Unhan dan PYC Teliti Infrastruktur Maritim Dasar Laut Natuna
A
A
A
JAKARTA - Pusat Studi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan (Unhan) dan Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) melaksanakan penelitian bersama terhadap infrastruktur maritim dasar laut di Laut Natuna. Sebagai rangkaian kegiatan penelitian bersama tersebut, maka Focus Group Discussion (FGD) III dilaksanakan di Batam dengan menghadirkan narasumber dari Pemda Provinsi Kepri, Kemenkominfo dan Lantamal IV.
FGD didahului dengan penandatanganan MoU antara Rektor Unhan Letjen TNI DR I Wayan Midhio, M Phil dan Warek I Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Prof DR rer nat H Rayandra Asyhar MSi.
Penelitian bersama yang berjudul “Dampak Infrastruktur Maritim Dasar Laut di Wilayah Laut Natuna Indonesia bagi Keamanan Nasional” ini juga melibatkan partisipasi dari berbagai pihak terkait dalam kapasitas regulator dan operator. Hadir para pejabat dari daerah seperti Pemprov Kepri, Lantamal IV, Polda Kepri, Pemkab Natuna dan Pemkab Anambas.
Adapun kementerian yang hadir dari Kemenko Polhukam, Kemhan dan Kemhub. Hadir pula para ahli dari SKK Migas, Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), beberapa LSM dan para tokoh masyarakat. Penelitian ini untuk mengevaluasi apakah infrastruktur maritim dasar laut penggunaannya benar-benar tidak menyimpang dari izin yang diberikan oleh pemerintah
Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan (FMP) Unhan Laksda TNI DR Amarulla Octavian ST MSc DESD selaku Koordinator Tim Peneliti menjelaskan, banyak infrastruktur maritim dasar laut, seperti pipa migas, kabel bawah laut, buoy, platform jack up, dan peralatan sonar bawah laut yang instalasinya berada di perairan teritorial Indonesia, keberadaannya justru relatif luput dari perhatian aparat keamanan.
"Apalagi jika operatornya ternyata diketahui dari pihak luar sehingga terbuka sekali kemungkinan infrastruktur seperti yang dimaksud justru disimpangkan menjadi ancaman keamanan nasional Indonesia," ujarnya, Rabu (23/8/2017).
Para peserta diskusi cukup intens membahas legalitas prosedur perizinan pada level kementerian teknis agar dapat disinergikan dengan kewenangan aparat keamanan untuk pengawasan saat instalasi awal dan pengawasan saat operasional dan pemeliharaan.
“Sebagaimana prosedur internasional yang lazim berlaku di banyak negara, maka security clearance harus terus melekat sepanjang infrastruktur maritim dasar laut tersebut digunakan. Tidak hanya saat pengajuan izin prinsip dan izin operasional,” tegas Octavian.
FGD didahului dengan penandatanganan MoU antara Rektor Unhan Letjen TNI DR I Wayan Midhio, M Phil dan Warek I Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Prof DR rer nat H Rayandra Asyhar MSi.
Penelitian bersama yang berjudul “Dampak Infrastruktur Maritim Dasar Laut di Wilayah Laut Natuna Indonesia bagi Keamanan Nasional” ini juga melibatkan partisipasi dari berbagai pihak terkait dalam kapasitas regulator dan operator. Hadir para pejabat dari daerah seperti Pemprov Kepri, Lantamal IV, Polda Kepri, Pemkab Natuna dan Pemkab Anambas.
Adapun kementerian yang hadir dari Kemenko Polhukam, Kemhan dan Kemhub. Hadir pula para ahli dari SKK Migas, Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), beberapa LSM dan para tokoh masyarakat. Penelitian ini untuk mengevaluasi apakah infrastruktur maritim dasar laut penggunaannya benar-benar tidak menyimpang dari izin yang diberikan oleh pemerintah
Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan (FMP) Unhan Laksda TNI DR Amarulla Octavian ST MSc DESD selaku Koordinator Tim Peneliti menjelaskan, banyak infrastruktur maritim dasar laut, seperti pipa migas, kabel bawah laut, buoy, platform jack up, dan peralatan sonar bawah laut yang instalasinya berada di perairan teritorial Indonesia, keberadaannya justru relatif luput dari perhatian aparat keamanan.
"Apalagi jika operatornya ternyata diketahui dari pihak luar sehingga terbuka sekali kemungkinan infrastruktur seperti yang dimaksud justru disimpangkan menjadi ancaman keamanan nasional Indonesia," ujarnya, Rabu (23/8/2017).
Para peserta diskusi cukup intens membahas legalitas prosedur perizinan pada level kementerian teknis agar dapat disinergikan dengan kewenangan aparat keamanan untuk pengawasan saat instalasi awal dan pengawasan saat operasional dan pemeliharaan.
“Sebagaimana prosedur internasional yang lazim berlaku di banyak negara, maka security clearance harus terus melekat sepanjang infrastruktur maritim dasar laut tersebut digunakan. Tidak hanya saat pengajuan izin prinsip dan izin operasional,” tegas Octavian.
(wib)