Rohingya dan Beban Indonesia
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Co-Founder & Director Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
APABILA masyarakat awam mengaitkan agama dengan kasus kemanusiaan yang dialami oleh etnis Rohingya, kita dapat memandangnya sebagai fakta atas kurangnya informasi yang lengkap dan kesulitan dalam menjelaskan situasi yang kompleks kepada masyarakat. Di sisi lain, kita dapat menyebutnya sebagai politisasi kasus Rohingya apabila sikap dan pandangan itu dimiliki oleh pimpinan organisasi dan tokoh politik nasional.
Kita perlu menolak sikap politisasi tersebut karena sikap itulah yang saat ini menyebabkan etnis Rohingya termarjinalisasi dan menjadi target persekusi dari rezim berkuasa di Myanmar. Kita tidak dapat menolong etnis Rohingya dengan sikap-sikap yang serupa dengan rezim yang memburunya.
Sikap pemerintah dalam menyikapi kasus Rohingya sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini adalah yang paling efektif meskipun banyak dipandang bukan yang terbaik. Pendekatan bilateral melalui bantuan kemanusiaan dan konsultasi dengan pemerintahan militer Myanmar dapat mengurangi penderitaan yang dialami oleh etnis Rohingya.
Dasar argumen itu adalah bahwa pendekatan “soft diplomacy” dan bukan “megaphone diplomacy” telah membangun kepercayaan di antara kedua negara sehingga dapat menjadi jembatan untuk melakukan diplomasi yang lebih konstruktif.
Meski demikian, kita perlu mengevaluasi kembali sejauh mana atau sampai kapan pendekatan bilateral yang kita lakukan terhadap Pemerintah Myanmar dalam kasus Rohingya dapat membawa penyelesaian yang lebih permanen.
Indonesia dengan modal politik yang kuat saat ini sebagai negara yang demokratis, juga dengan sejarah mengatasi berbagai ketegangan politik dan sosial selama masa-masa transisi, memiliki peluang untuk memimpin upaya untuk meningkatkan atau memperluas pendekatan bilateral dalam kasus Rohingya menjadi pendekatan multilateral dengan berbagai mekanisme yang ada di ASEAN dengan tujuan mencapai solusi yang permanen.
Ada beberapa alasan yang perlu kita pertimbangkan untuk mulai memikirkan pendekatan yang lebih merangkul banyak pihak untuk menyelesaikan kasus di Rohingya.
Pertama, kasus Rohingya adalah kasus yang memiliki dampak geopolitik yang besar di kawasan Asia Tenggara. Pada saat kasus kekerasan pada 2012, negara-negara ASEAN yang berpenduduk Muslim banyak yang mengalami guncangan politik. Kelompok-kelompok radikal mendapatkan momentum untuk meradikalisasi masyarakat.
Kita ingat pada Mei 2013, aparat keamanan menembak mati tujuh orang dan menangkap 13 orang lain yang merencanakan untuk meledakkan Kedutaan Besar Myanmar. Beberapa provinsi seperti yang terjadi pada hari ini juga melakukan aksi-aksi demonstrasi dengan menggunakan kasus Rohingya.
Hal ini juga terjadi di negara berpenduduk Muslim lain seperti Malaysia. Hal ini terutama akan berdampak pada kinerja dan citra ekonomi Indonesia. Jika Indonesia tidak dapat memimpin ASEAN untuk menyelesaikan masalah ini secara permanen, maka tidak ada jaminan di masa depan, tidak akan ada lagi aksi serupa yang akan merugikan citra kita.
Kedua, Myanmar adalah sebuah negara yang sedang mengalami transisi demokratik dari sistem politik otoritarian menuju sistem politik yang demokratis. Kita tidak dapat mengatakan bahwa transisi demokratik yang terjadi di Myanmar sejak 2010 hanyalah buah dari pendekatan ASEAN yang memiliki prinsip non-interference, constructive /flexible engagement.
Kita harus juga akui bahwa tekanan atau embargo ekonomi dari negara Barat yang mengiringi pendekatan ASEAN juga memiliki peran. Myanmar yang awalnya menolak bergabung mendirikan ASEAN pada 1967, akhirnya mendapatkan keuntungan politik ketika bergabung dengan ASEAN pada 1997.
ASEAN membantu Myanmar dalam menghadapi tekanan internasional dengan keyakinan bahwa perubahan harus terjadi dari kesadaran dan berasal dari dalam Negeri Myanmar. ASEAN melakukan hal tersebut terutama untuk mencegah Myanmar untuk terpapar oleh pengaruh Tiongkok.
Permasalahannya pada masa kini bahwa situasinya telah berubah. Tekanan internasional yang keras terhadap Myanmar telah melunak dan kekhawatiran bahwa Tiongkok akan menancapkan pengaruhnya yang kuat di Myanmar juga sudah tidak relevan semenjak semua negara di Asia Tenggara saat ini telah banyak bekerja sama dan bahkan mengharapkan bantuan dari Tiongkok.
Negeri Tirai Bambu itu dalam beberapa hal, khususnya, ekonomi juga telah meliberalisasikan sistemnya dan menerima kesepakatan-kesepakatan dengan negara lain. Negara-negara lain di Asia, relatif mandiri dalam politik termasuk Myanmar yang membuka diri secara ekonomi juga mulai menerima berbagai investasi dari Barat.
Dengan kata lain, pendekatan ASEAN Way dalam menyelesaikan kasus Rohingya kurang memiliki daya gentar karena tidak ada lagi tekanan eksternal yang keras yang mampu membuat rezim pemerintahan Myanmar bermotivasi melakukan perubahan baru yang signifikan.
Sebagai tetangga, kita toh tidak bisa menyangkal bahwa berita seputar kekerasan, pembunuhan, dan terus berlangsungnya krisis kemanusiaan di Rakhine adalah perkembangan yang sangat memprihatinkan dari Myanmar.
Terlepas dari begitu banyaknya perhatian publik, bahkan setelah sejumlah tokoh politik dunia turun tangan di sana, sesungguhnya belum ada yang berhasil memperbaiki kondisi politik dan sosial di daerah Rakhine secara permanen. Bantuan kemanusiaan dan diplomasi pada Bangladesh serta dukungan kepercayaan diri yang telah disediakan oleh Indonesia pun tidak menghindarkan berulangnya jatuhnya korban jiwa.
Rakhine, aparat dan masyarakatnya, termasuk kaum Rohingya di sana, seperti berada dalam gelas kaca. Terlihat tetapi tidak bisa disentuh. Dipantau tetapi tidak bisa dijangkau. Dalam kondisi seperti ini, yang patut diwaspadai adalah ketika Pemerintah Myanmar menjadi gelas kaca tersebut; menjadi penghalang bagi solusi-solusi konstruktif yang sepatutnya terus dikembangkan oleh Pemerintah Myanmar agar kondisi di Rakhine tidak memburuk.
Kita perlu kritis, menguji dan mengevaluasi apakah Myanmar sungguh-sungguh menggunakan pendekatan bilateral Indonesia yang tidak gaduh ini untuk menyelesaikan kasus Rohingya secara konstruktif, atau sebenarnya Myanmar hanya memanfaatkan Indonesia sebagai pendongkrak image alias public relations Myanmar dalam menghadapi tekanan internasional?
Sepatutnya Indonesia sebagai negara yang punya akses informasi dan memegang sejumlah informasi di lapangan tentang Rakhine maupun kadar keseriusan pemerintah Myanmar bergerak membuka jalur-jalur diplomasi regional dan multilateral. Pendekatan multilateral penting selain untuk membagi bersama tanggung jawab kasus Rohingya dengan negara-negara Asia Tenggara lain secara khusus dan dunia secara umum, terutama juga untuk meningkatkan tekanan yang selama ini berkurang.
Negara lain, khususnya Tiongkok, juga perlu dilibatkan untuk memastikan memberikan tekanan kepada Myanmar seperti yang pernah dilakukan ketika Tiongkok menekan Myanmar akibat kasus Depayin pada 2003, di mana Dewan Keamanan PBB kemudian mengagendakan kasus tersebut untuk menekan Myanmar.
Indonesia patut mengarahkan Myanmar agar bertanggung jawab dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara lain yang khawatir akan stabilitas regional, yang peduli pada hak asasi manusia. Kita boleh membantu pemerintah Myanmar tetapi karena prinsip non-intervensi itu pula maka Myanmar harus berkembang menjadi lebih dewasa sebagai negara yang ingin makin diakui kedaulatannya. Apalagi sebagai negara anggota ASEAN yang wajib mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Co-Founder & Director Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
APABILA masyarakat awam mengaitkan agama dengan kasus kemanusiaan yang dialami oleh etnis Rohingya, kita dapat memandangnya sebagai fakta atas kurangnya informasi yang lengkap dan kesulitan dalam menjelaskan situasi yang kompleks kepada masyarakat. Di sisi lain, kita dapat menyebutnya sebagai politisasi kasus Rohingya apabila sikap dan pandangan itu dimiliki oleh pimpinan organisasi dan tokoh politik nasional.
Kita perlu menolak sikap politisasi tersebut karena sikap itulah yang saat ini menyebabkan etnis Rohingya termarjinalisasi dan menjadi target persekusi dari rezim berkuasa di Myanmar. Kita tidak dapat menolong etnis Rohingya dengan sikap-sikap yang serupa dengan rezim yang memburunya.
Sikap pemerintah dalam menyikapi kasus Rohingya sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini adalah yang paling efektif meskipun banyak dipandang bukan yang terbaik. Pendekatan bilateral melalui bantuan kemanusiaan dan konsultasi dengan pemerintahan militer Myanmar dapat mengurangi penderitaan yang dialami oleh etnis Rohingya.
Dasar argumen itu adalah bahwa pendekatan “soft diplomacy” dan bukan “megaphone diplomacy” telah membangun kepercayaan di antara kedua negara sehingga dapat menjadi jembatan untuk melakukan diplomasi yang lebih konstruktif.
Meski demikian, kita perlu mengevaluasi kembali sejauh mana atau sampai kapan pendekatan bilateral yang kita lakukan terhadap Pemerintah Myanmar dalam kasus Rohingya dapat membawa penyelesaian yang lebih permanen.
Indonesia dengan modal politik yang kuat saat ini sebagai negara yang demokratis, juga dengan sejarah mengatasi berbagai ketegangan politik dan sosial selama masa-masa transisi, memiliki peluang untuk memimpin upaya untuk meningkatkan atau memperluas pendekatan bilateral dalam kasus Rohingya menjadi pendekatan multilateral dengan berbagai mekanisme yang ada di ASEAN dengan tujuan mencapai solusi yang permanen.
Ada beberapa alasan yang perlu kita pertimbangkan untuk mulai memikirkan pendekatan yang lebih merangkul banyak pihak untuk menyelesaikan kasus di Rohingya.
Pertama, kasus Rohingya adalah kasus yang memiliki dampak geopolitik yang besar di kawasan Asia Tenggara. Pada saat kasus kekerasan pada 2012, negara-negara ASEAN yang berpenduduk Muslim banyak yang mengalami guncangan politik. Kelompok-kelompok radikal mendapatkan momentum untuk meradikalisasi masyarakat.
Kita ingat pada Mei 2013, aparat keamanan menembak mati tujuh orang dan menangkap 13 orang lain yang merencanakan untuk meledakkan Kedutaan Besar Myanmar. Beberapa provinsi seperti yang terjadi pada hari ini juga melakukan aksi-aksi demonstrasi dengan menggunakan kasus Rohingya.
Hal ini juga terjadi di negara berpenduduk Muslim lain seperti Malaysia. Hal ini terutama akan berdampak pada kinerja dan citra ekonomi Indonesia. Jika Indonesia tidak dapat memimpin ASEAN untuk menyelesaikan masalah ini secara permanen, maka tidak ada jaminan di masa depan, tidak akan ada lagi aksi serupa yang akan merugikan citra kita.
Kedua, Myanmar adalah sebuah negara yang sedang mengalami transisi demokratik dari sistem politik otoritarian menuju sistem politik yang demokratis. Kita tidak dapat mengatakan bahwa transisi demokratik yang terjadi di Myanmar sejak 2010 hanyalah buah dari pendekatan ASEAN yang memiliki prinsip non-interference, constructive /flexible engagement.
Kita harus juga akui bahwa tekanan atau embargo ekonomi dari negara Barat yang mengiringi pendekatan ASEAN juga memiliki peran. Myanmar yang awalnya menolak bergabung mendirikan ASEAN pada 1967, akhirnya mendapatkan keuntungan politik ketika bergabung dengan ASEAN pada 1997.
ASEAN membantu Myanmar dalam menghadapi tekanan internasional dengan keyakinan bahwa perubahan harus terjadi dari kesadaran dan berasal dari dalam Negeri Myanmar. ASEAN melakukan hal tersebut terutama untuk mencegah Myanmar untuk terpapar oleh pengaruh Tiongkok.
Permasalahannya pada masa kini bahwa situasinya telah berubah. Tekanan internasional yang keras terhadap Myanmar telah melunak dan kekhawatiran bahwa Tiongkok akan menancapkan pengaruhnya yang kuat di Myanmar juga sudah tidak relevan semenjak semua negara di Asia Tenggara saat ini telah banyak bekerja sama dan bahkan mengharapkan bantuan dari Tiongkok.
Negeri Tirai Bambu itu dalam beberapa hal, khususnya, ekonomi juga telah meliberalisasikan sistemnya dan menerima kesepakatan-kesepakatan dengan negara lain. Negara-negara lain di Asia, relatif mandiri dalam politik termasuk Myanmar yang membuka diri secara ekonomi juga mulai menerima berbagai investasi dari Barat.
Dengan kata lain, pendekatan ASEAN Way dalam menyelesaikan kasus Rohingya kurang memiliki daya gentar karena tidak ada lagi tekanan eksternal yang keras yang mampu membuat rezim pemerintahan Myanmar bermotivasi melakukan perubahan baru yang signifikan.
Sebagai tetangga, kita toh tidak bisa menyangkal bahwa berita seputar kekerasan, pembunuhan, dan terus berlangsungnya krisis kemanusiaan di Rakhine adalah perkembangan yang sangat memprihatinkan dari Myanmar.
Terlepas dari begitu banyaknya perhatian publik, bahkan setelah sejumlah tokoh politik dunia turun tangan di sana, sesungguhnya belum ada yang berhasil memperbaiki kondisi politik dan sosial di daerah Rakhine secara permanen. Bantuan kemanusiaan dan diplomasi pada Bangladesh serta dukungan kepercayaan diri yang telah disediakan oleh Indonesia pun tidak menghindarkan berulangnya jatuhnya korban jiwa.
Rakhine, aparat dan masyarakatnya, termasuk kaum Rohingya di sana, seperti berada dalam gelas kaca. Terlihat tetapi tidak bisa disentuh. Dipantau tetapi tidak bisa dijangkau. Dalam kondisi seperti ini, yang patut diwaspadai adalah ketika Pemerintah Myanmar menjadi gelas kaca tersebut; menjadi penghalang bagi solusi-solusi konstruktif yang sepatutnya terus dikembangkan oleh Pemerintah Myanmar agar kondisi di Rakhine tidak memburuk.
Kita perlu kritis, menguji dan mengevaluasi apakah Myanmar sungguh-sungguh menggunakan pendekatan bilateral Indonesia yang tidak gaduh ini untuk menyelesaikan kasus Rohingya secara konstruktif, atau sebenarnya Myanmar hanya memanfaatkan Indonesia sebagai pendongkrak image alias public relations Myanmar dalam menghadapi tekanan internasional?
Sepatutnya Indonesia sebagai negara yang punya akses informasi dan memegang sejumlah informasi di lapangan tentang Rakhine maupun kadar keseriusan pemerintah Myanmar bergerak membuka jalur-jalur diplomasi regional dan multilateral. Pendekatan multilateral penting selain untuk membagi bersama tanggung jawab kasus Rohingya dengan negara-negara Asia Tenggara lain secara khusus dan dunia secara umum, terutama juga untuk meningkatkan tekanan yang selama ini berkurang.
Negara lain, khususnya Tiongkok, juga perlu dilibatkan untuk memastikan memberikan tekanan kepada Myanmar seperti yang pernah dilakukan ketika Tiongkok menekan Myanmar akibat kasus Depayin pada 2003, di mana Dewan Keamanan PBB kemudian mengagendakan kasus tersebut untuk menekan Myanmar.
Indonesia patut mengarahkan Myanmar agar bertanggung jawab dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara lain yang khawatir akan stabilitas regional, yang peduli pada hak asasi manusia. Kita boleh membantu pemerintah Myanmar tetapi karena prinsip non-intervensi itu pula maka Myanmar harus berkembang menjadi lebih dewasa sebagai negara yang ingin makin diakui kedaulatannya. Apalagi sebagai negara anggota ASEAN yang wajib mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
(poe)