Banda dan Narasi Keindonesiaan

Rabu, 23 Agustus 2017 - 06:01 WIB
Banda dan Narasi Keindonesiaan
Banda dan Narasi Keindonesiaan
A A A
Anis Matta
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

FILM Banda: The Dark Forgotten Trail karya Sheila Timothy dan Jay Subiyakto (Lifelike Pictures, 2017) tidak sekadar bicara tentang sejarah komoditas rempah berbau harum itu. Dari film itu kita bisa belajar sekeping pulau kecil nun jauh timur Indonesia itu pernah menjadi titik vokal pergulatan geopolitik dunia dan titik bangkitnya narasi keindonesiaan kita. Saya sangat mengapresiasi film ini.

Pada waktu itu, pala dan cengkeh adalah komoditas rempah yang paling dicari. Pala dari Banda sebagaimana dituturkan dalam film itu adalah yang terbaik. Pala berfungsi sebagai pengawet makanan, bahan baku obat, dan simbol status dalam bentuk minyak wangi. Banda sudah menjadi bagian dari Nusantara yang terbuka bagi per­gaulan antarbangsa. Pedagang Arab, Persia, Tiong­kok, hingga Eropa, berinteraksi intens dalam perdagangan rempah.

Namun, karena lemahnya pengetahuan waktu itu mengenai tarik menarik kekuatan geopolitik dunia yang diawali dari persaingan Spanyol lawan Portugis hingga tarik menarik antara Inggris dan Belanda, menyebabkan rakyat Banda hanya menjadi objek pertarungan global. Perjanjian demi perjanjian ditorehkan mengubah nasib sejumlah manusia yang tidak tahu apa sebenarnya sedang terjadi.

Daya tarik pala dari Banda memudar akibat kemajuan teknologi. Di Eropa sudah ditemukan lemari pendingin dan alat pembuat es sehingga pengawetan makanan tidak lagi membutuhkan pala yang harus didatangkan dari jauh. Pesona Pulau Banda pun dilupakan. Kepulauan yang salah satu pulaunya sempat ditaksir senilai dengan Manhattan di New York itu seperti terbunuh sepi.

Kesepian dan terisolasinya Pulau Banda itu malah memberi ide Belanda menjadikannya tempat pembuangan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Bung Hatta, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, dan Tjipto Mangunkusumo pernah dibuang ke pulau itu untuk menghambat mobilitas mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sementara Bung Karno dibuang ke Ende.

Tak ada yang mengira bahwa pembuangan ke Banda dan Ende itu berbuah kristalisasi nilai-nilai kebangsaan yang direnungkan oleh para founding fathers. Ada cerita Hatta menyembunyikan suratnya di tumpukan arang yang dibawa pedagang keliling untuk berkorespondensi dengan Tjipto dan kisah Soekarno merenungi dasar negara Pancasila di bawah pohon sukun bercabang lima sambil menerawang ke Laut Ende di kejauhan.

Penggalan sejarah yang memiliki tautan emosional dalam ini harus selalu diteruskan ke generasi muda agar mereka paham bahwa Indonesia bukanlah sesuatu yang "taken for granted", tetapi diperjuangkan, baik dalam tataran gagasan dan gerakan bersenjata.
Di film Banda, kita juga bisa berefleksi tentang kondisi Indonesia hari ini.

Pada menjelang akhir, dibahas mengenai konflik Ambon telah mencabik ke­damai­an masyarakat yang telah terjalin berabad-abad. Api kemarahan itu juga sampai ke Kepulauan Banda dan tak ayal melukai tak sedikit warga, termasuk salah satu penutur dalam film dokumenter itu. Luka akibat konflik bukan saja luka badan, tapi luka batin kolektif yang membayangi masyarakat butuh waktu lama disembuhkan.

Jangan Jadi "Banda Kedua"

Indonesia harus segera berbenah agar tidak menjadi "Banda kedua", dalam arti menjadi objek tarik menarik kepentingan global tanpa daya menentukan nasib sendiri. Saya mengapresiasi keberhasilan uji coba penerbangan (flight test) pesawat N219 di Bandung sehari sebelum peringatan HUT Ke-72 Kemerdekaan RI.

Keberhasilan flight test ini sangat penting, tidak hanya bagi PT Dirgantara Indonesia, tetapi untuk posisi Indonesia dalam peta kemajuan teknologi dirgantara di tingkat dunia. Dengan flight test ini, Indonesia sudah mampu menjalankan semua mata rantai proses pembuatan pesawat terbang tanpa technical assistance dari pihak asing.

Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dunia. Kapasitas dan kemampuan itu ada. Indonesia adalah anggota G-20 yang merupakan kumpulan 20 perekonomian terbesar di dunia mencakup 85% dari produk dunia bruto (GWP), 80% dari perdagangan dunia, dan dua pertiga populasi penduduk Planet Bumi.

Belakangan Indonesia juga mulai menunjukkan kepemimpinannya dalam asosiasi negara-negara di pesisir Samudra Hindia (IORA) yang membentang dari Australia hingga Afrika Selatan dan menjadi jalur dari 70% perdagangan dunia. Keterhubungan oleh samudra ini baru terasa ketika kita mengubah cara pandang kita sehingga tidak lagi memunggungi lautan.

Modal terbesar kita adalah Indonesia merupakan negara demokrasi dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Aset ini belum didayagunakan karena kita belum memiliki peta jalan (roadmap) yang jelas untuk Indonesia dapat memimpin dunia.

Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seru sekalian alam, menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal harus dihidupkan untuk melawan stigma bahwa Islam adalah agama teror dan kekerasan. Jika Indonesia mampu membangun kredibilitas sebagai mercusuar Islam damai di dunia internasional, kita akan bisa banyak berperan dalam mengubah wajah dunia yang lebih adil dan beradab.

Dari film Banda kita belajar bahwa kita harus mampu menentukan nasib kita sendiri, bukan diombang-ambing kepentingan dan kekuasaan pihak lain. Itu pula yang dicita-citakan para pahlawan kemerdekaan kita.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6594 seconds (0.1#10.140)