Merusak Kecerdasan Bangsa

Rabu, 09 Agustus 2017 - 07:39 WIB
Merusak Kecerdasan Bangsa
Merusak Kecerdasan Bangsa
A A A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik Fisip Unpad


SALAH
satu tujuan negeri ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sampai menjelang peringatan HUT RI ke-72, agaknya kecerdasan sudah mulai dirasakan. Bukan hanya oleh pihak yang memanfaatkan kecerdasannya untuk kemaslahatan, tapi juga oleh sejumlah oknum sesat.

Bedanya, bila yang sesat mengedapkan nafsunya untuk pengerukan keuntungan dirinya, namun yang ikhlas akan menggunakan akalnya demi manfaat bagi orang banyak seperti Meyer utarakan (1991).

Tidak, bila untuk meminimalisasikan praktik sesatnya perlu integrasi antara intelektual, emosional, serta spiritual seperti Goleman (2004) tuliskan. Bagi yang cerdas intelektual bisa jadi kesulitan menjalankan hidupnya ketika dihadapkan pada situasi sulit.

Tidak heran banyak intelektual salah menapaki hidup dan hanyut dalam nafsu pragmatis yang di-drive oleh kesenangan dan kepentingannya. Dampaknya kenyamanan hidup bersama menjadi terganggu dan berujung terjadi gesekan satu dengan lainnya.

Mungkin saja pilar pendidikan tidak berjalan. Ketika keluarga, masyarakat, pemerintah, dan sekolah menjadi pilar penting, maka ada yang lumpuh di antara keempatnya.

Sampai didikkan tersebut disajikan kepada publik, baik di legislatif, yudikatif, serta eksekutif. Tidak heran, bila praktik korupsi dana desa seperti kejadian Pamekasan (Sindo, 3/8/17) bertalian dengan rusaknya kecerdasan tersebut. Kebodohan dalam menyikapi gerakan lembaga antirasuah pun menjadi cibiran publik jauh sebelum dibentuknya pansus.

PENDUNGUAN

Membentuk tanggung jawab sosial seperti Mintzberg (1992) tuliskan, memerlukan pendidikan yang terintegrasi. Kepedulian sosial, sense of crisis, serta tepa salira menjadi penting untuk dikembangkan.

Dengan cara seperti itu, kerusakan lingkungan tidak mudah terjadi karena izin pembangunan yang berpotensi merusak akan dieliminasikan. Demikian halnya dengan kebijakan yang tidak mengokohkan tujuan negara akan coba dievaluasi agar seluruhnya menguatkan satu dengan lainnya dan tidak mudah diperalat untuk kepentingan segmen kecil dengan merugikan segmen besar negeri ini.

Keberhasilan politik uang atau politik hitam dalam pemilukada menyiratkan jika permainan kasar berkembang dalam rebutan kekuasaan. Masyarakat digenjot dengan beragam isu seputar SARA. Mungkin hal demikian menjadi isu renyah yang mudah diakses anak bangsa.

Tidak heran suasana panas pun berkembang sepanjang masa pemilihan. Dengan potret itu, dapat dipastikan jika banyak kandidat maju tidak berangkat dari tanggung jawab sosialnya, tapi dari kepentingan diusungnya atau pihak lain yang mengusung. Oleh sebab itu, kekuasaan dijadikan media untuk menguras aset yang bisa dikeruk melalui kekuasaannya.

Munculnya penggarukan pelaku korupsi oleh KPK di berbagai lini menguatkan hal di atas. Melalui penguasa disusupkan beragam kepentingan yang membuka celah penggarukan lebih dalam dengan tameng penguasa itu sendiri.

Tatkala ada yang mengangkangi, maka beragam cara digunakan untuk menghentikannya. Kecerdasan yang dimiliki sebatas kemampuan merekayasa kekuasaan dan kesempatan untuk digunakan memuaskan kepentingan dirinya. Hal dilupakan bahwa anak bangsa merekam seluruh keserakahan yang dijalankan kelompok penguasa dengan sejumlah tipu daya informasi berujung pendunguan.

ELEGAN

Tanda zaman sudah disampaikan melalui voice dengan bentuk demonstrasi, penghakiman sendiri terhadap yang dianggap merugikan kelompok masyarakat, serta sejumlah isu berbau keagamaan dan nasionalisme.

Hirschman (1970) menganggapnya sebagai akibat loyalitas mereka diabaikan pemangku negara. Pengabaian ini berujung kekecewaan sehingga sejumlah pihak mencari jalannya sendiri untuk memberikan peringatan.

Celakanya pihak pengelola negara senantiasa resisten dengan perbedaan dan penghujatan karena dianggap merecoki semangatnya untuk menjalankan program yang telah disettingnya. Tidak heran sejumlah kebijakan dasar disesuaikan dengan programnya, bukan sebaliknya.

Jika sejumlah program relevan dengan tujuan negara, maka celah perampasan aset bangsa menjadi menipis. Seluruh potensi diarahkan untuk mewujudkan cita-cita bersama. Karena itu, perpaduan kecerdasan intelektual dibalutkan dengan kecerdasan emosi yang menepikan syahwat serakahnya agar seluruh program direalisasikan sesuai dengan arahan tujuan yang ada di pembukaan UUD 1945. Bahkan, pihaknya akan berkorban banyak demi kemajuan bangsanya.

Oleh sebab itu, pemilukada tidak lagi menjadi rebutan syahwat pribadinya, tapi dipersepsikan sebagai upaya mewujudkan kebahagiaan bangsanya. Kecerdasan seperti itu masih luput dari jiwa elite negeri sehingga nalurinya lebih berkembang ketimbang nuraninya.

Diikat dengan kecerdasan spiritual, kepatuhan akan ajaran agamanya mewarnai pelaksanaan tugas kebangsaan dan kenegaraannya. SARA dijadikan rahmatan lil alamin- nya negeri ini agar kebinekaan mampu memperkaya kreasi sinergis untuk memajukan dan memakmurkan bangsa ini.

Tidak heran bila penataan bisa dilakukan secara ketat agar keselamatan seluruh bangsa bisa dicapai. Melalui pandangan Korten (1984), kerusakan patut dicegah dengan keketatan aturan yang ditegakkan dan dihargai bersama.

Dengan cara itu, komponen bangsa perlu menganggap negeri ini sebagai pesawat ruang angkasa yang bisa celakan bila terjadi kelalaian, serta pembiaran terhadap perusak negeri.

Memadukan ketiga kecerdasan di atas tidak semudah diutarakan. Dananjaya (1986) menyebutnya bahwa kebutuhan menjadi ancamannya. Kebutuhan akan status sosial senantiasa menempatkan kecerdasan tidak menjadi utama kecuali selembar ijazah ataupun sertifikat.

Pendidikan emosional dan spiritual tampak mulai mengelupas sejalan dengan rebutan kebutuhan material yang semakin kental. Dampaknya, pendidikan pun menjadi komoditas yang tidak diikat dengan nilai perjuangan dan keprihatinan.

Perankingan serta percepatan kelulusan dianggap kesuksesan walaupun tanpa dipahami secara jernih esensinya. Dalam dunia kerja, kemampuan diterima menjadi pegawai atau berhasil menjadi pejabat dianggap kebutuhan yang harus diperjuangkan dengan berbagai cara pula.

Tidak heran bila syarat jenjang pendidikan tertentu yang diperlukan bisa diusahakan tanpa harus berjuang menempuhnya dengan benar. Akibatnya yang terjadi perbedaan perlakuan tidak berangkat dari tingkat pemahaman substansi didikannya, tapi dari status peserta didiknya. Pejabat dapat dibedakan dengan cacah, pemilik dana, dan kuasa bisa lebih istimewa ketimbang yang papa.

Bila kemudian guru/dosen, pemuka agama, budayawan, serta elite negeri terjerumus ke dalam permainan kapitalisme pendidikan yang menghargai material, bisa jadi esensi kecerdasan akan diabaikan pula sehingga pembodohan lebih kental daripada pencerdasan.

Dengan sejumlah kamuflase yang tidak memiliki integritas kebangsaan pun dipoles agar tampak seperti nasionalis. Tidak heran polesan atribut keagamaan pun dilakukan untuk mengesankan seakan menjadi figur agamawan. Celakanya sejumlah rekayasa tersebut justru dimaksudkan untuk merusak kecerdasan secara sistematis.

Mengembalikan pendidikan pada tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa patut direformasi. Komponen pendidikan patut berkaca agar bisa merefleksikan langkah yang telah dilakukan. Elite negeri harus menanggalkan ambisi serakahnya agar tidak mengorbankan kepentingan bangsa dan negaranya.

Bahkan, SARA patut dijadikan aset negeri agar secara bersinergis saling mencerdaskan guna mengawal negeri dari anasir yang memanfaatkan kebodohan emosional dan kepandiran spiritual untuk dikuras asetnya.

Perenungan dalam peringatan negeri ini agaknya harus melahirkan kesadaran bersama untuk lebih semangat membangun kecerdasan oleh semua pilar pendidikan agar hama bangsa semakin sedikit dan benih bernas semakin banyak. Selamat merenung di hari jadi NKRI agar harga mati melekat di sanubari anak bangsa ini serta mampu mengawal dari jarahan siapa pun yang merusak asetnya.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0835 seconds (0.1#10.140)