Freeport, What's Next?
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PEMERINTAH mengklaim telah berhasil bernegosiasi dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam rangka implementasi Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2017. Sesuatu yang paling menyita perhatian publik tentu berkaitan dengan butir kesepakatan kepemilikan divestasi 51% saham PTFI yang akan dikuasai pemerintah.
Isyarat mengenai kesepakatan divestasi boleh jadi dirasa melegakan bagi sebagian pihak. Akan tetapi kronik tentang PTFI bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan sederhana jika kita menelusuri akar sejarahnya.
Juru runding yang merefleksikan pihak pemerintah untuk tahap negosiasi pun bukanlah orang sembarangan. Ketua kontingen dari pemerintah diwakili oleh Menteri ESDM. Di samping kiri-kanan Menteri ESDM terdapat Menteri Keuangan, Kemenko Perekonomian, Kemenko Maritim, Kementerian Hukum dan HAM, dan beberapa pejabat teras lainnya.
Selain mengenai kabar divestasi, hasil negosiasi juga membahas kesepakatan konsep hubungan antara PTFI dan pemerintah secara kelembagaan yang akan berupa izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan kewajiban pembangunan smelter. Skema IUPK menggantikan mekanisme hukum yang lama dalam bentuk kontrak karya (KK), tetapi konsekuensinya pemerintah harus memberikan perpanjangan kontrak kepada PTFI untuk mengeksploitasi tambang 2 kali 10 tahun atau hingga 2041.
Kronik mengenai hak pengelolaan tambang kepada PTFI sebetulnya sudah lama dan berliku-liku. Potensi alam di perut bumi Papua selalu menjadi topik panas karena diriwayatkan menyimpan sumber daya kekayaan yang sangat melimpah.
Sejak masa kampanye, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat menginginkan renegosiasi yang lebih ideal terkait bagi hasil dengan PTFI. Hasil perundingan dinilai lebih banyak memihak pemerintah, minimal dari segi saham kepemilikan yang naik secara signifikan.
Sebelumnya pemerintah memperoleh hak dividen yang relatif minim karena hanya memiliki 9,36% saham. Setelah ini kita berhak memiliki saham hingga 51%. “Kemenangan” pemerintah dalam tahap negosiasi tersebut bisa jadi akan banyak menunjang elektabilitas Presiden Jokowi menjelang pesta politik pada Pemilu 2019.
Nah terkait dengan semangat pemerintah yang begitu menggebu-gebu dalam negosiasi, mari kita ulas sedikit apa saja kegiatan ekonomi yang selama hampir 50 tahun terakhir sudah dihasilkan PTFI. Ulasan ini akan memberi kita perspektif tambahan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah setelah negosiasi.
Dari website PTFI kita bisa sedikit banyak mengetahui bagaimana kontribusi PTFI terhadap pembangunan di Indonesia. Dari sisi ketenagakerjaan, total jumlah tenaga kerja yang terserap hingga akhir 2016 mencapai 33.452 orang, baik sebagai tenaga kerja langsung untuk aktivitas pertambangan maupun sebagai tenaga kerja pendukung (kontraktor). Jumlah tenaga kerja langsung di PTFI mencapai 12.184 pekerja dengan komposisi sebanyak 35,76%, di antaranya merupakan penduduk asli Papua, 62,80% penduduk non-Papua, dan sekitar 1,44% sisanya merupakan tenaga kerja asing.
PTFI juga menunjang kesejahteraan pekerjanya dengan mengikutsertakan mereka dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan program Tabungan Hari Tua (Saving Plans) melalui BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Angka yang ditaksir untuk menyokong kedua program tersebut diperkirakan mencapai Rp35 miliar/tahun.
Kontribusi secara finansial untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal dan nasional juga sebenarnya masih sangat menjanjikan. Pada 2016 total manfaat langsung kepada Pemerintah Indonesia dikatakan mencapai USD424 juta melalui skema pajak, royalti, dividen, bea cukai, dan pembayaran lain.
Sementara manfaat tidak langsungnya yang mengalir melalui gaji karyawan, belanja (pembelian) dalam negeri, pengembangan masyarakat, pembangunan daerah, dan investasi dalam negeri bahkan ditaksir jauh di atas manfaat langsung hingga mencapai USD3,3 miliar.
Dalam sebuah penelitian terdahulu dari LPEM UI (2013), multiplier effects yang dihasilkan PTFI secara makro pada 2013 yang lalu kontribusinya mencapai 0,8% dari PDB Indonesia, 37,5% dari PDRB Papua, serta 91% dari PDRB Mimika.
Kontribusi lainnya ialah menyumbang 1,7% total APBN, membiayai sekitar 50% program pengembangan masyarakat sektor tambang, mendukung pembentukan 0,8% semua pendapatan rumah tangga nasional, serta menunjang 44% pemasukan rumah tangga di Papua. Di dalamnya sudah termasuk komitmen PTFI yang mengatakan bahwa 76% pembelian barang operasionalnya merupakan hasil transaksi dalam negeri.
Meskipun sudah beroperasi sangat lama, keberadaan PTFI dinilai belum cukup menampakkan komitmen yang kuat untuk membantu pemerintah mengatasi isu sosial ekonomi masyarakat, khususnya kepada penduduk yang tinggal di wilayah Papua.
Inilah yang kemudian menjadi embrio perdebatan politik mengapa PTFI masih saja diizinkan beroperasi di sana. Fakta pendukungnya bisa kita lihat pada angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua yang berada pada posisi yang paling rendah di Indonesia.
Angka IPM Papua berada di posisi 58,05, sangat jauh bila dibandingkan dengan IPM nasional yang berada di angka 70,18. Persentase kemiskinan di Papua juga tercatat yang paling buruk jika dikomparasikan dengan provinsi lain.
Data BPS (2017) menunjukkan jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 27,62% dari total populasinya. Fakta ini semakin memperkuat asumsi kehadiran PTFI tidak banyak menunjang pembangunan daerah setempat. Selain itu juga menunjukkan bahwa wilayah yang kaya potensi SDA akan selalu mendapat kutukan kemiskinan, selama kebijakan politik yang diemban pemerintah tidak berhasil mendorong berkembangnya potensi lokal untuk aktif di dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Oleh karena itu, spekulasi mengenai kesepakatan hukum dan mekanisme transisi hasil negosiasi dengan PTFI bisa jadi akan terus berjalan menarik.
Kronik Lanjutan
Negosiasi kemarin yang terjadi bisa kita lihat sebagai target antara pemerintah. Langkah berikutnya bisa jadi lebih berat untuk mengamankan dan mengimplementasikan hasil-hasil negosiasi.
Akankah negosiasi akan menghasilkan suatu kemakmuran atau justru kemunduran secara ekonomi dan politik terhadap Indonesia, dan khususnya Papua, masih merupakan gambaran yang abstrak. Untuk itu penulis memberikan sedikit gagasan bagaimana tindak lanjut yang perlu pemerintah upayakan, agar hasil negosiasi tersebut betul-betul memberikan nilai tambah yang besar bagi pembangunan Indonesia dan daerah.
Pertama, setelah tahap negosiasi antara pemerintah dengan PTFI, sangat terbuka kemungkinan bahwa akan ada perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat. Kita sama-sama mengetahui bagaimana kedigdayaan Negeri Paman Sam (beserta para sekutunya) dalam kancah politik global dan kemampuan negosiasinya.
Superioritas tersebut bisa saja memengaruhi substansi-substansi utama di mana sudah menjadi kesepakatan dan mendorong perubahan arah dan haluan. Oleh karena itu, kita dan seluruh masyarakat Indonesia perlu memosisikan dukungan yang jelas kepada pemerintah, agar tidak banyak kendala untuk merealisasikan hasil negosiasi. Kita juga perlu ikut mengawal agar pemerintah tetap tegar dan bernas dalam menghindari praktik perburuan rente yang akan sangat memungkinkan terjadi.
Kedua, PTFI mengemukakan bahwa tahun lalu keuntungan mereka secara agregat naik 24% dibandingkan tahun 2015. Kenaikan tersebut ditunjang dari kenaikan produksi tambang tembaga, namun hasil produksi emasnya justru dikatakan sedang merosot.
Melihat kengototan PTFI untuk memperpanjang kontrak karya hingga 20 tahun justru menampilkan logika yang menggelitik dan mencurigakan: apakah cadangan tambang di perut bumi Grasberg (lokasi tambang di Papua) masihkah sangat banyak?
Ini yang kemudian perlu ditelusuri kembali untuk memastikan seberapa tinggi nilai divestasi yang harus dikeluarkan, beserta poin-poin kesepakatan yang akan dituangkan dalam IUPK. Jangan sampai kita kalah cerdik dengan PTFI dalam hal menghitung secara akurat keuntungan dari pertambangan tersebut.
Ketiga, mengamankan pembagian saham dengan pemerintah daerah khususnya dengan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika. Kedua daerah tersebut yang selama ini yang paling banyak menerima eksternalitas negatif dari adanya aktivitas pertambangan sehingga mereka perlu juga dilibatkan untuk meningkatkan rasa keadilan dan meredam potensi konflik.
Hasil dari pertambangan nantinya juga mudah-mudahan bisa berdampak positif untuk kemampuan anggaran pemerintah setempat dan muaranya nanti mengalir agar mereka tidak semakin tertinggal dalam urusan sosial ekonomi masyarakatnya.
Keempat, mekanisme transisi kepemilikan saham mudah-mudahan juga diikuti dengan transisi manajerial dan ketenagakerjaan hingga nantinya potensi tambang bisa betul-betul 100% untuk kepentingan bangsa. Kalau misalnya hak eksploitasi diberikan seutuhnya kepada negara, sebetulnya kita sangat siap.
Karena saat ini lebih dari 90% tenaga kerja yang ada merupakan SDM lokal dari Papua dan non-Papua. Artinya kita sebenarnya sudah siap secara teknis menjalankan sistem operasionalnya. Tinggal menanti langkah kejutan pemerintah berikutnya untuk agar angan-angan kita ini bisa terlaksana.
Dan kelima, mungkin ini adalah konsekuensi yang paling kronik, yakni dari mana anggaran untuk melakukan divestasi? Harga saham yang harus dibayarkan juga belum tampak jelas.
Lembaga Vertical Research Partners Mike Dudas memperkirakan harga saham PTFI bisa lebih dari USD11 miliar. Jadi harga yang adil untuk melepas kepemilikan Freeport McMoran hingga 51% bisa di atas USD5 miliar.
Selain itu pemerintah juga perlu mematangkan siapa nantinya yang bertugas mengambil alih hak operasional? Apakah dari perusahaan tambang dari lingkungan BUMN?
Kalaupun nantinya beberapa BUMN pertambangan ditunjuk katakanlah melalui sebuah holding, apakah konsekuensinya holding BUMN tersebut yang membayar kewajiban divestasi? Belum lagi dengan kemungkinan perubahan skema pajak dengan adanya divestasi tersebut.
Kita sah-sah saja andaikata merasa senang dengan adanya perkembangan yang positif dari negosiasi kemarin. Penulis berharap kemenangan dalam negosiasi kemarin bukanlah kebahagiaan semu. Karena langkah berikutnya juga tidak kalah pentingnya.
Tugas berat bagi pemerintah sudah siap menanti, minimal melalui sederet kebijakan politik dan anggaran agar negosiasi tersebut betul-betul happy ending untuk masyarakat Indonesia.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PEMERINTAH mengklaim telah berhasil bernegosiasi dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam rangka implementasi Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2017. Sesuatu yang paling menyita perhatian publik tentu berkaitan dengan butir kesepakatan kepemilikan divestasi 51% saham PTFI yang akan dikuasai pemerintah.
Isyarat mengenai kesepakatan divestasi boleh jadi dirasa melegakan bagi sebagian pihak. Akan tetapi kronik tentang PTFI bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan sederhana jika kita menelusuri akar sejarahnya.
Juru runding yang merefleksikan pihak pemerintah untuk tahap negosiasi pun bukanlah orang sembarangan. Ketua kontingen dari pemerintah diwakili oleh Menteri ESDM. Di samping kiri-kanan Menteri ESDM terdapat Menteri Keuangan, Kemenko Perekonomian, Kemenko Maritim, Kementerian Hukum dan HAM, dan beberapa pejabat teras lainnya.
Selain mengenai kabar divestasi, hasil negosiasi juga membahas kesepakatan konsep hubungan antara PTFI dan pemerintah secara kelembagaan yang akan berupa izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan kewajiban pembangunan smelter. Skema IUPK menggantikan mekanisme hukum yang lama dalam bentuk kontrak karya (KK), tetapi konsekuensinya pemerintah harus memberikan perpanjangan kontrak kepada PTFI untuk mengeksploitasi tambang 2 kali 10 tahun atau hingga 2041.
Kronik mengenai hak pengelolaan tambang kepada PTFI sebetulnya sudah lama dan berliku-liku. Potensi alam di perut bumi Papua selalu menjadi topik panas karena diriwayatkan menyimpan sumber daya kekayaan yang sangat melimpah.
Sejak masa kampanye, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat menginginkan renegosiasi yang lebih ideal terkait bagi hasil dengan PTFI. Hasil perundingan dinilai lebih banyak memihak pemerintah, minimal dari segi saham kepemilikan yang naik secara signifikan.
Sebelumnya pemerintah memperoleh hak dividen yang relatif minim karena hanya memiliki 9,36% saham. Setelah ini kita berhak memiliki saham hingga 51%. “Kemenangan” pemerintah dalam tahap negosiasi tersebut bisa jadi akan banyak menunjang elektabilitas Presiden Jokowi menjelang pesta politik pada Pemilu 2019.
Nah terkait dengan semangat pemerintah yang begitu menggebu-gebu dalam negosiasi, mari kita ulas sedikit apa saja kegiatan ekonomi yang selama hampir 50 tahun terakhir sudah dihasilkan PTFI. Ulasan ini akan memberi kita perspektif tambahan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah setelah negosiasi.
Dari website PTFI kita bisa sedikit banyak mengetahui bagaimana kontribusi PTFI terhadap pembangunan di Indonesia. Dari sisi ketenagakerjaan, total jumlah tenaga kerja yang terserap hingga akhir 2016 mencapai 33.452 orang, baik sebagai tenaga kerja langsung untuk aktivitas pertambangan maupun sebagai tenaga kerja pendukung (kontraktor). Jumlah tenaga kerja langsung di PTFI mencapai 12.184 pekerja dengan komposisi sebanyak 35,76%, di antaranya merupakan penduduk asli Papua, 62,80% penduduk non-Papua, dan sekitar 1,44% sisanya merupakan tenaga kerja asing.
PTFI juga menunjang kesejahteraan pekerjanya dengan mengikutsertakan mereka dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan program Tabungan Hari Tua (Saving Plans) melalui BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Angka yang ditaksir untuk menyokong kedua program tersebut diperkirakan mencapai Rp35 miliar/tahun.
Kontribusi secara finansial untuk mendukung pengembangan ekonomi lokal dan nasional juga sebenarnya masih sangat menjanjikan. Pada 2016 total manfaat langsung kepada Pemerintah Indonesia dikatakan mencapai USD424 juta melalui skema pajak, royalti, dividen, bea cukai, dan pembayaran lain.
Sementara manfaat tidak langsungnya yang mengalir melalui gaji karyawan, belanja (pembelian) dalam negeri, pengembangan masyarakat, pembangunan daerah, dan investasi dalam negeri bahkan ditaksir jauh di atas manfaat langsung hingga mencapai USD3,3 miliar.
Dalam sebuah penelitian terdahulu dari LPEM UI (2013), multiplier effects yang dihasilkan PTFI secara makro pada 2013 yang lalu kontribusinya mencapai 0,8% dari PDB Indonesia, 37,5% dari PDRB Papua, serta 91% dari PDRB Mimika.
Kontribusi lainnya ialah menyumbang 1,7% total APBN, membiayai sekitar 50% program pengembangan masyarakat sektor tambang, mendukung pembentukan 0,8% semua pendapatan rumah tangga nasional, serta menunjang 44% pemasukan rumah tangga di Papua. Di dalamnya sudah termasuk komitmen PTFI yang mengatakan bahwa 76% pembelian barang operasionalnya merupakan hasil transaksi dalam negeri.
Meskipun sudah beroperasi sangat lama, keberadaan PTFI dinilai belum cukup menampakkan komitmen yang kuat untuk membantu pemerintah mengatasi isu sosial ekonomi masyarakat, khususnya kepada penduduk yang tinggal di wilayah Papua.
Inilah yang kemudian menjadi embrio perdebatan politik mengapa PTFI masih saja diizinkan beroperasi di sana. Fakta pendukungnya bisa kita lihat pada angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua yang berada pada posisi yang paling rendah di Indonesia.
Angka IPM Papua berada di posisi 58,05, sangat jauh bila dibandingkan dengan IPM nasional yang berada di angka 70,18. Persentase kemiskinan di Papua juga tercatat yang paling buruk jika dikomparasikan dengan provinsi lain.
Data BPS (2017) menunjukkan jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 27,62% dari total populasinya. Fakta ini semakin memperkuat asumsi kehadiran PTFI tidak banyak menunjang pembangunan daerah setempat. Selain itu juga menunjukkan bahwa wilayah yang kaya potensi SDA akan selalu mendapat kutukan kemiskinan, selama kebijakan politik yang diemban pemerintah tidak berhasil mendorong berkembangnya potensi lokal untuk aktif di dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Oleh karena itu, spekulasi mengenai kesepakatan hukum dan mekanisme transisi hasil negosiasi dengan PTFI bisa jadi akan terus berjalan menarik.
Kronik Lanjutan
Negosiasi kemarin yang terjadi bisa kita lihat sebagai target antara pemerintah. Langkah berikutnya bisa jadi lebih berat untuk mengamankan dan mengimplementasikan hasil-hasil negosiasi.
Akankah negosiasi akan menghasilkan suatu kemakmuran atau justru kemunduran secara ekonomi dan politik terhadap Indonesia, dan khususnya Papua, masih merupakan gambaran yang abstrak. Untuk itu penulis memberikan sedikit gagasan bagaimana tindak lanjut yang perlu pemerintah upayakan, agar hasil negosiasi tersebut betul-betul memberikan nilai tambah yang besar bagi pembangunan Indonesia dan daerah.
Pertama, setelah tahap negosiasi antara pemerintah dengan PTFI, sangat terbuka kemungkinan bahwa akan ada perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat. Kita sama-sama mengetahui bagaimana kedigdayaan Negeri Paman Sam (beserta para sekutunya) dalam kancah politik global dan kemampuan negosiasinya.
Superioritas tersebut bisa saja memengaruhi substansi-substansi utama di mana sudah menjadi kesepakatan dan mendorong perubahan arah dan haluan. Oleh karena itu, kita dan seluruh masyarakat Indonesia perlu memosisikan dukungan yang jelas kepada pemerintah, agar tidak banyak kendala untuk merealisasikan hasil negosiasi. Kita juga perlu ikut mengawal agar pemerintah tetap tegar dan bernas dalam menghindari praktik perburuan rente yang akan sangat memungkinkan terjadi.
Kedua, PTFI mengemukakan bahwa tahun lalu keuntungan mereka secara agregat naik 24% dibandingkan tahun 2015. Kenaikan tersebut ditunjang dari kenaikan produksi tambang tembaga, namun hasil produksi emasnya justru dikatakan sedang merosot.
Melihat kengototan PTFI untuk memperpanjang kontrak karya hingga 20 tahun justru menampilkan logika yang menggelitik dan mencurigakan: apakah cadangan tambang di perut bumi Grasberg (lokasi tambang di Papua) masihkah sangat banyak?
Ini yang kemudian perlu ditelusuri kembali untuk memastikan seberapa tinggi nilai divestasi yang harus dikeluarkan, beserta poin-poin kesepakatan yang akan dituangkan dalam IUPK. Jangan sampai kita kalah cerdik dengan PTFI dalam hal menghitung secara akurat keuntungan dari pertambangan tersebut.
Ketiga, mengamankan pembagian saham dengan pemerintah daerah khususnya dengan Pemprov Papua dan Pemkab Mimika. Kedua daerah tersebut yang selama ini yang paling banyak menerima eksternalitas negatif dari adanya aktivitas pertambangan sehingga mereka perlu juga dilibatkan untuk meningkatkan rasa keadilan dan meredam potensi konflik.
Hasil dari pertambangan nantinya juga mudah-mudahan bisa berdampak positif untuk kemampuan anggaran pemerintah setempat dan muaranya nanti mengalir agar mereka tidak semakin tertinggal dalam urusan sosial ekonomi masyarakatnya.
Keempat, mekanisme transisi kepemilikan saham mudah-mudahan juga diikuti dengan transisi manajerial dan ketenagakerjaan hingga nantinya potensi tambang bisa betul-betul 100% untuk kepentingan bangsa. Kalau misalnya hak eksploitasi diberikan seutuhnya kepada negara, sebetulnya kita sangat siap.
Karena saat ini lebih dari 90% tenaga kerja yang ada merupakan SDM lokal dari Papua dan non-Papua. Artinya kita sebenarnya sudah siap secara teknis menjalankan sistem operasionalnya. Tinggal menanti langkah kejutan pemerintah berikutnya untuk agar angan-angan kita ini bisa terlaksana.
Dan kelima, mungkin ini adalah konsekuensi yang paling kronik, yakni dari mana anggaran untuk melakukan divestasi? Harga saham yang harus dibayarkan juga belum tampak jelas.
Lembaga Vertical Research Partners Mike Dudas memperkirakan harga saham PTFI bisa lebih dari USD11 miliar. Jadi harga yang adil untuk melepas kepemilikan Freeport McMoran hingga 51% bisa di atas USD5 miliar.
Selain itu pemerintah juga perlu mematangkan siapa nantinya yang bertugas mengambil alih hak operasional? Apakah dari perusahaan tambang dari lingkungan BUMN?
Kalaupun nantinya beberapa BUMN pertambangan ditunjuk katakanlah melalui sebuah holding, apakah konsekuensinya holding BUMN tersebut yang membayar kewajiban divestasi? Belum lagi dengan kemungkinan perubahan skema pajak dengan adanya divestasi tersebut.
Kita sah-sah saja andaikata merasa senang dengan adanya perkembangan yang positif dari negosiasi kemarin. Penulis berharap kemenangan dalam negosiasi kemarin bukanlah kebahagiaan semu. Karena langkah berikutnya juga tidak kalah pentingnya.
Tugas berat bagi pemerintah sudah siap menanti, minimal melalui sederet kebijakan politik dan anggaran agar negosiasi tersebut betul-betul happy ending untuk masyarakat Indonesia.
(poe)