Pengurangan Kemiskinan demi Keadilan Sosial
A
A
A
PROF DR FRANS H WINARTA SH, MH
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
INDONESIA sebagai negara yang sedang berkembang belum dapat melepaskan diri dari kemiskinan. Hasil survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 menyatakan bahwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 27,7 juta orang atau sekitar 10,64% dari jumlah total penduduk di negara ini.
Itu merupakan angka yang cukup besar dan tentunya harus mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Indonesia. Kemiskinan merupakan per soalan klasik yang dihadapi seluruh negara di dunia. Menurut data Bank Dunia per 2015, garis kemiskinan dunia adalah sebesar USD1,9 per orang per hari.
Uang sebesar itu adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk bertahan hidup selama satu hari. Bayangkan jika orang tersebut merupakan seorang kepala keluarga yang memiliki istri dan tiga anak yang harus dipenuhi kebutuhannya.
Dulu Bung Karno pun pernah mengkhawatirkan besarnya angka kemiskinan di tengah-tengah rakyat Indonesia yang terutama diakibatkan kolonial isme atau penjajahan.
Namun, saat ini persoalan kemiskinan yang kita hadapi bersifat multi dimensional dan berkutat pada persoalan yang lebih kompleks, seperti kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai, kualitas pendidikan yang rendah, sanitasi yang buruk, kekurangan gizi atau gizi buruk, kesulitan air bersih, kurangnya jaminan sosial.
Lalu bagaimana cara mewujudkan keadilan sosial secara menyeluruh? Definisi negara yang sejahtera (welfare state) hanya dapat tercapai jika pemerintah mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti yang diamanatkan Pancasila dan konstitusi kita, UUD 1945.
Kemiskinan hadir karena ketiadaan kesejahteraan. Untuk itu, pemerintah harus lebih fokus terhadap bagaimana cara memperbaiki sistem untuk dapat mendistribusikan kesejahteraan kepada masyarakat. Rencana pemerintah untuk mengurangi persentase kemiskinan hingga menjadi 3-4% dari jumlah total penduduk di ne gara ini pada 2019 pun harus dapat tercapai.
Tekanan ekonomi yang makin mengimpit dan daya beli masyarakat menurun karena belum ada perbaikan ekonomi yang berarti merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah yang harus dicarikan solusinya.
Hukum dan Keadilan Sosial
Prinsip keadilan sosial dalam Pancasila dan UUD 1945 selain harus diinterpretasikan pemerintah sebagai sebuah tujuan, harus juga diinter pretasi kan oleh pemerintah sebagai sebuah proses. Proses tersebut diawali dari penyusunan legislasi dan kebijakan publik.
Perlu disadari bahwa produk legislasi dan kebijakan publik disahkan oleh legislatif adalah produk kekuasaan sehingga seharusnya output yang dihasilkan bukanlah hanya melalui pers pektif dari legislatif dan juga para ahli hukum, melainkan harus benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat.
Jika ingin memahami secara komprehensif mengenai keadilan sosial, sistem hukum yang ada haruslah stabil dan konsekuen. Apalagi, terwujudnya keadilan sosial itu sangat bergantung kepada sistem hukum melalui produk legislasi dan kebijakan publik.
Sebagai contoh, kebijakan publik yang sudah ada di pemerintahan Jokowi-JK seperti: Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) harus didistribusikan secara merata sehingga semua masyarakat yang tergolong mis kin dapat merasakan kehadiran negara.
Namun, implementasi dari legislasi dan kebijakan publik pemerintah tersebut diharapkan dapat dimaksimalkan melalui master plan yang jelas mengenai peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan fasilitas kesehatan, termasuk perbaikan sanitasi, peningkatan gizi bagi anak, reformasi perpajakan.
Kemudian dalam bidang pembangunan infra struktur yang adil dan merata dilakukan dengan meng undang pihak swasta atau investor asing untuk membantu membangun akses jalan, jembatan, sistem transportasi publik, dan infrastruktur krusial lain serta reformasi agraria. Pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan antara pemerintah dengan investor asing me lalui mekanisme bangun, kelola, dan serah atau yang biasa disebut dengan istilah built, operate & transfer (BOT).
BOT sangat tepat dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia karena sumber daya manusia dan biaya kita masih sangat terbatas. Investor asing terlibat dalam kerja sama BOT untuk membantu negara Indonesia melaksanakan pembangunan infrastruktur dan mengelolanya sebelum diserahkan kembali kepada pemerintah di kemudian hari.
Contoh negara yang telah menerapkan mekanisme ini antara lain negara Malaysia dan Hong Kong dengan proyek jembatan dan bandara, serta RRT dengan proyek jalur kereta api.
Dalam bidang pemberdaya an manusia dapat dilakukan dengan penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya, dengan cara memberikan ”kail” bukan ”umpan” kepada masyarakat dan peningkatan upah minimum bagi buruh.
Dalam prosesnya, perlahanlahan disparitas antara yang kaya dan yang miskin di Indo nesia akan berkurang. Perlu kesabaran, upaya tidak kenal lelah dan kesungguhan dari pe merintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan secara menyeluruh. Namun, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mus tahil jika pemerintah konsisten dalam mendistribusikan demi terciptanya tatanan keadilan sosial dalam kehidupan ber bangsa dan bernegara di Indonesia.
Master plan yang jelas dalam segala bidang beserta pelaksanaannya oleh pemerintah adalah fokus utamanya. Jika melihat situasi saat ini, para elite politik bukannya bersatu dalam menye jahterakan bangsa dan negara, malah terus ber sengketa dalam isu-isu yang tidak produktif dan memecah persatuan bangsa, negara kesatuan, dan Pancasila yang sudah dijamin oleh konstitusi.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
INDONESIA sebagai negara yang sedang berkembang belum dapat melepaskan diri dari kemiskinan. Hasil survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 menyatakan bahwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 27,7 juta orang atau sekitar 10,64% dari jumlah total penduduk di negara ini.
Itu merupakan angka yang cukup besar dan tentunya harus mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Indonesia. Kemiskinan merupakan per soalan klasik yang dihadapi seluruh negara di dunia. Menurut data Bank Dunia per 2015, garis kemiskinan dunia adalah sebesar USD1,9 per orang per hari.
Uang sebesar itu adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk bertahan hidup selama satu hari. Bayangkan jika orang tersebut merupakan seorang kepala keluarga yang memiliki istri dan tiga anak yang harus dipenuhi kebutuhannya.
Dulu Bung Karno pun pernah mengkhawatirkan besarnya angka kemiskinan di tengah-tengah rakyat Indonesia yang terutama diakibatkan kolonial isme atau penjajahan.
Namun, saat ini persoalan kemiskinan yang kita hadapi bersifat multi dimensional dan berkutat pada persoalan yang lebih kompleks, seperti kurangnya pelayanan kesehatan yang memadai, kualitas pendidikan yang rendah, sanitasi yang buruk, kekurangan gizi atau gizi buruk, kesulitan air bersih, kurangnya jaminan sosial.
Lalu bagaimana cara mewujudkan keadilan sosial secara menyeluruh? Definisi negara yang sejahtera (welfare state) hanya dapat tercapai jika pemerintah mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti yang diamanatkan Pancasila dan konstitusi kita, UUD 1945.
Kemiskinan hadir karena ketiadaan kesejahteraan. Untuk itu, pemerintah harus lebih fokus terhadap bagaimana cara memperbaiki sistem untuk dapat mendistribusikan kesejahteraan kepada masyarakat. Rencana pemerintah untuk mengurangi persentase kemiskinan hingga menjadi 3-4% dari jumlah total penduduk di ne gara ini pada 2019 pun harus dapat tercapai.
Tekanan ekonomi yang makin mengimpit dan daya beli masyarakat menurun karena belum ada perbaikan ekonomi yang berarti merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah yang harus dicarikan solusinya.
Hukum dan Keadilan Sosial
Prinsip keadilan sosial dalam Pancasila dan UUD 1945 selain harus diinterpretasikan pemerintah sebagai sebuah tujuan, harus juga diinter pretasi kan oleh pemerintah sebagai sebuah proses. Proses tersebut diawali dari penyusunan legislasi dan kebijakan publik.
Perlu disadari bahwa produk legislasi dan kebijakan publik disahkan oleh legislatif adalah produk kekuasaan sehingga seharusnya output yang dihasilkan bukanlah hanya melalui pers pektif dari legislatif dan juga para ahli hukum, melainkan harus benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat.
Jika ingin memahami secara komprehensif mengenai keadilan sosial, sistem hukum yang ada haruslah stabil dan konsekuen. Apalagi, terwujudnya keadilan sosial itu sangat bergantung kepada sistem hukum melalui produk legislasi dan kebijakan publik.
Sebagai contoh, kebijakan publik yang sudah ada di pemerintahan Jokowi-JK seperti: Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) harus didistribusikan secara merata sehingga semua masyarakat yang tergolong mis kin dapat merasakan kehadiran negara.
Namun, implementasi dari legislasi dan kebijakan publik pemerintah tersebut diharapkan dapat dimaksimalkan melalui master plan yang jelas mengenai peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan fasilitas kesehatan, termasuk perbaikan sanitasi, peningkatan gizi bagi anak, reformasi perpajakan.
Kemudian dalam bidang pembangunan infra struktur yang adil dan merata dilakukan dengan meng undang pihak swasta atau investor asing untuk membantu membangun akses jalan, jembatan, sistem transportasi publik, dan infrastruktur krusial lain serta reformasi agraria. Pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan antara pemerintah dengan investor asing me lalui mekanisme bangun, kelola, dan serah atau yang biasa disebut dengan istilah built, operate & transfer (BOT).
BOT sangat tepat dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia karena sumber daya manusia dan biaya kita masih sangat terbatas. Investor asing terlibat dalam kerja sama BOT untuk membantu negara Indonesia melaksanakan pembangunan infrastruktur dan mengelolanya sebelum diserahkan kembali kepada pemerintah di kemudian hari.
Contoh negara yang telah menerapkan mekanisme ini antara lain negara Malaysia dan Hong Kong dengan proyek jembatan dan bandara, serta RRT dengan proyek jalur kereta api.
Dalam bidang pemberdaya an manusia dapat dilakukan dengan penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya, dengan cara memberikan ”kail” bukan ”umpan” kepada masyarakat dan peningkatan upah minimum bagi buruh.
Dalam prosesnya, perlahanlahan disparitas antara yang kaya dan yang miskin di Indo nesia akan berkurang. Perlu kesabaran, upaya tidak kenal lelah dan kesungguhan dari pe merintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan secara menyeluruh. Namun, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mus tahil jika pemerintah konsisten dalam mendistribusikan demi terciptanya tatanan keadilan sosial dalam kehidupan ber bangsa dan bernegara di Indonesia.
Master plan yang jelas dalam segala bidang beserta pelaksanaannya oleh pemerintah adalah fokus utamanya. Jika melihat situasi saat ini, para elite politik bukannya bersatu dalam menye jahterakan bangsa dan negara, malah terus ber sengketa dalam isu-isu yang tidak produktif dan memecah persatuan bangsa, negara kesatuan, dan Pancasila yang sudah dijamin oleh konstitusi.
(dam)