Perjalanan Bangsa 72 Tahun Merdeka

Rabu, 16 Agustus 2017 - 08:15 WIB
Perjalanan Bangsa 72...
Perjalanan Bangsa 72 Tahun Merdeka
A A A
Eko Sulistyo
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden

PADA tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Transformasi penting dari kemerdekaan adalah berakhirnya kekuasaan kolonialisme diganti dengan Pemerintah Republik Indonesia. Cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam ”Preambule” UUD 1945 untuk bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, menjadi amanat bagi setiap pemimpin yang didaulat memerintah negeri ini.

Kini setelah 72 tahun merdeka dan semua pemerintahan sudah dijalankan oleh para pimpinan bangsa Indonesia, harapan akan cita-cita kemerdekaan itu masih perlu kerja keras merealisasikannya. Berbagai tantangan dan ujian serta upaya dari setiap rezim pemerintahan yang berkuasa, pada hakikatnya adalah untuk mewujudkan cita-cita itu.

Dalam sejarah Indonesia, karakter dan ideologi pimpinan nasional yang tercermin dalam lembaga kepresidenan sangat memengaruhi bagaimana kemerdekaan diisi dan ditafsirkan oleh negara. Semua kepala pemerintahan dalam sejarahnya mempunyai capaian dan tantangannya sendiri sesuai dengan zamannya masing-masing.

Menjaga Keutuhan Bangsa
Pada era kepemimpinan Soekarno, tantangan utama adalah menjaga keutuhan bangsa yang baru merdeka. Karena itu, Soekarno berperan sebagai ”solidarity-maker” yang mempersatukan bangsa yang bhinneka. Tantangan itu tidak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam. Sikap kritis Soekarno atas Perang Dingin dan ”kapitalisme” membuat posisinya dianggap ”musuh Barat” yang kapitalis.

Sementara dari dalam negeri, Soekarno menghadapi kompetisi politik yang makin tajam antara kubu nasionalis, agamis, komunis, dan tentara. Kombinasi tantangan eksternal dan internal ini yang menjadikan Soekarno harus tersingkir dalam pertarungan politik menghadapi tantangan zamannya.

Kritik utama pada Soekarno karena dianggap mengabaikan pembangunan ekonomi. Pendapat ini sebenarnya kurang tepat. Sejak tahun 1963, Soekarno mencoba merumuskan suatu bentuk ekonomi nasional melalui konsepsi ”Ekonomi Terpimpin”. Sayangnya, pembangunan ekonomi terpimpin belum sempat dijalankan terjadi pergolakan politik 1965 yang mengakhiri kekuasaannya.

Penguasa Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto membuat antitesa dari kebijakan era Soekarno. Pemerintahan Orde Baru memilih pembangunan melalui jalan kapitalisme, karena investasi dan utang luar negeri menjadi motor utama pembangunan. Ideologi pembangunanisme mengakibatkan dua konsekuensi bagi pemerintahan Orde Baru.

Secara eksternal menggantungkan penggerak ekonomi pada modal asing dan pinjaman dari IMF dan World Bank. Akibatnya Indonesia kehilangan kemandirian ekonomi, didikte oleh pasar, IMF dan World Bank. Pembangunan ekonomi melahirkan konglomerat nasional di sekitar keluarga Cendana dan kroninya.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi ternyata gagal menetes ke bawah. Pemerataan pembangunan yang ”Jawa Sentris” juga menjadi masalah.

Secara internal ”politik stabilitas” untuk menjamin kelancaran pembangunan telah mengorbankan demokrasi atas nama pembangunan. Sistem politik formal dipangkas (deparpolisasi) dan diatur secara ketat dengan hanya mengizinkan tiga partai ikut pemilu, di luar itu dianggap ilegal.

Pemerintahan yang kuat ala Orde Baru mewariskan dua tantangan utama bagi bangsa Indonesia. Pertama, integrasi perekonomian dengan pasar bebas sudah begitu akut dan sistematis sehingga pemerintahan pasca-Orde Baru sangat sulit melepaskan diri. Kedua, depolitisasi yang meluas dan sistem ”floating-mass” mengakibatkan pengalaman berorganisasi dan partisipasi masyarakat mengalami kemunduran.

Tantangan Pascareformasi
Pascareformasi ruang demokrasi relatif terbuka dengan adanya kebebasan berekspresi dan berorganisasi bagi masyarakat. Kehidupan politik menunjukkan kematangan seiring perubahan kelembagaan politik dan konsolidasi demokrasi. Namun, pemerintahan yang dibentuk sepanjang reformasi, termasuk di era Presiden Jokowi, harus menghadapi warisan tantangan politik oligarki.

Seperti dinyatakan Jeffry Winters (2014), Indonesia setelah Soeharto merupakan sebuah paduan kompleks antara oligarki dan demokrasi. Sistem politik berkembang menjadi oligarki elektoral karena posisi-posisi kekuasaan makin terjalin dengan kekayaan personal. Para oligarki ini adalah aktor-aktor yang sangat berkuasa dalam ekonomi-politik Indonesia, sangat berpengaruh di era Orde Baru, dan transisi demokrasi bukanlah gangguan bagi mereka.

Para oligarki ini mempunyai uang, kerajaan media, jaringan, dan posisi-posisi di partai sehingga memungkinkan mereka mendominasi sistem baru yang demokratik. Para oligarki ini memiliki semua sumber kekuasaan yang siap melayani kepentingan oligarki.

Kondisi ini menjadikan pemerintahan tidak berfungsi sebagai pelayan publik. Karena itu, sejak dilantik, Presiden Jokowi selalu menekankan pentingnya mengubah kultur birokrasi negara sebagai ”pelayan kekuasaan” menjadi ”pelayan publik” dengan revolusi mental.

Fondasi membentuk pemerintahan yang melayani publik adalah dengan melakukan reformasi birokrasi sebagai mesin penggerak pemerintahan. Ini artinya, mengubah watak birokrasi warisan lama sebagai mesin dan ”pelayan kekuasaan” menjadi birokrasi ”pelayan publik.” Birokrasi yang transparan tidak berbelit, efisien, dan melayani masyarakat harus menjadi tujuan setiap penyelenggara pemerintahan.

Dengan mengonsolidasikan birokrasi, berarti mesin pemerintahan berjalan di atas visi sang kepala pemerintahan. Namun, jalannya birokrasi pemerintahan juga harus diawasi dengan melibatkan partisipasi publik sebagai mekanisme kontrol birokrasi. Dengan cara ini, birokrasi menjadi diawasi ”dari atas dan dari bawah.”

Pemerintah Sebagai Pelayan Publik
Meskipun harus menghadapi warisan tantangan masa lalu, pemerintahan Jokowi-JK mempunyai komitmen tegas untuk kembali pada cita-cita kemerdekaan bangsa tentang fungsi pemerintahan, yaitu menjadikan pemerintah sebagai pelayan publik.

Pemerintahan yang melayani publik sesuai dengan amanat UUD 1945 adalah pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden di DPR RI, kembali ditegaskan oleh Presiden Jokowi bahwa pemerintahannya akan melayani kepentingan publik.
”Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan bahwa setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan.”

Pemerintahan sebagai pelayan publik menjadi fokus utama pemerintahan Presiden Jokowi. Dukungan yang makin kuat dari parpol di DPR dan tingkat kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan yang tinggi saat ini menjadi modal politik menuju harapan seperti dikatakan Presiden Jokowi, ”Perjuangan mencapai Indonesia berdaulat, berdikari dan berkepribadian hanya akan terwujud apabila semua pihak bergerak bersama, dan mau bekerja keras.”

Kini setelah 72 tahun merdeka, saatnya fondasi pemerintahan sebagai pelayan publik makin diperkuat. Dengan cara itu, cita-cita luhur kemerdekaan untuk memajukan kesejahteraan bangsa dapat dipercepat dan bangsa ini mempunyai harapan untuk masa depan yang lebih baik.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7033 seconds (0.1#10.140)