Penjara Bakat Anak

Rabu, 30 Agustus 2017 - 06:59 WIB
Penjara Bakat Anak
Penjara Bakat Anak
A A A
JEJEN MUSFAH
Ketua Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Jakarta dan Tim Ahli PB PGRI

SAAT ini orang tua bebas memilih sekolah untuk anak-anak mereka. Pilihannya sangat beragam: negeri atau swasta, sekolah atau madrasah, pesantren atau sekolah berasrama. Terakhir: mahal, sedang, atau murah.

Setiap pilihan pasti mempertimbangkan banyak aspek, seperti keuangan, jarak tempuh, dan mutu sekolah. Masalahnya, apakah pengembangan bakat anak menjadi alasan utama pemilihan sekolah oleh para orang tua? Karena tidak semua sekolah memfasilitasi pembinaan bakat anak, maka orang tua harus cerdas memilih sekolah.

Kecuali, setiap anak berhak mendapatkan bimbingan minat dan bakatnya sejak di sekolah dasar. Mereka juga harus bebas memilih jurusan (SMA dan PT) apa yang mereka senangi.

Selama ini orang tua terlalu mendikte anak-anak terkait pendidikan dan masa depan mereka. Misalnya, mengarahkan anak untuk menjadi ASN (aparatur sipil negara), padahal belum tentu sesuai dengan keinginan mereka. Akibatnya, anak-anak tidak mandiri alias selalu tergantung kepada orang tua meski sudah jadi sarjana.

Kemerdekaan Anak

Hakikat kemerdekaan anak adalah ketika mereka diberikan peluang oleh orang tua untuk maju sesuai dengan minat dan bakat mereka masing-masing. Orang tua tidak bisa sendirian, tetapi perlu bekerja sama dengan guru di sekolah.

Karena itu, sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menemukan beragam bakat siswa (kecerdasan jamak) dan mengembangkannya sampai batas maksimal. Usaha ini tidak mudah sehingga memerlukan perencanaan matang.

Pertama, ketersediaan ekstrakurikuler yang beragam. Contoh hasil riset Puslitbang Penda (2017) tentang Kekhususan Madrasah, di Madrasah Diniyyah Putri Lampung (DPL) terdapat 47 kegiatan ekstrakurikuler dari 11 bidang mulai dari olahraga, seni, jurnalistik, bahasa, kesehatan, wirausaha, olimpiade, hingga perfilman.

Kedua, pengadaan fasilitas penunjang ekstrakurikuler di sekolah. Pasti masalah klise sekolah adalah ketiadaan dana dan lahan. Karena itu, pemenuhan fasilitas ini harus direncanakan dengan baik dan bertahap. Tidak perlu sekaligus semua terpenuhi seperti sekolah-sekolah mapan. Tidak juga semuanya harus mahal. Siswi Madrasah DPL di atas mampu memanfaatkan ban bekas menjadi kursi, drum bekas menjadi tempat sampah, dan kayu-kayu bekas menjadi kursi panjang, misalnya.

Ketiga, kesiapan pembina ekskul. Selain guru, sekolah bisa menunjuk siswa senior menjadi pembina ekskul di sekolah. Sekolah juga bisa melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi sekitar untuk pembinaan ekskul tertentu yang menjadi fokus perguruan tinggi (PT).

Siswi Madrasah DPL misalnya, berhasil dalam bidang kewirausahaan, yaitu menanam sayur hidroponik, wirausaha bisnis sayur hidroponik, dan mengelola keuangan hasil tanaman itu. Para siswi ini dilatih dan dibimbing oleh Komunitas Petani Muda Lampung, yaitu para mahasiswa Universitas Lampung (UNILA) yang memiliki hobi hidroponik.

Keempat, mengirim siswa ke berbagai perlombaan. Keberhasilan ekskul bisa diukur dari prestasinya di level kecamatan, kabupaten, provinsi, nasional, hingga internasional. Melalui perlombaan, siswa belajar banyak tentang karakter, seperti kedisiplinan, kerja keras, tanggung jawab, sportivitas, dan fokus. Pada akhirnya, menang atau kalah bukan tujuan, tetapi seberapa besar kecintaan dan kerja keras mereka pada bakat yang mereka miliki.

Faktor kepala sekolah dan guru pembina sangat penting dalam mengasah kematangan bakat siswa melalui perlombaan ini. Seperti yang dialami banyak kepala madrasah se-Indonesia dalam Ajang Kreasi Seni dan Olahraga Madrasah (Aksioma) pada 27-12 Agustus 2017 di UIN Yogyakarta.

Meski memerlukan dana tidak sedikit dan waktu mepet, mereka semangat mengirimkan siswa-siswi untuk bertanding di level nasional demi pengembangan bakat siswa mereka.

Menutup Kemerdekaan


Dalam lingkungan kondusif, setiap anak akan bisa tumbuh sesuai dengan bakat mereka masing-masing. Inilah hakikat pendidikan yang tidak hanya menghargai kemampuan akademik siswa, tetapi juga mengakui kecerdasan siswa dalam bidang seni, olahraga, kepemimpinan, dan kewirausahaan.

Dengan demikian, setiap anak akan bangga menjadi diri mereka masing-masing. Bukan dituntut pintar sesuai dengan keinginan guru atau orang tua. Teori kecerdasan jamak baru sekadar dihafal guru, kepala sekolah, dan dosen, tetapi minim praktik. Ragam kecerdasan siswa banyak tidak tersentuh alias tidak berkembang karena sudah dimatikan sejak di rumah, di sekolah, bahkan di perguruan tinggi.

Kematangan individu tidak ditentukan oleh lamanya pendidikan yang ditempuh. Keterampilan seseorang diperoleh justru di luar sekolah dan PT. Alih-alih menjembatani kemerdekaan pilihan siswa terkait bakatnya masing-masing, sekolah dan PT secara sadar malah menutup rapat kemerdekaan itu.

Pertama, tidak banyak pilihan ekskul di sekolah sehingga siswa dengan bakat olahraga atau seni tertentu tidak bisa berkembang apalagi mengikuti lomba. Sebut saja sedikit sekali sekolah yang mengajarkan tata boga, padahal bisa jadi ada siswa yang hobi memasak atau membuat kue.

Sedikit sekolah yang bangga memamerkan keahlian siswa-siswinya dalam keterampilan bidang olahraga, seni, tata boga, dan tata busana. Kalah dengan gegap-gempita olimpiade sains dan selebrasi hasil ujian nasional. Padahal setiap anak dilahirkan dengan membawa kecerdasan yang berbeda satu sama lain. Hidup bahagia dan sukses itu ketika mereka kelak bekerja sesuai dengan minat dan bakatnya.

Kedua, kebijakan PT terkait pengembangan bakat anak yang variatif lebih buruk daripada sekolah. Banyak PT besar tidak memiliki fasilitas olahraga dan seni-budaya yang memadai bagi tumbuhnya bakat-bakat mahasiswa di bidang tersebut. Kemajuan universitas hanya diukur dari produktivitas penelitian, khususnya banyaknya publikasi artikel dosen dan mahasiswa di jurnal internasional dan nasional.

Prestasi-prestasi siswa di sekolah dalam bidang seni dan olahraga bisa jadi terhenti saat mereka masuk ke universitas karena orientasinya lebih ke bidang akademik. Padahal tidak semua sarjana ingin menjadi guru, dosen, widyaiswara, atau peneliti. Banyak dari sarjana memiliki bakat-bakat tertentu, tetapi tidak terasah dan terwadahi oleh kampus besar sekalipun. Apalagi mereka yang kuliah di kampus-kampus kecil.

Diperlukan sosok pemimpin pendidikan yang berani menjawab tantangan ini dalam bentuk kebijakan yang pro-pengembangan minat dan bakat anak yang bhinneka. Sekolah dan kampus harus memiliki sarana olahraga dan seni budaya agar bakat-bakat individu tersalurkan dengan baik. Kita sedang mendidik dan melatih manusia yang memiliki bakat dan minat heterogen.

Mimpi mereka tidak sama satu dengan yang lainnya. Sekolah dan universitas seharusnya menjadi taman bagi tumbuh kembang kecerdasan dan bakat anak, bukan menjadi penjara yang mematikan.

Mungkin terpikirkan oleh kepala sekolah dan rektor tentang wajah lembaga pendidikan seperti ini, tetapi mewujudkannya butuh banyak dukungan sumber daya manusia, alam, dan finansial sehingga mereka memilih ”diam”.

Masalahnya, sampai kapan sekolah dan kampus kita seperti ini? Kita tunggu saja kapan sejarah mengabarkan kelahiran pemimpin pendidikan yang memerdekakan pilihan siswa atas minat dan bakat yang teranugerah untuk mereka sejak lahir di bumi pertiwi ini.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5541 seconds (0.1#10.140)