubordinasi (ketidakpatuhan kepada atasan) beberapa oknum di KPK. Cerita lama itu berkisah tentang arogansi sekelompok oknum tertentu di KPK. Mereka arogan karena merasa sangat yakin bahwa kinerja KPK ditentukan oleh sepak terjang mereka. Demikian besarnya cengkeraman kelompok ini di dalam KPK sehingga Aris menyebutnya full power. Pimpinan dan komisioner pun kerap dibuat tidak berdaya.

Aris sudah merasakan sendiri perilaku insubordinasi bawahannya ketika dia berusaha meningkatkan kualifikasi penyidik asal Polri dari AKP (ajun komisaris polisi) ke level Kompol (komisaris polisi). Kepada Pansus DPR, dia mengaku seorang penyidik yang sangat berpengaruh bahkan menentang kebijakannya sebagai atasan. Artinya, cerita tentang perilaku insubordinasi beberapa oknum di KPK itu bukan isapan jempol, tetapi fakta.

Lalu, kenapa Aris harus dipersalahkan? Mana yang mestinya lebih diutamakan; mengungkap borok agar bisa segera diobati? Atau menutupi borok itu demi status quo?

Seperti diketahui, Aris akhirnya dihadapkan ke sidang Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK atas tindakannya hadir di RDP (rapat dengar pendapat) Pansus Hak Angket. Kalau pimpinan KPK konsisten menegakkan aturan, mereka yang diketahui sering menentang atasan seharusnya juga dihadapkan sidang DPP KPK.

Insubordinasi yang terjadi di KPK bukanlah hal baru. Kecenderungan itu terjadi hampir di semua institusi atau kementerian. Selalu saja ada raja-raja kecil yang lebih dipatuhi para pegawai dibandingkan derajat kepatuhan pegawai kepada menteri misalnya.

KPK jangan sampai mengadaptasi kecenderungan itu, maka insubordinasi di tubuh KPK harus segera dihentikan agar tidak muncul ketua bayangan. Tidak boleh ada upaya membangun kekuatan tersembunyi dengan menunggangi kerja pemberantasan korupsi.

Pansus Hak Angket KPK sudah mencatat sejumlah temuan yang menggambarkan adanya persoalan serius pada aspek tata kelola. Misalnya, masalah pencatatan barang sitaan. Apakah persoalan ini sudah diketahui sebelumnya oleh ketua dan para wakil ketua KPK? Kalau pimpinan KPK sudah tahu, tetapi tidak melakukan pembenahan, kepemimpinan ketua dan para wakil ketua patut dipermasalahkan. Sebaliknya, jika masalah pencatatan barang sitaan itu tidak diketahui pimpinan KPK, berarti masalah insubordinasi di tubuh KPK sudah akut.

Arus Tuduhan

Karena itu, pimpinan KPK harus fokus pada apa yang dikemukakan Dirdik KPK Aris Budiman. Berikut adalah catatan penting keterangan direktur penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman dihadapkan Pansus Hak Angket KPK tanggal 29 Agustus 2017 di DPR RI. Pertama, ada dugaan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh penyidik senior tertentu dan kelompoknya secara berkelanjutan yang mengancam eksistensi KPK sebagai lembaga penegak hukum yang bersih dan berwibawa.

Kedua, ada klik-klik atau kelompok tertentu yang kerap melakukan tindakan-tindakan di luar koridor hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan di KPK, terbukti nyata dan ada.

Ketiga, rekaman yang diputar di dalam persidangan Miryam, diakui direktur penyidikan secara tegas tidak utuh karena dipenggal-penggal dan sengaja ditayangkan sepotong-sepotong sehingga tidak menggambarkan fakta pemeriksaan yang sebenarnya. Yaitu, tidak benar jika ada informasi bahwa Dirdik KPK Aris Budiman bertemu anggota Komisi III DPR. Yang ada justru ada penyidik senior yang mendatangi rumah Miryam sebelum persidangan dan mendatangi rumah anggota DPR lainnya yang belakangan diketahui juga menjadi saksi e-KTP.

Keempat, terbukti nyata ada konflik internal yang tajam antara penyidik senior tertentu bersama kelompoknya yang selama ini mendominasi dan powerful di KPK, dengan penyidik lainnya, terutama berasal dari Polri.

Kelima, banyaknya kasus yang mandek dan banyaknya orang sudah telanjur ditersangkakan namun tidak juga disidangkan atau dilimpahkan ke pengadilan hingga tahunan karena diduga minimnya alat bukti, mengonfirmasi pernyataan Prof Romli dihadapkan sidang Pansus Hak Angket KPK beberapa waktu lalu. Sedikitnya ada 26 orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh kelompok penyidik tertentu tersebut, tanpa bukti awal permulaan yang cukup.

Selain catatan penting di atas, kita juga berharap pimpinan KPK menyikapi dengan sangat serius apa yang dikemukakan Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Indra Sahnun Lubis di Pansus Hak Angket KPK pekan lalu di DPR. Pimpinan KPK harus mampu menjawab pertanyaan tentang benar tidaknya sejumlah oknum penyidik KPK pernah meminjam uang Rp5 miliar untuk menjebak oknum pegawai Mahkamah Agung (MA) dalam operasi tangkap tangan (OTT). Hingga kini keberadaan uang tersebut tidak jelas.

Reputasi KPK akan benar-benar hancur jika OTT dimaksud tidak murni sebuah kasus, melainkan hasil jebakan. Lebih hancur lagi jika uang pinjaman yang akan dijadikan barang bukti itu ternyata tidak pernah dikembalikan kepada pemiliknya. Penyalahgunaan wewenang sudah sampai ke tahap sangat liar. Ketika pimpinan tidak tahu apa-apa tentang kecenderungan ini, sama artinya kendali KPK tidak dalam genggaman ketua dan para wakil ketua, melainkan ada dalam genggaman ketua bayangan atau meminjam istilah pengacara Jhonson Panjaitan disebut komisioner ke-6.

Isu tentang perilaku menyimpang oknum penyidik KPK pun bukan hal baru. Ada beragam versi isu yang menggambarkan penyidikan kasus korupsi ditunggangi oknum tertentu untuk melakukan tindakan tidak terpuji. Apakah isu-isu itu sekadar alibi untuk memojokkan KPK, tentu saja perlu didalami oleh pimpinan KPK. Bukankah sudah ada dugaan kasus penyimpangan perilaku seperti yang diungkapkan Indra Sahnun Lubis itu. Karena sudah menjadi pengetahuan masyarakat, KPK hendaknya tidak mendiamkan kasus uang pinjaman yang tidak dikembalikan itu.

Lalu, bagaimana cerita dan sanksi ketika ada penyidik dan jaksa pagi-pagi sekali mendatangi rumah saksi Miryam dan rumah anggota DPR lain yang berpotensi menjadi saksi bahkan tersangka? Bukankah dalam UU tentang KPK itu pelanggaran berat dan masuk pidana? Apakah komisioner dan pengawas internal sudah melakukan langkah-langkah tegas dengan menggelar sidang etik?

Direktur Penyidikan Brigjen Pol Aris Budiman bahkan sudah menyampaikan secara gamblang di sidang Pansus Hak Angket untuk KPK. Pertama, untuk kedatangan penyidik ke rumah Miryam sebenarnya sudah terungkap langsung oleh Miryam sendiri di pengadilan dan sudah menjadi fakta pengadilan.

Kedua, soal kedatangan penyidik ke rumah anggota DPR lainnya diperoleh Aris dari laporan seorang penyidik kepadanya sebelum dirinya datang ke Pansus Hak Angket DPR untuk KPK pekan lalu. Penyidik tersebut menurut Aris siap menyampaikan kesaksiannya di sidang etik internal KPK. Perlawanan beberapa penyidik terhadap Dirdik KPK sebagaimana diungkapkan Aris kepada Pansus Hak Angket DPR idealnya ditanggapi dengan sikap positif, bukan malah memusuhi Aris. Dalam konteks kepentingan yang lebih besar dan strategis, sesungguhnya ada aspek positif dari apa yang dikemukakan Aris dan juga Indra Sahnun Lubis. Poin-poin yang dikemukakan keduanya patut diterima sebagai masukan untuk modal melakukan pembenahan.

Semua elemen masyarakat, termasuk DPR, wajib mendukung KPK. Tetapi, mendukung tanpa sikap kritis adalah sebuah kebodohan. Ibarat cinta buta yang bekerja hanya perasaan. Padahal fakta seharusnya menyadarkan semua orang bahwa KPK itu dikendalikan oleh manusia biasa, bukan malaikat. Ketika wewenang dan kuasa dalam genggaman sudah sedemikian besar dalam genggaman manusia, akan muncul godaan untuk berperilaku menyimpang atau menyalahgunakan kekuasaan itu.

Kalau ingin KPK semakin kuat dari waktu ke waktu, KPK harus dipaksa untuk makin terbuka, tidak antikritik, pun tidak boleh antiperubahan. Percayalah, tidak ada yang ingin melemahkan KPK. Jadi, jangan terlalu cepat menuduh para pengkritik KPK sebagai pihak yang ingin melemahkan KPK. Sikap seperti ini cengeng dan kekanak-kanakan.

Pada akhirnya, ketua dan para wakil ketua KPK harus segera menetralisasi sepak terjang semua satuan kerja di KPK. Semua satuan kerja harus kembali taat pada tugas pokok dan fungsi. Melawan atasan tidak boleh ditoleransi lagi. Sebab kalau dibiarkan seperti sekarang, akan tampil ketua bayangan atau komisioner ke-6 yang akan melahirkan benih-benih pembusukan dari dalam.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0787 seconds (0.1#10.140)