Kebenaran Mulai dari Yulianis
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad)
ARTIKEL Saudara Mahfud MD (KORAN SINDO, 29/7) membuktikan dan memperkuat bahwa keterangan Yulianis di dalam sidang Pansus Hak Angket benar adanya. Keyakinan ini dikuatkan hasil penelusuran Mahfud MD di KPK dan telah diakui KPK kebenaran keterangan Yulianis. Jika tidak ada sidang Pansus Hak Angket yang antara lain saya dukung, mungkin ceritanya menjadi lain dan berbeda. Yang pasti bantahan-bantahan dari KPK dan "die harder KPK" semakin keras dan menjadi-jadi menghujat Yulianis.
Saya percaya dan yakin terlepas dari pro dan kontra Pansus Hak Angket bahwa keberadaan Pansus Hak Angket yang memiliki fungsi penyelidikan berdasarkan UUMD3 sudah benar dan memiliki momentum yang tepat setelah KPK berkiprah selama kurang lebih 15 tahun lamanya. Saya menjadi yakin setelah membaca artikel Saudara Mahfud MD bahwa fakta di balik kinerja KPK yang dianggap "berani jujur itu hebat" akan semakin terbuka kepada masyarakat Indonesia dan memang seharusnya dibuka kepada publik.
Keharusan itu sesuai dengan tanggung jawab KPK sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 5 huruf b, c, dan d jo Pasal 20 UU RI No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu asas keterbukaan (Pasal 5 huruf b), asas akuntabilitas (Pasal 5 huruf c), dan asas kepentingan umum (Pasal 5 huruf d). Lalu dikuatkan dengan pertanggungjawaban KPK kepada publik (Pasal 20 ) yang merupakan beberapa landasan berpijak dan tanggung jawab pimpinan KPK.
Hal ini tidak dapat dinafikan hanya dengan alasan independensi. Jika dibaca dan dipahami secara benar, alasan tersebut mengada-ada. Karena Pasal 3 UU KPK 2002 menegaskan bahwa independensi KPK hanya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya—yang bersifat pro-justisia —sesuai dengan Pasal 6 huruf a sd e. Untuk tugas KPK dalam bidang pengelolaan kantor KPK dan pengelolaan keuangan, mereka tidak imun baik terhadap pemeriksaan maupun pengawasan.
Atas dasar hal tersebut, tugas Pansus Hak Angket seharusnya tidak fokus pada tugas dan wewenang KPK yang bersifat pro-justisia. Namun sesuai dengan UU MD 3, wewenang diberikan kepada anggota DPR RI untuk melakukan pemeriksaan, antara lain terhadap pelaksanaan suatu UU (semisal UU Tipikor dan UU KPK), termasuk lembaga KPK. Maka Pansus Hak Angket KPK juga dapat melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti dugaan kriminalisasi dan rekayasa oleh pegawai penyidik KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang pro-justisia KPK berdasarkan UU KPK 2002.
Dugaan tersebut merupakan bukti awal atau petunjuk untuk dimulainya pemeriksaan atas sejumlah saksi di bawah sumpah termasuk juga meminta keterangan dari para ahli. Dalam konteks ini, RDPU memang tidak tepat karena sifat RDPU hanya meminta informasi semata-mata bukan dalam konteks penyelidikan atas dugaan pelanggaran hukum.
Setelah Pansus Hak Angket bekerja hampir mendekati masa kerja 60 hari—terlepas dari cara kerjanya—, saya semakin yakin bahwa di KPK ada "kekuatan tangan besi" di balik "baju besi KPK" yang dikuatkan dengan UU KPK 2002. Saya dorong terus agar Pansus Hak Angket menggali sedalam-dalamnya fakta-fakta terkait KPK.
Penggalian itu selain untuk mengetahui ketidakbenaran dan ketidakjujuran KPK, juga mengenai keberhasilan KPK di dalam menjalankan peraturan perundang-undangan sehingga diperoleh kesimpulan yang objektif dan jauh dari syahwat hendak membubarkan KPK. Tentunya jika ditemukan bukti awal yang cukup untuk melakukan penyelidikan pro-justisia, tidak tertutup kemungkinan dilakukan penyidikan terhadap oknum penyidik atau pimpinan KPK yang telah melanggar ketentuan perundang-undangan pidana, termasuk UU KPK itu sendiri.
Hendaknya hasil Pansus Hak Angket KPK diumumkan secara terbuka kepada publik. Tujuannya agar publik memahami kondisi senyatanya di dalam KPK melaksanakan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Keterangan Saudara Miko dan Muchtar Effendi serta narapidana di Rutan Pondok Bambu dan di LP Sukamiskin harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan cross-check kepada terlapor untuk memperoleh kebenaran materiil dari dugaan-dugaan miring tersebut.
Sekalipun kesimpulan hasil Pansus Hak Angket KPK belum final, fakta-fakta temuan Pansus Hak Angket KPK yang telah tersebar luas di media sosial (medsos) merupakan informasi yang menguatkan pendapat saya sejak lama bahwa UU KPK perlu direvisi. Revisi ini penting sehingga celah-celah hukum acara pemeriksaan dapat segera ditutup dan pengawasan secara ketat dengan sistem check and balances segera dapat dilaksanakan terhadap pimpinan dan pegawai KPK.
Perlu juga pembentukan dewan pengawas di dalam struktur organisasi KPK yang berwenang mengikuti proses penanganan perkara tipikor sejak penyelidikan sampai penuntutan guna membantu memperkuat pimpinan KPK di dalam menemukan kebenaran materiil dari suatu perkara. Konsekuensi logis dari usulan tersebut, penasihat KPK ditiadakan.
Usulan saya berikut ini dalam revisi UU KPK, agar KPK fokus pada fungsi penindakan saja, maka fungsi koordinasi dan supervisi dihapuskan dan fungsi pencegahan (monitoring dan evaluasi) dilimpahkan kepada Ombudsman RI. Usulan tersebut mengubah ketentuan Pasal 6 UU KPK 2002 sehingga KPK hanya fokus pada strategi penindakan saja, tetapi kewenangan pro-justisia tetap tidak ada perubahan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik(LPIKP)—yang telah dituangkan dalam buku Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Antikorupsi (Gramedia 2016)—, terbukti kinerja tiga lembaga penegak hukum (KPK, kepolisian, dan kejaksaan) selama 5 tahun (2009-2014) telah berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara lebih dari 5 triliun rupiah. Adapun total dana APBN untuk ketiga lembaga tersebut per tahun mencapai kurang lebih Rp50 triliun rupiah. Fakta tersebut belum diperhitungkan dengan biaya makan narapidana/tahanan per hari yang mencapai Rp15.000 (lima belas ribu) rupiah per orang dengan jumlah rata-rata narapidana/tahanan per tahun 190.000 orang sehingga dapat dihitung jumlah pengeluaran dana APBN untuk penegakan hukum dari hulu ke hilir.
Berdasarkan fakta tersebut, saya sepakat dan setuju dengan rencana Mabes Polri untuk membentuk Densus Antikorupsi. Saya juga menyarankan agar Satgas Tipikor di kejaksaan diperkuat. Harapannya ketiga lembaga tersebut dapat menghasilkan pengembalian kerugian keuangan negara yang signifikan kepada kas negara. Untuk tujuan tersebut disarankan agar kedudukan hukum Densus Antikorupsi di kepolisian dan kejaksaan diperkuat dengan diberi tugas dan wewenang yang sama dengan KPK dan anggaran yang sama, termasuk biaya operasional yang sama dengan pola anggaran di KPK.
Saya yakin dengan perubahan UU KPK dan perubahan penguatan UU Kepolisian dan Kejaksaan, politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia semakin berhasil meningkat baik dari aspek penjeraan maupun aspek keuangan negara. Syarat utama dalam rangka pembentukan Densus Antikorupsi tersebut, anggota Kompolnas dan anggota Komjak wajib ikut serta dalam setiap gelar perkara tindak pidana korupsi sebagai wujud prinsip checks and balances untuk menemukan kebenaran materiil suatu perkara.
Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad)
ARTIKEL Saudara Mahfud MD (KORAN SINDO, 29/7) membuktikan dan memperkuat bahwa keterangan Yulianis di dalam sidang Pansus Hak Angket benar adanya. Keyakinan ini dikuatkan hasil penelusuran Mahfud MD di KPK dan telah diakui KPK kebenaran keterangan Yulianis. Jika tidak ada sidang Pansus Hak Angket yang antara lain saya dukung, mungkin ceritanya menjadi lain dan berbeda. Yang pasti bantahan-bantahan dari KPK dan "die harder KPK" semakin keras dan menjadi-jadi menghujat Yulianis.
Saya percaya dan yakin terlepas dari pro dan kontra Pansus Hak Angket bahwa keberadaan Pansus Hak Angket yang memiliki fungsi penyelidikan berdasarkan UUMD3 sudah benar dan memiliki momentum yang tepat setelah KPK berkiprah selama kurang lebih 15 tahun lamanya. Saya menjadi yakin setelah membaca artikel Saudara Mahfud MD bahwa fakta di balik kinerja KPK yang dianggap "berani jujur itu hebat" akan semakin terbuka kepada masyarakat Indonesia dan memang seharusnya dibuka kepada publik.
Keharusan itu sesuai dengan tanggung jawab KPK sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 5 huruf b, c, dan d jo Pasal 20 UU RI No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu asas keterbukaan (Pasal 5 huruf b), asas akuntabilitas (Pasal 5 huruf c), dan asas kepentingan umum (Pasal 5 huruf d). Lalu dikuatkan dengan pertanggungjawaban KPK kepada publik (Pasal 20 ) yang merupakan beberapa landasan berpijak dan tanggung jawab pimpinan KPK.
Hal ini tidak dapat dinafikan hanya dengan alasan independensi. Jika dibaca dan dipahami secara benar, alasan tersebut mengada-ada. Karena Pasal 3 UU KPK 2002 menegaskan bahwa independensi KPK hanya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya—yang bersifat pro-justisia —sesuai dengan Pasal 6 huruf a sd e. Untuk tugas KPK dalam bidang pengelolaan kantor KPK dan pengelolaan keuangan, mereka tidak imun baik terhadap pemeriksaan maupun pengawasan.
Atas dasar hal tersebut, tugas Pansus Hak Angket seharusnya tidak fokus pada tugas dan wewenang KPK yang bersifat pro-justisia. Namun sesuai dengan UU MD 3, wewenang diberikan kepada anggota DPR RI untuk melakukan pemeriksaan, antara lain terhadap pelaksanaan suatu UU (semisal UU Tipikor dan UU KPK), termasuk lembaga KPK. Maka Pansus Hak Angket KPK juga dapat melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti dugaan kriminalisasi dan rekayasa oleh pegawai penyidik KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang pro-justisia KPK berdasarkan UU KPK 2002.
Dugaan tersebut merupakan bukti awal atau petunjuk untuk dimulainya pemeriksaan atas sejumlah saksi di bawah sumpah termasuk juga meminta keterangan dari para ahli. Dalam konteks ini, RDPU memang tidak tepat karena sifat RDPU hanya meminta informasi semata-mata bukan dalam konteks penyelidikan atas dugaan pelanggaran hukum.
Setelah Pansus Hak Angket bekerja hampir mendekati masa kerja 60 hari—terlepas dari cara kerjanya—, saya semakin yakin bahwa di KPK ada "kekuatan tangan besi" di balik "baju besi KPK" yang dikuatkan dengan UU KPK 2002. Saya dorong terus agar Pansus Hak Angket menggali sedalam-dalamnya fakta-fakta terkait KPK.
Penggalian itu selain untuk mengetahui ketidakbenaran dan ketidakjujuran KPK, juga mengenai keberhasilan KPK di dalam menjalankan peraturan perundang-undangan sehingga diperoleh kesimpulan yang objektif dan jauh dari syahwat hendak membubarkan KPK. Tentunya jika ditemukan bukti awal yang cukup untuk melakukan penyelidikan pro-justisia, tidak tertutup kemungkinan dilakukan penyidikan terhadap oknum penyidik atau pimpinan KPK yang telah melanggar ketentuan perundang-undangan pidana, termasuk UU KPK itu sendiri.
Hendaknya hasil Pansus Hak Angket KPK diumumkan secara terbuka kepada publik. Tujuannya agar publik memahami kondisi senyatanya di dalam KPK melaksanakan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Keterangan Saudara Miko dan Muchtar Effendi serta narapidana di Rutan Pondok Bambu dan di LP Sukamiskin harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan cross-check kepada terlapor untuk memperoleh kebenaran materiil dari dugaan-dugaan miring tersebut.
Sekalipun kesimpulan hasil Pansus Hak Angket KPK belum final, fakta-fakta temuan Pansus Hak Angket KPK yang telah tersebar luas di media sosial (medsos) merupakan informasi yang menguatkan pendapat saya sejak lama bahwa UU KPK perlu direvisi. Revisi ini penting sehingga celah-celah hukum acara pemeriksaan dapat segera ditutup dan pengawasan secara ketat dengan sistem check and balances segera dapat dilaksanakan terhadap pimpinan dan pegawai KPK.
Perlu juga pembentukan dewan pengawas di dalam struktur organisasi KPK yang berwenang mengikuti proses penanganan perkara tipikor sejak penyelidikan sampai penuntutan guna membantu memperkuat pimpinan KPK di dalam menemukan kebenaran materiil dari suatu perkara. Konsekuensi logis dari usulan tersebut, penasihat KPK ditiadakan.
Usulan saya berikut ini dalam revisi UU KPK, agar KPK fokus pada fungsi penindakan saja, maka fungsi koordinasi dan supervisi dihapuskan dan fungsi pencegahan (monitoring dan evaluasi) dilimpahkan kepada Ombudsman RI. Usulan tersebut mengubah ketentuan Pasal 6 UU KPK 2002 sehingga KPK hanya fokus pada strategi penindakan saja, tetapi kewenangan pro-justisia tetap tidak ada perubahan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik(LPIKP)—yang telah dituangkan dalam buku Sisi Lain Akuntabilitas KPK dan Lembaga Pegiat Antikorupsi (Gramedia 2016)—, terbukti kinerja tiga lembaga penegak hukum (KPK, kepolisian, dan kejaksaan) selama 5 tahun (2009-2014) telah berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara lebih dari 5 triliun rupiah. Adapun total dana APBN untuk ketiga lembaga tersebut per tahun mencapai kurang lebih Rp50 triliun rupiah. Fakta tersebut belum diperhitungkan dengan biaya makan narapidana/tahanan per hari yang mencapai Rp15.000 (lima belas ribu) rupiah per orang dengan jumlah rata-rata narapidana/tahanan per tahun 190.000 orang sehingga dapat dihitung jumlah pengeluaran dana APBN untuk penegakan hukum dari hulu ke hilir.
Berdasarkan fakta tersebut, saya sepakat dan setuju dengan rencana Mabes Polri untuk membentuk Densus Antikorupsi. Saya juga menyarankan agar Satgas Tipikor di kejaksaan diperkuat. Harapannya ketiga lembaga tersebut dapat menghasilkan pengembalian kerugian keuangan negara yang signifikan kepada kas negara. Untuk tujuan tersebut disarankan agar kedudukan hukum Densus Antikorupsi di kepolisian dan kejaksaan diperkuat dengan diberi tugas dan wewenang yang sama dengan KPK dan anggaran yang sama, termasuk biaya operasional yang sama dengan pola anggaran di KPK.
Saya yakin dengan perubahan UU KPK dan perubahan penguatan UU Kepolisian dan Kejaksaan, politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia semakin berhasil meningkat baik dari aspek penjeraan maupun aspek keuangan negara. Syarat utama dalam rangka pembentukan Densus Antikorupsi tersebut, anggota Kompolnas dan anggota Komjak wajib ikut serta dalam setiap gelar perkara tindak pidana korupsi sebagai wujud prinsip checks and balances untuk menemukan kebenaran materiil suatu perkara.
(mhd)