Fenomena Daya Beli
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
KALI ini tingkat daya beli masyarakat menjadi prime mover pemberitaan karena potret sepinya gerai-gerai pertokoan di Jakarta. Kondisi tersebut membuat para pengusaha ritel mengeluh lantaran omzet yang menurun selama semester I 2017. Kemudian topik ini digerakkan oleh beberapa pengamat sebagai indikasi adanya penurunan daya beli.
Boleh dibilang kesepakatan mengenai parameter tingkat daya beli masyarakat hingga saat ini masih simpang siur. Misalnya ketika tingkat konsumsi masyarakat berkurang, apakah sudah cukup tegas menunjukkan penurunan daya beli ataukah ada parameter lain yang lebih pas untuk mengukur daya beli masyarakat?
Pakar marketing Rhenald Kasali mencoba meluruskan bahwa sebenarnya daya beli masyarakat tidak dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kondisi gerai-gerai ritel yang tengah sepi pengunjung lebih karena dipengaruhi pergeseran (shifting) selera transaksi masyarakat.
Kecanggihan kegiatan transaksi digital membuat konsumen cenderung berbelanja secara online (melalui e-commerce) ketimbang harus bertransaksi di pasar konvensional. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) ikut menampik pemberitaan mengenai penurunan daya beli masyarakat.
Setidaknya hal tersebut ditunjukkan berdasarkan laba bersih emiten beberapa perusahaan di sektor keuangan, konsumsi, properti, dan ritel yang laba bersihnya meningkat bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016. Pertumbuhan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 13,5% selama semester I 2017 (year on year) juga ikut menjustifikasi bahwa transaksi ekonomi masih berjalan cukup sehat.
Pendapat senada juga disampaikan pengamat ekonomi lainnya. Faisal Basri mendukung pernyataan Rhenald Kasali mengenai adanya shifting ke e-commerce. Menurutnya selama kuartal I 2017 konsumsi masyarakat masih cukup baik karena tetap meningkat.
Berdasarkan data BPS (2017), pertumbuhan nominal konsumsi rumah tangga masih terjaga cukup baik hingga 8,63% (yoy). Pertumbuhan riilnya juga masih terjangkau hingga meningkat 4,93% (yoy). Kalaupun dikatakan pertumbuhan riilnya lebih lambat dari rata-rata triwulan selama lima tahun terakhir memang iya, tetapi tidak sedramatis yang orang-orang bahasakan.
Kalangan yang mungkin daya belinya sedang terganggu, yakni PNS, karena dalam dua tahun terakhir tidak ada berita kenaikan gaji. Petani pangan, buruh tani, dan buruh bangunan mungkin juga merasakannya. Namun alangkah lebih baiknya lagi agar kita bersabar menunggu info resmi dari BPS yang kabarnya akan dirilis dalam waktu dekat.
Dalam waktu yang berurutan, banyak pengamat yang ikut bersuara untuk menanggapi pernyataan yang beredar sebelumnya. Pertama, perlu ada koreksi ulang mengenai dampak shifting ke e-commerce.
Karena berdasarkan interpolasi data dari Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) pada tahun 2016, omzet pasar ritel online hanya memiliki market share sekitar 1%. Dengan demikian simpulan mengenai shifting tidak cukup menutupi isu penurunan daya beli.
Kedua, BI melalui Kepala Departemen Kebijakan Moneter juga melansir hasil penjualan ritel Juni 2017 yang pertumbuhannya hanya tercapai 6,7%. Padahal tahun lalu pada periode yang sama mencapai 8%.
Ketiga, indikasi adanya pelemahan daya beli juga menyasar ke sektor properti. Data Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menunjukkan ada penurunan sebesar 1,2% pada konsumsi semen nasional di semester I 2017. Bahkan dampak penurunan permintaan di sektor properti ikut merembet terhadap penyerapan tenaga kerja.
Berdasarkan data BPS (2017) jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi turun 10,22% selama Agustus 2016 hingga Februari 2017. Penurunan ini tentu menjadi anomali karena di sektor lainnya jumlah tenaga kerja malah meningkat (kecuali pertambangan). Padahal di sisi lain pemerintah juga sedang giat-giatnya membangun infrastruktur.
Pentingnya Ketegasan Data
Dari sekian banyak argumen yang dilontarkan beberapa pihak tadi, tampaknya tiap kubu cenderung ngeyel dengan perspektifnya. Hal ini sangat wajar karena memang belum ada kesepakatan yang utuh mengenai takaran tingkat daya beli sehingga tiap pemikir bisa bergerak bebas menafsirkan data-data pendukungnya.
Pertanyaannya sekarang, seberapa penting informasi mengenai perkembangan tingkat daya beli bagi masyarakat? Bagi Penulis, informasi daya beli memiliki strata yang sangat penting. Karena informasi tersebut bisa memengaruhi perilaku ekonomi (baik bagi konsumen maupun produsen) beserta efek snowball-nya dalam jangka waktu yang beragam.
Faktor daya beli memang banyak dipengaruhi oleh pendapatan. Tapi berdasarkan fakta empiris di Indonesia, faktor nonekonomi seperti informasi dan gaya hidup masyarakat juga berpengaruh pada pola konsumsi rumah tangga.
Hal mendasar mengenai sistem informasi jika tidak dikelola secara komprehensif justru bisa menjadikannya sebagai bumerang. Dalam perspektif teori kelembagaan, adanya asymmetric information dapat menghambat laju efisiensi ekonomi. Ini karena para pelaku ekonomi bisa terjebak pada alat pembuatan keputusan ekonomi yang “salah”.
Perilaku ekonomi para konsumen dan produsen di Indonesia bisa dikatakan sangat fragile dan cenderung mudah goyah terkait dengan sistem informasi. Contoh analogi sederhananya bisa kita lihat dari fenomena respons masyarakat ketika isu harga BBM hendak dinaikkan. Saat itu tingkat inflasi meningkat karena kelangkaan BBM (ada penimbunan stok).
Selain itu masyarakat juga cukup panik karena harga barang mulai melambung sebagai dampak psikologis bahwa biaya transportasi juga akan naik. Kita perlu belajar mengantisipasi efek-efek psikologis yang bisa menjurus ke moral hazard.
Kasus demikian sangat mungkin terus berulang jika sistem informasi mengenai tingkat daya beli tidak terkelola secara kredibel. Bagi kalangan produsen, tingkat daya beli akan menandakan berapa tingkat produksi yang seharusnya mereka penuhi dalam masa tertentu.
Jika tingkat daya beli konsumen menurun, tindakan logisnya mereka juga akan memilih untuk menahan laju produksinya. Selain itu karena tingkat produksi sedang dikurangi, mereka biasanya juga akan merumahkan sebagian karyawannya alias melakukan PHK. Kalau sudah demikian, tingkat pendapatan dan konsumsi sebagian masyarakat akan langsung menukik.
Tidak jauh berbeda dengan perilaku yang terjadi pada kalangan produsen, para konsumen pun juga membutuhkan informasi mengenai tingkat daya beli yang kredibel. Ketika kondisi ekonomi sedang lesu, perilaku konsumsi masyarakat akan terbelah berdasarkan level pengeluarannya. Sifat konsumsinya pun terbagi antara barang yang elastis dan inelastis (biasanya untuk kebutuhan primer/pokok).
Bagi kalangan low-middle income, selama harga kebutuhan pokok tidak naik, kemungkinan tidak akan banyak terjadi tekanan psikologis terhadap kegiatan ekonominya. Dampak yang paling besar justru bisa menyasar kalangan middle-up income yang jenis pengeluarannya lebih beragam.
Biasanya kalangan ini lebih peka dengan kondisi ekonomi dan lebih berhati-hati di dalam berbelanja khususnya untuk kebutuhan nonprimer. Kalau kondisi perekonomian tengah lesu, mereka lebih cenderung melakukan saving ketimbang memaksakan konsumsi.
Nah, sekarang, apa yang harus pemerintah lakukan? Penulis akan memberikan beberapa usulan sebagai berikut.
Pertama, perlu ada sistem informasi yang tegas dan kredibel mengenai tingkat daya beli masyarakat. Pemerintah perlu menempatkan lembaga resminya (misalnya BPS) sebagai saluran informasi yang kredibel sebelum publik dilanda berita yang simpang siur.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, masyarakat menjadi semakin lihai mencari informasi dengan cepat, tetapi sayangnya tidak semua informasi dilalui dengan proses koreksi yang akurat dan cermat. Nantinya data-data yang diterbitkan BPS sebaiknya bisa diakses oleh siapa pun untuk kepentingan jaminan kesamaan informasi.
Kedua, mempertahankan kredibilitas dalam pengelolaan APBN. Selain ditinjau dari segi belanja dan penerimaan di tingkat pusat, pemerintah (dalam hal ini Kementerian Keuangan) seharusnya juga menjamin proses transfer dana perimbangan ke pemerintah daerah bisa berjalan efektif sesuai dengan jadwal dan list kebutuhan.
Dana-dana tersebut biasanya dialirkan melalui skema transfer Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan dana desa. Dana transfer tersebut berpotensi meningkatkan peredaran uang di daerah dan desa serta menggiatkan aktivitas perekonomian lokal.
Ketiga, meningkatkan semangat investasi sektor swasta. Investasi sektor swasta juga tidak kalah pentingnya untuk menjaga tingkat produktivitas dalam negeri serta menopang pendapatan masyarakat.
Ide deregulasi investasi melalui paket-paket kebijakan ekonomi yang kemarin dirilis seharusnya sudah muncul laporan perkembangannya. Pada intinya wacana kemudahan investasi perlu terus didorong dan dipertahankan sehingga tanggung jawab itu (untuk menjaga tingkat pendapatan dan daya beli) tidak hanya ditanggung oleh pemerintah, melainkan juga melibatkan masyarakat.
Hanya saja dampak kenaikan tarif dasar listrik dan gas serta yang terbaru mengenai isu kelangkaan garam akan menjadi tantangan lain bagi pemerintah untuk mengendalikan psikologis pasar. Selama situasi politik kian stabil serta pemerintah menunjukkan iktikad yang kuat melalui reformasi birokrasi dan belanja yang efektif, menurut penulis itu akan menjadi bekal yang ideal untuk memperbaiki perkembangan ekonomi nasional.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
KALI ini tingkat daya beli masyarakat menjadi prime mover pemberitaan karena potret sepinya gerai-gerai pertokoan di Jakarta. Kondisi tersebut membuat para pengusaha ritel mengeluh lantaran omzet yang menurun selama semester I 2017. Kemudian topik ini digerakkan oleh beberapa pengamat sebagai indikasi adanya penurunan daya beli.
Boleh dibilang kesepakatan mengenai parameter tingkat daya beli masyarakat hingga saat ini masih simpang siur. Misalnya ketika tingkat konsumsi masyarakat berkurang, apakah sudah cukup tegas menunjukkan penurunan daya beli ataukah ada parameter lain yang lebih pas untuk mengukur daya beli masyarakat?
Pakar marketing Rhenald Kasali mencoba meluruskan bahwa sebenarnya daya beli masyarakat tidak dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kondisi gerai-gerai ritel yang tengah sepi pengunjung lebih karena dipengaruhi pergeseran (shifting) selera transaksi masyarakat.
Kecanggihan kegiatan transaksi digital membuat konsumen cenderung berbelanja secara online (melalui e-commerce) ketimbang harus bertransaksi di pasar konvensional. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) ikut menampik pemberitaan mengenai penurunan daya beli masyarakat.
Setidaknya hal tersebut ditunjukkan berdasarkan laba bersih emiten beberapa perusahaan di sektor keuangan, konsumsi, properti, dan ritel yang laba bersihnya meningkat bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2016. Pertumbuhan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 13,5% selama semester I 2017 (year on year) juga ikut menjustifikasi bahwa transaksi ekonomi masih berjalan cukup sehat.
Pendapat senada juga disampaikan pengamat ekonomi lainnya. Faisal Basri mendukung pernyataan Rhenald Kasali mengenai adanya shifting ke e-commerce. Menurutnya selama kuartal I 2017 konsumsi masyarakat masih cukup baik karena tetap meningkat.
Berdasarkan data BPS (2017), pertumbuhan nominal konsumsi rumah tangga masih terjaga cukup baik hingga 8,63% (yoy). Pertumbuhan riilnya juga masih terjangkau hingga meningkat 4,93% (yoy). Kalaupun dikatakan pertumbuhan riilnya lebih lambat dari rata-rata triwulan selama lima tahun terakhir memang iya, tetapi tidak sedramatis yang orang-orang bahasakan.
Kalangan yang mungkin daya belinya sedang terganggu, yakni PNS, karena dalam dua tahun terakhir tidak ada berita kenaikan gaji. Petani pangan, buruh tani, dan buruh bangunan mungkin juga merasakannya. Namun alangkah lebih baiknya lagi agar kita bersabar menunggu info resmi dari BPS yang kabarnya akan dirilis dalam waktu dekat.
Dalam waktu yang berurutan, banyak pengamat yang ikut bersuara untuk menanggapi pernyataan yang beredar sebelumnya. Pertama, perlu ada koreksi ulang mengenai dampak shifting ke e-commerce.
Karena berdasarkan interpolasi data dari Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) pada tahun 2016, omzet pasar ritel online hanya memiliki market share sekitar 1%. Dengan demikian simpulan mengenai shifting tidak cukup menutupi isu penurunan daya beli.
Kedua, BI melalui Kepala Departemen Kebijakan Moneter juga melansir hasil penjualan ritel Juni 2017 yang pertumbuhannya hanya tercapai 6,7%. Padahal tahun lalu pada periode yang sama mencapai 8%.
Ketiga, indikasi adanya pelemahan daya beli juga menyasar ke sektor properti. Data Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menunjukkan ada penurunan sebesar 1,2% pada konsumsi semen nasional di semester I 2017. Bahkan dampak penurunan permintaan di sektor properti ikut merembet terhadap penyerapan tenaga kerja.
Berdasarkan data BPS (2017) jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi turun 10,22% selama Agustus 2016 hingga Februari 2017. Penurunan ini tentu menjadi anomali karena di sektor lainnya jumlah tenaga kerja malah meningkat (kecuali pertambangan). Padahal di sisi lain pemerintah juga sedang giat-giatnya membangun infrastruktur.
Pentingnya Ketegasan Data
Dari sekian banyak argumen yang dilontarkan beberapa pihak tadi, tampaknya tiap kubu cenderung ngeyel dengan perspektifnya. Hal ini sangat wajar karena memang belum ada kesepakatan yang utuh mengenai takaran tingkat daya beli sehingga tiap pemikir bisa bergerak bebas menafsirkan data-data pendukungnya.
Pertanyaannya sekarang, seberapa penting informasi mengenai perkembangan tingkat daya beli bagi masyarakat? Bagi Penulis, informasi daya beli memiliki strata yang sangat penting. Karena informasi tersebut bisa memengaruhi perilaku ekonomi (baik bagi konsumen maupun produsen) beserta efek snowball-nya dalam jangka waktu yang beragam.
Faktor daya beli memang banyak dipengaruhi oleh pendapatan. Tapi berdasarkan fakta empiris di Indonesia, faktor nonekonomi seperti informasi dan gaya hidup masyarakat juga berpengaruh pada pola konsumsi rumah tangga.
Hal mendasar mengenai sistem informasi jika tidak dikelola secara komprehensif justru bisa menjadikannya sebagai bumerang. Dalam perspektif teori kelembagaan, adanya asymmetric information dapat menghambat laju efisiensi ekonomi. Ini karena para pelaku ekonomi bisa terjebak pada alat pembuatan keputusan ekonomi yang “salah”.
Perilaku ekonomi para konsumen dan produsen di Indonesia bisa dikatakan sangat fragile dan cenderung mudah goyah terkait dengan sistem informasi. Contoh analogi sederhananya bisa kita lihat dari fenomena respons masyarakat ketika isu harga BBM hendak dinaikkan. Saat itu tingkat inflasi meningkat karena kelangkaan BBM (ada penimbunan stok).
Selain itu masyarakat juga cukup panik karena harga barang mulai melambung sebagai dampak psikologis bahwa biaya transportasi juga akan naik. Kita perlu belajar mengantisipasi efek-efek psikologis yang bisa menjurus ke moral hazard.
Kasus demikian sangat mungkin terus berulang jika sistem informasi mengenai tingkat daya beli tidak terkelola secara kredibel. Bagi kalangan produsen, tingkat daya beli akan menandakan berapa tingkat produksi yang seharusnya mereka penuhi dalam masa tertentu.
Jika tingkat daya beli konsumen menurun, tindakan logisnya mereka juga akan memilih untuk menahan laju produksinya. Selain itu karena tingkat produksi sedang dikurangi, mereka biasanya juga akan merumahkan sebagian karyawannya alias melakukan PHK. Kalau sudah demikian, tingkat pendapatan dan konsumsi sebagian masyarakat akan langsung menukik.
Tidak jauh berbeda dengan perilaku yang terjadi pada kalangan produsen, para konsumen pun juga membutuhkan informasi mengenai tingkat daya beli yang kredibel. Ketika kondisi ekonomi sedang lesu, perilaku konsumsi masyarakat akan terbelah berdasarkan level pengeluarannya. Sifat konsumsinya pun terbagi antara barang yang elastis dan inelastis (biasanya untuk kebutuhan primer/pokok).
Bagi kalangan low-middle income, selama harga kebutuhan pokok tidak naik, kemungkinan tidak akan banyak terjadi tekanan psikologis terhadap kegiatan ekonominya. Dampak yang paling besar justru bisa menyasar kalangan middle-up income yang jenis pengeluarannya lebih beragam.
Biasanya kalangan ini lebih peka dengan kondisi ekonomi dan lebih berhati-hati di dalam berbelanja khususnya untuk kebutuhan nonprimer. Kalau kondisi perekonomian tengah lesu, mereka lebih cenderung melakukan saving ketimbang memaksakan konsumsi.
Nah, sekarang, apa yang harus pemerintah lakukan? Penulis akan memberikan beberapa usulan sebagai berikut.
Pertama, perlu ada sistem informasi yang tegas dan kredibel mengenai tingkat daya beli masyarakat. Pemerintah perlu menempatkan lembaga resminya (misalnya BPS) sebagai saluran informasi yang kredibel sebelum publik dilanda berita yang simpang siur.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, masyarakat menjadi semakin lihai mencari informasi dengan cepat, tetapi sayangnya tidak semua informasi dilalui dengan proses koreksi yang akurat dan cermat. Nantinya data-data yang diterbitkan BPS sebaiknya bisa diakses oleh siapa pun untuk kepentingan jaminan kesamaan informasi.
Kedua, mempertahankan kredibilitas dalam pengelolaan APBN. Selain ditinjau dari segi belanja dan penerimaan di tingkat pusat, pemerintah (dalam hal ini Kementerian Keuangan) seharusnya juga menjamin proses transfer dana perimbangan ke pemerintah daerah bisa berjalan efektif sesuai dengan jadwal dan list kebutuhan.
Dana-dana tersebut biasanya dialirkan melalui skema transfer Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan dana desa. Dana transfer tersebut berpotensi meningkatkan peredaran uang di daerah dan desa serta menggiatkan aktivitas perekonomian lokal.
Ketiga, meningkatkan semangat investasi sektor swasta. Investasi sektor swasta juga tidak kalah pentingnya untuk menjaga tingkat produktivitas dalam negeri serta menopang pendapatan masyarakat.
Ide deregulasi investasi melalui paket-paket kebijakan ekonomi yang kemarin dirilis seharusnya sudah muncul laporan perkembangannya. Pada intinya wacana kemudahan investasi perlu terus didorong dan dipertahankan sehingga tanggung jawab itu (untuk menjaga tingkat pendapatan dan daya beli) tidak hanya ditanggung oleh pemerintah, melainkan juga melibatkan masyarakat.
Hanya saja dampak kenaikan tarif dasar listrik dan gas serta yang terbaru mengenai isu kelangkaan garam akan menjadi tantangan lain bagi pemerintah untuk mengendalikan psikologis pasar. Selama situasi politik kian stabil serta pemerintah menunjukkan iktikad yang kuat melalui reformasi birokrasi dan belanja yang efektif, menurut penulis itu akan menjadi bekal yang ideal untuk memperbaiki perkembangan ekonomi nasional.
(poe)