Angkutan Massal Harus Terintegrasi
A
A
A
SETELAH kendaraan roda dua tidak diizinkan melintas di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Pemprov DKI Jakarta merencanakan memberlakukan hal yang sama di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan HR Rasuna Said.
Kebijakan ini akan berlaku pada 11 Oktober 2017 mendatang. Ruang gerak para pengendara kendaraan roda dua yang jumlah mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan tentu semakin sempit. Para pengendara kendaraan roda tentu harus mencari atau memadati jalur-jalur lain untuk melakukan mobilitas.
Kebijakan ini tentu cukup merugikan para pengguna kendaraan roda dua. Kebijakan ini menunjukkan bahwa kendaraan roda dua justru dianggap sebagai pemicu kemacetan di Jakarta. Padahal jika dikaji lebih dalam, penyebab kemacetan di Jakarta bukan hanya banyaknya kendaraan roda dua.
Penyebab kemacetan di Jakarta di antaranya pertama pertumbuhan kendaraan (roda empat dan dua) yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan. Kedua adalah angkutan massal yang belum menjawab kebutuhan transportasi warga, ketiga banyaknya persimpangan jalan yang belum memiliki flyover atau underpass, keempat mayoritas warga, terbesar di daerah pinggiran, bekerja di Jakarta, dan kelima adalah buruknya tata ruang.
Selain itu, kemacetan parah yang beberapa bulan sering terjadi di Jakarta, juga disebabkan beberapa proyek seperti MRT, LRT, dan underpass atau flyover yang dikerjakan secara serentak. Beberapa proyek tersebut memang untuk menjawab salah satu penyebab kemacetan di Jakarta.
Hanya, pembangunan beberapa proyek tersebut dibarengi dengan kebijakan untuk menekan penggunaan kendaraan, seolah pemerintah ingin meminta atau bahkan memaksa warga untuk beralih ke angkutan massal. Ya, pemerintah memaksa warga untuk berpindah ke angkutan massal.
Hanya, persoalannya, angkutan massal yang saat ini sudah ada masih belum memenuhi ekspektasi warga, meskipun banyak yang menilai angkutan massal dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Mengapa masih dikatakan belum bisa sesuai ekspektasi warga, padahal saat ini Commuter Line sudah jauh lebih nyaman, sedangkan Transjakarta juga membaik untuk memanjakan warga.
Ditambah lagi kendaraan online yang mampu menjangkau yang belum dijangkau dua angkutan massal tersebut, membuat warga lebih nyaman dari sebelumnya. Adalah integrasi antarangkutan massal yang belum maksimal sehingga warga yang harus berpindah antarangkutan massal cukup direpotkan. Ini yang membuat sebagian masyarakat yang harus menggunakan dua moda transportasi massal justru dibuat malas dan memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi.
Tentu semua sepakat jika banyak warga yang berpindah menggunakan angkutan massal. Namun, pemerintah juga harus benar-benar menyiapkan sarana dan prasaran transportasi massal agar warga merasa aman dan nyaman. Memang tidak mudah menyediakan angkutan massal yang terintegrasi karena benar-benar harus fokus pada kebutuhan warga, bukan sekadar mengembalikan investasi yang telah keluar.
Selain itu, bukan pekerjaan mudah mengubah budaya dari menggunakan kendaraan pribadi ke angkutan massal. Masih ada ego di warga bahwa menggunakan kendaraan pribadi, terutama mobil, dianggap lebih beradab. Masih banyak masyarakat yang memandang seolah menggunakan angkutan massal hanyalah masyarakat biasa, bukan masyarakat yang berkelas.
Beberapa pihak memang harus bisa duduk bareng untuk membahas integrasi angkutan massal. Integrasi ini dibutuhkan karena dengan ini semakin meningkatkan kenyamanan dan memancing para pengguna kendaraan pribadi berpindah menggunakan angkutan massal. Apalagi, sebentar lagi dua jenis moda transportasi massal yaitu MRT dan LRT akan menemani Commuter Line dan TransĀjakarta.
Kampanye menggunakan angkutan massal tentu harus diĀiringi dengan tingkat kenyamanan dan keamanan angkutan massal. Jika hanya sekadar memaksa dan mengampanyekan menggunakan angkutan massal tanpa ada peningkatan kualitas, justru akan mengundang kemarahan warga.
Kebijakan ini akan berlaku pada 11 Oktober 2017 mendatang. Ruang gerak para pengendara kendaraan roda dua yang jumlah mencapai ratusan ribu atau bahkan jutaan tentu semakin sempit. Para pengendara kendaraan roda tentu harus mencari atau memadati jalur-jalur lain untuk melakukan mobilitas.
Kebijakan ini tentu cukup merugikan para pengguna kendaraan roda dua. Kebijakan ini menunjukkan bahwa kendaraan roda dua justru dianggap sebagai pemicu kemacetan di Jakarta. Padahal jika dikaji lebih dalam, penyebab kemacetan di Jakarta bukan hanya banyaknya kendaraan roda dua.
Penyebab kemacetan di Jakarta di antaranya pertama pertumbuhan kendaraan (roda empat dan dua) yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan. Kedua adalah angkutan massal yang belum menjawab kebutuhan transportasi warga, ketiga banyaknya persimpangan jalan yang belum memiliki flyover atau underpass, keempat mayoritas warga, terbesar di daerah pinggiran, bekerja di Jakarta, dan kelima adalah buruknya tata ruang.
Selain itu, kemacetan parah yang beberapa bulan sering terjadi di Jakarta, juga disebabkan beberapa proyek seperti MRT, LRT, dan underpass atau flyover yang dikerjakan secara serentak. Beberapa proyek tersebut memang untuk menjawab salah satu penyebab kemacetan di Jakarta.
Hanya, pembangunan beberapa proyek tersebut dibarengi dengan kebijakan untuk menekan penggunaan kendaraan, seolah pemerintah ingin meminta atau bahkan memaksa warga untuk beralih ke angkutan massal. Ya, pemerintah memaksa warga untuk berpindah ke angkutan massal.
Hanya, persoalannya, angkutan massal yang saat ini sudah ada masih belum memenuhi ekspektasi warga, meskipun banyak yang menilai angkutan massal dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Mengapa masih dikatakan belum bisa sesuai ekspektasi warga, padahal saat ini Commuter Line sudah jauh lebih nyaman, sedangkan Transjakarta juga membaik untuk memanjakan warga.
Ditambah lagi kendaraan online yang mampu menjangkau yang belum dijangkau dua angkutan massal tersebut, membuat warga lebih nyaman dari sebelumnya. Adalah integrasi antarangkutan massal yang belum maksimal sehingga warga yang harus berpindah antarangkutan massal cukup direpotkan. Ini yang membuat sebagian masyarakat yang harus menggunakan dua moda transportasi massal justru dibuat malas dan memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi.
Tentu semua sepakat jika banyak warga yang berpindah menggunakan angkutan massal. Namun, pemerintah juga harus benar-benar menyiapkan sarana dan prasaran transportasi massal agar warga merasa aman dan nyaman. Memang tidak mudah menyediakan angkutan massal yang terintegrasi karena benar-benar harus fokus pada kebutuhan warga, bukan sekadar mengembalikan investasi yang telah keluar.
Selain itu, bukan pekerjaan mudah mengubah budaya dari menggunakan kendaraan pribadi ke angkutan massal. Masih ada ego di warga bahwa menggunakan kendaraan pribadi, terutama mobil, dianggap lebih beradab. Masih banyak masyarakat yang memandang seolah menggunakan angkutan massal hanyalah masyarakat biasa, bukan masyarakat yang berkelas.
Beberapa pihak memang harus bisa duduk bareng untuk membahas integrasi angkutan massal. Integrasi ini dibutuhkan karena dengan ini semakin meningkatkan kenyamanan dan memancing para pengguna kendaraan pribadi berpindah menggunakan angkutan massal. Apalagi, sebentar lagi dua jenis moda transportasi massal yaitu MRT dan LRT akan menemani Commuter Line dan TransĀjakarta.
Kampanye menggunakan angkutan massal tentu harus diĀiringi dengan tingkat kenyamanan dan keamanan angkutan massal. Jika hanya sekadar memaksa dan mengampanyekan menggunakan angkutan massal tanpa ada peningkatan kualitas, justru akan mengundang kemarahan warga.
(maf)