Negara Hadir Melawan Hate Speech
A
A
A
Eko Sulistyo
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
DEWA kebencian dalam sejarah modern dapat disematkan pada pimpinan Nazi Jerman, Adolf Hitler. Menurut Konrad Heiden, dalam pengantar edisi Indonesia Mein Kampf (Perjuangan Kita), menganggap buku karya Hitler ini sebagai ekspresi rasa benci yang putih membara dengan program berdarah dan teror di setiap halaman yang ditulisnya (Narasi, 2010).
Joseph Gobbels, pengikut setia Hitler yang menjadi Menteri Propaganda Nazi, mengorganisasi kebencian menjadi hidangan yang diberikan kepada publik. Salah satu doktrin Goebbels yang paling terkenal adalah ”kebohongan yang dikampanyekan terus menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kebenaran”. Dari sinilah kehancuran peradaban dunia dimulai. Ujaran kebencian (hate speech) yang diorganisasi secara sistematis dan meluas telah menciptakan kejahatan berbasis kebencian (hate crime).
Pelajaran dari kasus Hitler dan Naziisme bagi dunia adalah jangan meremehkan hate speech. Karena jika mendapatkan ruang, maka tragedi kemanusiaan akan menjadi taruhannya.
”Bisnis kebencian” yang dilakukan kelompok Saracen tentu belum sebanding dengan Hitler dan Naziismenya. Namun, kasus ini dapat menjadi langkah awal penegakan hukum yang tegas pada pelaku hate speech dan mencegah terjadinya hate crime. Kecil atau besar korban akibat ujaran kebencian harus dicegah. Karena itulah negara harus hadir melindungi kemanusiaan.
Respons Internasional
Fakta sejarah membuktikan bahwa Naziisme menjadi bagian kelam sejarah kemanusiaan di era modern. Karena itu, harus dicegah jangan sampai berulang di masa depan. Dalam semangat itu lahirlah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. Deklarasi ini juga bisa dianggap sebagai kemenangan demokrasi atas kekuasaan kelam anti-kemanusiaan.
Dalam dokumen DUHAM, pertama kalinya terjadi kesepakatan antarnegara untuk mengakui instrumen hukum internasional yang mengatur ujaran kebencian. Dalam Pasal 29 ayat (2) diatur bahwa pada dasarnya hak kebebasan berpendapat bisa dibatasi dengan syarat sebagai berikut: 1) pembatasan dilakukan dengan hukum; 2) pembatasan dilakukan dengan tujuan menjaga dan menghormati hak bebasberpendapat bagi orang lain; 3) pembatasan dilakukan atas dasar moralitas, ketertiban umum, dan kesejahteraan bagi masyarakat yang demokratis.
Instrumen internasional berikutnya yang mengatur hate speech adalah Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) tahun 1966. Pasal 20 dari Kovenan ini memuat ketentuan mengenai pembatasan kebebasan berpendapat yang dapat dipahami dalam tiga hal, yaitu pertama, hasutan melakukan kekerasan, permusuhan atau diskriminasi terhadap orang dan kelompok yang tidak berdasarkan kebangsaan, ras, dan keagamaan tidak termasuk ujaran kebencian. Kedua, kata ”advokasi” atau ”upaya menyebarkan” menunjukkan perlunya kesadaran akan ”maksud” untuk menyebarkan kebencian tersebut. Ketiga, perbuatan menyebarkan kebencian yang tidak dapat membuat orang melakukan kekerasan, permusuhan,atau diskriminasi bukanlah ujaran kebencian.
Instrumen internasional selanjutnya adalah Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (ICERD) tahun 1969. Konvensi ini mengatur kewajiban negara untuk mengatur dan menindak secara pidana perbuatan ujaran kebencian yang terjadi di negara masing-masing. Konvensi ini juga melarang ide-ide yang mengekspresikan superioritas dan inferioritas dari masyarakat berdasarkan kategori ras.
Hate speech menjadi perhatian dunia pada tahun 1993 dalam perkara Dario Kordic dan Vojislav Seselj di negara pecahan Yugoslavia. Namun, kasus hate speech yang paling mengguncang dunia adalah persidangan Pengadilan Pidana Internasional dalam kasus Rwanda terhadap tiga pelaku kejahatan kemanusiaan, yaitu Ferdinand Nahimana, Jean-Bosco Barayagwiza, dan Hassan Ngeze tahun 1995.
Sejak itu di tingkat regional mulai terjadi antisipasi negara atas hate speech. Meskipun terdapat penafsiran dan penanganan hukum yang berbeda dalam berbagai regional, fakta telah menunjukkan kecenderungan bahwa hate speech telah menjadi fenomena global di era internet dan digital saat ini.
Bisnis Kebencian
Tertangkapnya para pengelola Saracen oleh Polri membuktikan bahwa hate speech telah menjadi komoditi dan mempunyai pengikut sampai 800 ribu akun di media sosial. Bisnis kotor hate speech ini mempunyai titik temu dengan kompetisi politik. Hal ini dibuktikan dengan temuan atas laporan ke pihak kepolisian bahwa kejahatan siber meningkat tajam, terutama menjelang Pilkada 2017.
Apa yang telah terjadi di Pilkada DKI Jakarta lalu menunjukkan bahwa speech berbasis agama, suku, dan ras (SARA) menjadi wacana politik yang bisa menyeret massa luas dan berpotensi menciptakan ketegangan sosial. Perbuatan ujaran kebencian jika tidak ditangani dengan efektif sesuai ketentuan perundang-undangan berpotensi memunculkan konflik sosial, tindak diskriminasi, kekerasan, dan/atau penghilangan nyawa.
Dalam hukum yang berlaku, tindakan ujaran kebencian (Hate Speech) sudah termuat dalam KUHAP (Pasal 156-157). Beberapa undang-undang dan ketentuan lain juga bisa menjadi landasan memidanakan ”ujaran kebencian”, seperti UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri Nomor 8/2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Dalam program Nawacita disebutkan komitmen pemerintah Jokowi-JK untuk memajukan dan melindungi toleransi serta keberagaman dalam bentuk ”Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara dan membuat pemerintah tidak absen.” Menyangkut hate speech dan hoax, Presiden Jokowi telah meminta agar penegak hukum bisa bertindak lebih tegas dan bekerja sama dengan pihak lain dalam jajaran pemerintahan untuk melakukan evaluasi terhadap media dalam jaringan yang memproduksi informasi-informasi bohong tanpa sumber yang jelas.
Kasus Saracen menjadi pintu masuk tindakan penegakan hukum bagi negara agar bisa bertindak tegas melindungi kepentingan bangsa yang berlandaskan kebinekaan. Jangan ada lagi konflik berdarah sesama anak bangsa berbasis agama dan etnis di bumi Indonesia. Bangsa dan rakyat Indonesia yang damai dan bhinneka terlewat berharga untuk dipertaruhkan.
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
DEWA kebencian dalam sejarah modern dapat disematkan pada pimpinan Nazi Jerman, Adolf Hitler. Menurut Konrad Heiden, dalam pengantar edisi Indonesia Mein Kampf (Perjuangan Kita), menganggap buku karya Hitler ini sebagai ekspresi rasa benci yang putih membara dengan program berdarah dan teror di setiap halaman yang ditulisnya (Narasi, 2010).
Joseph Gobbels, pengikut setia Hitler yang menjadi Menteri Propaganda Nazi, mengorganisasi kebencian menjadi hidangan yang diberikan kepada publik. Salah satu doktrin Goebbels yang paling terkenal adalah ”kebohongan yang dikampanyekan terus menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kebenaran”. Dari sinilah kehancuran peradaban dunia dimulai. Ujaran kebencian (hate speech) yang diorganisasi secara sistematis dan meluas telah menciptakan kejahatan berbasis kebencian (hate crime).
Pelajaran dari kasus Hitler dan Naziisme bagi dunia adalah jangan meremehkan hate speech. Karena jika mendapatkan ruang, maka tragedi kemanusiaan akan menjadi taruhannya.
”Bisnis kebencian” yang dilakukan kelompok Saracen tentu belum sebanding dengan Hitler dan Naziismenya. Namun, kasus ini dapat menjadi langkah awal penegakan hukum yang tegas pada pelaku hate speech dan mencegah terjadinya hate crime. Kecil atau besar korban akibat ujaran kebencian harus dicegah. Karena itulah negara harus hadir melindungi kemanusiaan.
Respons Internasional
Fakta sejarah membuktikan bahwa Naziisme menjadi bagian kelam sejarah kemanusiaan di era modern. Karena itu, harus dicegah jangan sampai berulang di masa depan. Dalam semangat itu lahirlah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. Deklarasi ini juga bisa dianggap sebagai kemenangan demokrasi atas kekuasaan kelam anti-kemanusiaan.
Dalam dokumen DUHAM, pertama kalinya terjadi kesepakatan antarnegara untuk mengakui instrumen hukum internasional yang mengatur ujaran kebencian. Dalam Pasal 29 ayat (2) diatur bahwa pada dasarnya hak kebebasan berpendapat bisa dibatasi dengan syarat sebagai berikut: 1) pembatasan dilakukan dengan hukum; 2) pembatasan dilakukan dengan tujuan menjaga dan menghormati hak bebasberpendapat bagi orang lain; 3) pembatasan dilakukan atas dasar moralitas, ketertiban umum, dan kesejahteraan bagi masyarakat yang demokratis.
Instrumen internasional berikutnya yang mengatur hate speech adalah Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) tahun 1966. Pasal 20 dari Kovenan ini memuat ketentuan mengenai pembatasan kebebasan berpendapat yang dapat dipahami dalam tiga hal, yaitu pertama, hasutan melakukan kekerasan, permusuhan atau diskriminasi terhadap orang dan kelompok yang tidak berdasarkan kebangsaan, ras, dan keagamaan tidak termasuk ujaran kebencian. Kedua, kata ”advokasi” atau ”upaya menyebarkan” menunjukkan perlunya kesadaran akan ”maksud” untuk menyebarkan kebencian tersebut. Ketiga, perbuatan menyebarkan kebencian yang tidak dapat membuat orang melakukan kekerasan, permusuhan,atau diskriminasi bukanlah ujaran kebencian.
Instrumen internasional selanjutnya adalah Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (ICERD) tahun 1969. Konvensi ini mengatur kewajiban negara untuk mengatur dan menindak secara pidana perbuatan ujaran kebencian yang terjadi di negara masing-masing. Konvensi ini juga melarang ide-ide yang mengekspresikan superioritas dan inferioritas dari masyarakat berdasarkan kategori ras.
Hate speech menjadi perhatian dunia pada tahun 1993 dalam perkara Dario Kordic dan Vojislav Seselj di negara pecahan Yugoslavia. Namun, kasus hate speech yang paling mengguncang dunia adalah persidangan Pengadilan Pidana Internasional dalam kasus Rwanda terhadap tiga pelaku kejahatan kemanusiaan, yaitu Ferdinand Nahimana, Jean-Bosco Barayagwiza, dan Hassan Ngeze tahun 1995.
Sejak itu di tingkat regional mulai terjadi antisipasi negara atas hate speech. Meskipun terdapat penafsiran dan penanganan hukum yang berbeda dalam berbagai regional, fakta telah menunjukkan kecenderungan bahwa hate speech telah menjadi fenomena global di era internet dan digital saat ini.
Bisnis Kebencian
Tertangkapnya para pengelola Saracen oleh Polri membuktikan bahwa hate speech telah menjadi komoditi dan mempunyai pengikut sampai 800 ribu akun di media sosial. Bisnis kotor hate speech ini mempunyai titik temu dengan kompetisi politik. Hal ini dibuktikan dengan temuan atas laporan ke pihak kepolisian bahwa kejahatan siber meningkat tajam, terutama menjelang Pilkada 2017.
Apa yang telah terjadi di Pilkada DKI Jakarta lalu menunjukkan bahwa speech berbasis agama, suku, dan ras (SARA) menjadi wacana politik yang bisa menyeret massa luas dan berpotensi menciptakan ketegangan sosial. Perbuatan ujaran kebencian jika tidak ditangani dengan efektif sesuai ketentuan perundang-undangan berpotensi memunculkan konflik sosial, tindak diskriminasi, kekerasan, dan/atau penghilangan nyawa.
Dalam hukum yang berlaku, tindakan ujaran kebencian (Hate Speech) sudah termuat dalam KUHAP (Pasal 156-157). Beberapa undang-undang dan ketentuan lain juga bisa menjadi landasan memidanakan ”ujaran kebencian”, seperti UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri Nomor 8/2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Dalam program Nawacita disebutkan komitmen pemerintah Jokowi-JK untuk memajukan dan melindungi toleransi serta keberagaman dalam bentuk ”Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara dan membuat pemerintah tidak absen.” Menyangkut hate speech dan hoax, Presiden Jokowi telah meminta agar penegak hukum bisa bertindak lebih tegas dan bekerja sama dengan pihak lain dalam jajaran pemerintahan untuk melakukan evaluasi terhadap media dalam jaringan yang memproduksi informasi-informasi bohong tanpa sumber yang jelas.
Kasus Saracen menjadi pintu masuk tindakan penegakan hukum bagi negara agar bisa bertindak tegas melindungi kepentingan bangsa yang berlandaskan kebinekaan. Jangan ada lagi konflik berdarah sesama anak bangsa berbasis agama dan etnis di bumi Indonesia. Bangsa dan rakyat Indonesia yang damai dan bhinneka terlewat berharga untuk dipertaruhkan.
(wib)