Politisi Mencari Simpati

Senin, 07 Agustus 2017 - 08:25 WIB
Politisi Mencari Simpati
Politisi Mencari Simpati
A A A
Berbicara di depan massa untuk mencari simpati tentu bukan hal mudah. Segala sesuatunya perlu dipersiapkan sebaik mungkin agar isi materi yang ingin disampaikan dapat mudah dimengerti, dipahami, dan bisa dijadikan pegangan atau pandangan ke depan. Apalagi yang menyangkut tentang sikap politik. Tentu sang pembicara harus sangat berhati-hati, mengingat materi yang disampaikannya merupakan representasi partainya.

Bila politisi berbicara tidak sesuai fakta atau mungkin belum memahami sesuatu yang akan disampaikan di ruang terbuka, ada baiknya sebelum berbicara harus mencari informasi terlebih dahulu agar tidak memicu konflik kemudian.

Seperti kasus yang terjadi pada acara deklarasi dukungan Partai NasDem kepada calon bupati di Tarua, Kabupaten Kupang, NTT, Selasa (1/8) lalu, misalnya. Ketua Fraksi Partai NasDem di DPR Viktor Laiskodat dalam pidatonya di atas mimbar menuding Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN), sebagai partai politik pendukung gerakan intoleran dan prokhilafah sehingga tidak layak dipilih.

Buntut dari pidato Viktor tersebut akhirnya berujung pada kasus hukum. Partai yang terganggu dengan tuduhan Viktor langsung menyampaikan aduan ke Bareskrim Polri. Langkah yang diambil pengurus Partai Gerindra dan PAN tersebut ikut mendapatkan dukungan dari Wapres Jusuf Kalla yang berpendapat agar aparat penegak hukum memproses kasus itu secara profesional berdasarkan undang-undang berlaku.

Sungguh sangat disayangkan bila seorang politisi berusaha mencari simpati dan suara dari rakyat harus menggadaikan pengetahuannya yang minim dan menjelekkan partai lain dengan data tidak akurat. Komunikasi politik antarpolitisi tentu menjadi salah satu bukti seberapa luas jaringan yang dimiliki dan seberapa akurat informasi yang didapat.

Komunikasi politik dibangun oleh setiap politisi pasti memiliki nilai atau bobot yang sesuai fakta dan bukan sekadar rumor belaka. Tidak ada salahnya bila berpolitik secara santun disertai dengan kritik membangun. Bukan justru sebaliknya, membangun opini publik dengan isu politik tidak jelas, brutal, dan tanpa didasari fakta. Karena hal itu tentu saja akan cenderung menjadi fitnah.

Banyak hal bisa dijadikan bahan berpidato politisi untuk meraih simpati massa. Apalagi pidato atau sambutan yang mengangkat tema Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45. Akhir-akhir ini dasar negara kita, Pancasila, sering disebut-sebut namanya dan seolah mulai ditinggalkan. Padahal seharusnya kita menyadari bahwa Pancasila tak akan lari ke mana-mana dan tetap akan selalu ada sebagai dasar negara. Untuk itu, perlu disampaikan kepada masyarakat bukti-bukti yang bisa menguatkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjaga kerukunan, toleransi, dan hidup saling bergotong-royong.

Isi pidato politik juga bisa mengangkat tema pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang belum sepenuhnya tercapai. Bahkan, bila menyangkut wilayah tertentu yang perekonomian masih jauh dibandingkan Pulau Jawa, politisi bisa memberikan masukkan tentang apa yang harus dilakukan agar wilayahnya bisa bangkit dan maju. Banyak contoh bisa dijelaskan kepada masyarakat sehingga kemajuan dapat dicapai dengan semangat kerja keras, termasuk dukungan partai politik hingga ke masyarakat bawah.

Contoh lain yang bisa dijadikan bahan pidato menarik massa adalah agenda pemerintah Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi-JK yang menggalakkan sektor pariwisata sebagai salah satu cara meningkatkan pendapatan daerah. Tentu sektor pariwisata bisa menjadi jualan politisi dari daerah pilihannya, dengan harapan ekonomi masyarakat lokal bisa lebih maju dan mandiri.

Selain contoh tersebut, masih banyak hal yang bisa disampaikan oleh politisi untuk menarik simpati. Terlebih menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-72 ini banyak tema yang bisa dijadikan bahan pidato untuk membangun negeri. Sebut saja misalnya tentang semangat kebangsaan, politik yang bersih tanpa korupsi, membangun desa mandiri, atau hal-hal lain sifatnya membangun dan bukan menjatuhkan.

Pada era teknologi yang semakin canggih ini, politisi sudah seharusnya memiliki pakem baik dan menghindari kegaduhan di ruang terbuka maupun di dunia maya (media sosial). Bagaimanapun ucapan yang disampaikan ke publik harus sangat hati-hati dan terukur. Karena mencari simpati dan suara rakyat tidak memerlukan kata-kata kasar, tuduhan yang tidak berdasar, hingga kebablasan menjelekkan lawan.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0573 seconds (0.1#10.140)