Menyikapi Polemik Utang
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
TOPIK utang mencuat sebagai isu yang paling hot. Entah mengapa pembahasan mengenai utang selalu berhasil menjadi paradoks (debatable).
Ada pihak yang bergeming bahwa pertumbuhan utang adalah hal tabu yang perlu dihindari. Namun ada juga pihak yang memilih berbaris di belakang pemerintah seiring tuntutan pembiayaan pembangunan.
Uniknya, kedua pihak memiliki alat justifikasi yang sama meskipun ujung-ujungnya berbeda penafsiran, yakni perihal perkembangan terkini pada kapasitas fiskal dan kondisi makroekonomi Indonesia.
Masyarakat yang menganggap utang sebagai hal yang tabu memiliki pertimbangan, total utang kita sudah sangat menumpuk. Tingkat rasionya terus merangkak naik hingga sekarang mencapai sekitar 28% terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasionalisasi terbesarnya tidak hanya berpatokan pada threshold 60% terhadap PDB, melainkan juga imbas yang tergolong berat terhadap kapasitas APBN dan stabilitas politik.
Berdasarkan data DJPPR Kemenkeu per 30 Juni 2017, profil jatuh tempo utang untuk 2017 totalnya menyisakan Rp133,37 triliun. Dua tahun ke depan profil jatuh tempo utang meningkat drastis, yakni masing-masing sebesar Rp315,23 triliun untuk 2018 dan Rp325,29 triliun di 2019.
Selain itu hasil pembangunan di kancah makroekonomi belum menunjukkan hasil optimal. Akselerasi pertumbuhan cenderung menurun bila dibandingkan dengan satu dasawarsa sebelumnya.
Tingkat kesejahteraan yang diukur melalui kemiskinan dan ketimpangan belum dapat diatasi dengan baik. Kenaikan pendapatan yang diskema melalui berbagai insentif tidak cukup membendung pelemahan daya beli masyarakat.
Beberapa komoditas strategis lajunya juga masih sangat resisten terhadap iklim perekonomian global. Akibatnya effort untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak banyak menampilkan kesan yang positif. Karena itu masyarakat sudah sangat wajar untuk mulai bertanya-tanya: bagaimana cara pemerintah untuk melunasi semua utang yang semakin menumpuk?
Minggu lalu Menteri Keuangan mengirimkan jawaban dengan merilis infografis bertajuk “Benarkah Indonesia Darurat Utang?” Menkeu memilih atribut kondisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai mukadimah tulisan. Dalam rilis tersebut Menkeu bercerita tentang kondisi IPM kita yang masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Beban untuk terus mengembangkan kapasitas SDM diperhitungkan semakin besar seiring dengan hadirnya masa bonus demografi. Selain itu efek negatif dari krisis ekonomi 1998 yang lalu membuat pemerintah kehilangan fokus untuk mengembangkan kualitas infrastruktur.
Hampir dua dekade pascakrisis, pemerintah lebih banyak disibukkan dengan urusan stabilitas makroekonomi dan membangun sistem keuangan yang sehat. Presiden kemudian mengambil langkah agresif untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur.
Namun pembiayaan yang bersumber dari APBN dan APBD selama 2015–2019 untuk pembangunan infrastruktur ditaksir hanya mencukupi 41,25% dari total dana yang dibutuhkan. Akselerasi penerimaan pajak yang diukur berdasarkan tax ratio perjalanannya masih tersendat-sendat.
Padahal penerimaan pajak menjadi tulang punggung untuk mengisi kas negara sehingga sangat wajar telah terjadi efek negatif berupa tingkat produktivitas dan daya kompetisi kita yang cenderung suboptimal. Kondisi tersebut pada akhirnya memaksa pemerintah untuk bertindak. Pemerintah merasa wajib untuk menambah anggaran karena tuntutan pembangunan yang kian besar dan mendesak, khususnya untuk layanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Jika merujuk pada pengalaman di beberapa negara dunia, kita memang patut lebih berhati-hati dalam menangani utang. Beberapa negara seperti Yunani, Zimbabwe, Ukraina, Ekuador, dan Peru menjadi contoh negara yang terhitung gagal dalam mengelola utang.
Penyebab kegagalan yang paling menonjol karena pemerintahnya yang kurang kredibel dalam pengelolaan dan pengawasan penggunaan utang serta adanya konflik politik yang bahkan merembet pada perang saudara. Akibatnya negara-negara tersebut memilih skema “gali lubang tutup lubang”.
Yang tidak mereka sadari, skema ini bukanlah cara yang ideal karena ada beban bunga yang terus meningkat sehingga kantong kas negaranya sangat terhimpit dengan kewajiban pembayaran utang beserta bunga-bunganya.
Namun penulis perlu mengingatkan bahwa kita tidak bisa mengomparasi fenomena di beberapa negara secara mentah-mentah. Ada semacam kearifan lokal yang perlu kita sisipkan sebagai bagian dari perumusan kebijakan. Yang jelas kita harus pertimbangkan jaminan manfaat yang akan dihasilkan dari kebijakan pemerintah, khususnya yang menggunakan utang.
Besaran tax ratio mungkin sangat layak kita jadikan sebagai dasar pertimbangan. Pajak dapat menjadi simbol yang sahih karena bisa menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang direfleksikan pada tingkat pendapatan dan pengeluaran.
Namun syaratnya harus ceteris paribus (konstan), misalnya tidak ada perubahan signifikan terkait persentase besaran pajak yang ditanggung para wajib pajak. Penulis juga menambahkan beberapa saran agar Indonesia tidak bergantung pada kebijakan utang.
Pertama, memperluas potensi penerimaan negara. Konsentrasi kemakmuran secara ekonomi masih sangat dikuasai Pulau Jawa. Parameternya bisa diukur berdasarkan share terhadap PDB dan penerimaan pajak nasional.
BPS (2017) mencatat kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB Nasional 2016 mencapai 54,89%, sedangkan dari sisi penerimaan pajak 2016 kontribusinya sudah hampir absolut hingga sekitar 81% dari total realisasi pajak (Menkeu, 2016). Kondisi tersebut membuat pemerintah harus berani mengambil langkah ekstrem untuk membenahi ketimpangan antarpulau.
Pembangunan infrastruktur termasuk bagian dari kampanye yang digembar-gemborkan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan. Selain itu pengembangan kapasitas SDM lokal menjadi kata kunci berikutnya.
Angka IPM yang rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya bisa berkontribusi secara signifikan pada pelemahan daya saing antardaerah dan negara dari sisi SDM. Solusinya, kurikulum pendidikan harus diselaraskan dengan kebutuhan industri dari sisi suplai tenaga kerja terampil dan terdidik.
Sektor kesehatan juga perlu dikembangkan karena berperan terhadap produktivitas tenaga kerja. Apalagi Indonesia sejak era Orde Baru memiliki iktikad kuat untuk melakukan transformasi dari sektor primer menjadi sektor sekunder dan tersier.
Karena para stakeholders bersepakat bahwa transformasi ini bisa mendukung upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Para tenaga kerja tidak cukup hanya mengandalkan keterampilan secara tradisional untuk melanjutkan eksistensinya di kancah perekonomian global.
Kedua, mengefisienkan pola perencanaan. Sistem pembangunan yang di dalamnya banyak diwarnai karut-marut perencanaan justru akan meningkatkan biaya transaksi. Pengeluaran yang harus ditanggung para stakeholders pembangunan juga akan semakin tinggi.
Bappenas perlu diperkuat lagi muruahnya sebagai server dari seluruh tahap perencanaan pembangunan nasional. Para perencana di struktur daerah dan swasta perlu dirangkul untuk melakukan sinkronisasi perencanaan, termasuk di dalamnya dari segi pembiayaan.
Sektor swasta yang kemarin diharapkan bisa terlibat dalam skema Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk kepentingan pembangunan infrastruktur sebaiknya juga perlu diajak berembuk bagaimana agar pelaksanaannya bisa optimal. Karena selain dari sisi penerimaan pajak, skema KPBU juga bisa berpeluang menghindarkan pemerintah dari hasrat utang.
Ketiga, mempertegas program prioritas. Pemerintah terkesan ingin mengejar semua ketertinggalan dengan melakukan pembangunan di semua sektor. Padahal kapasitas pembiayaan dan SDM domestik sangat terbatas.
Dan lagi-lagi peran Bappenas sangat dibutuhkan untuk membuat skala prioritas pembangunan dengan disertai mekanisme pembiayaan yang dapat melibatkan pemerintah daerah dan sektor swasta. Dalam pandangan penulis, sebaiknya pemerintah mendahulukan sektor-sektor yang selama ini menimbulkan biaya transaksi tinggi.
Target jangka menengah perlu disusun secara bertahap untuk mengatasi mahalnya biaya logistik, baik itu dari sisi lingkungan regulasi maupun kapasitas infrastrukturnya. Biaya logistik sudah terbukti yang membuat kita sulit bersaing.
Solusi teoretisnya, pembangunan infrastruktur perlu diarahkan dan diprioritaskan ke arah koneksitas dari pusat-pusat produksi ke pasar/konsumen. Kemudian dari sisi kelembagaan, pemerintah dapat menciptakan berbagai insentif agar terwujud production linkages antara sektor industri dengan sektor lainnya di dalam wilayah tersebut. Dengan demikian arus mobilitas produksi tidak perlu menanggung beban operasional yang besar demi mengakses pasar suplai.
Keempat, menghindari debt trap. Pengawasan pengelolaan utang sebaiknya tidak terbatas hanya pada utang yang terima pemerintah, melainkan juga pada utang yang beredar di sektor swasta. Di sebagian negara yang sukses mengelola utang seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris, mereka berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonominya karena utang mampu menutupi kekurangan sumber daya. Bahkan mereka juga berhasil hingga membuka akses pasar luar negeri.
Adapun bagi negara yang gagal melunasi utang, hasilnya malah sebaliknya. Utang (yang disertai investasi asing) bukannya melengkapi, tetapi malah justru menyubstitusi penuh sumber daya lokal. Kegagalan tersebut disebabkan tidak terjadi transfer kapasitas dengan alasan teknologi yang diimpor tidak sesuai, termasuk juga melahirkan kejahatan korupsi.
Oleh karena itu, dengan semakin besarnya utang negara, sangat penting pengelolaan yang transparan dan didukung transformasi ekonomi yang signifikan sehingga dalam jangka panjang beban utang semakin kecil.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
TOPIK utang mencuat sebagai isu yang paling hot. Entah mengapa pembahasan mengenai utang selalu berhasil menjadi paradoks (debatable).
Ada pihak yang bergeming bahwa pertumbuhan utang adalah hal tabu yang perlu dihindari. Namun ada juga pihak yang memilih berbaris di belakang pemerintah seiring tuntutan pembiayaan pembangunan.
Uniknya, kedua pihak memiliki alat justifikasi yang sama meskipun ujung-ujungnya berbeda penafsiran, yakni perihal perkembangan terkini pada kapasitas fiskal dan kondisi makroekonomi Indonesia.
Masyarakat yang menganggap utang sebagai hal yang tabu memiliki pertimbangan, total utang kita sudah sangat menumpuk. Tingkat rasionya terus merangkak naik hingga sekarang mencapai sekitar 28% terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasionalisasi terbesarnya tidak hanya berpatokan pada threshold 60% terhadap PDB, melainkan juga imbas yang tergolong berat terhadap kapasitas APBN dan stabilitas politik.
Berdasarkan data DJPPR Kemenkeu per 30 Juni 2017, profil jatuh tempo utang untuk 2017 totalnya menyisakan Rp133,37 triliun. Dua tahun ke depan profil jatuh tempo utang meningkat drastis, yakni masing-masing sebesar Rp315,23 triliun untuk 2018 dan Rp325,29 triliun di 2019.
Selain itu hasil pembangunan di kancah makroekonomi belum menunjukkan hasil optimal. Akselerasi pertumbuhan cenderung menurun bila dibandingkan dengan satu dasawarsa sebelumnya.
Tingkat kesejahteraan yang diukur melalui kemiskinan dan ketimpangan belum dapat diatasi dengan baik. Kenaikan pendapatan yang diskema melalui berbagai insentif tidak cukup membendung pelemahan daya beli masyarakat.
Beberapa komoditas strategis lajunya juga masih sangat resisten terhadap iklim perekonomian global. Akibatnya effort untuk meningkatkan penerimaan pajak tidak banyak menampilkan kesan yang positif. Karena itu masyarakat sudah sangat wajar untuk mulai bertanya-tanya: bagaimana cara pemerintah untuk melunasi semua utang yang semakin menumpuk?
Minggu lalu Menteri Keuangan mengirimkan jawaban dengan merilis infografis bertajuk “Benarkah Indonesia Darurat Utang?” Menkeu memilih atribut kondisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai mukadimah tulisan. Dalam rilis tersebut Menkeu bercerita tentang kondisi IPM kita yang masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Beban untuk terus mengembangkan kapasitas SDM diperhitungkan semakin besar seiring dengan hadirnya masa bonus demografi. Selain itu efek negatif dari krisis ekonomi 1998 yang lalu membuat pemerintah kehilangan fokus untuk mengembangkan kualitas infrastruktur.
Hampir dua dekade pascakrisis, pemerintah lebih banyak disibukkan dengan urusan stabilitas makroekonomi dan membangun sistem keuangan yang sehat. Presiden kemudian mengambil langkah agresif untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur.
Namun pembiayaan yang bersumber dari APBN dan APBD selama 2015–2019 untuk pembangunan infrastruktur ditaksir hanya mencukupi 41,25% dari total dana yang dibutuhkan. Akselerasi penerimaan pajak yang diukur berdasarkan tax ratio perjalanannya masih tersendat-sendat.
Padahal penerimaan pajak menjadi tulang punggung untuk mengisi kas negara sehingga sangat wajar telah terjadi efek negatif berupa tingkat produktivitas dan daya kompetisi kita yang cenderung suboptimal. Kondisi tersebut pada akhirnya memaksa pemerintah untuk bertindak. Pemerintah merasa wajib untuk menambah anggaran karena tuntutan pembangunan yang kian besar dan mendesak, khususnya untuk layanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Jika merujuk pada pengalaman di beberapa negara dunia, kita memang patut lebih berhati-hati dalam menangani utang. Beberapa negara seperti Yunani, Zimbabwe, Ukraina, Ekuador, dan Peru menjadi contoh negara yang terhitung gagal dalam mengelola utang.
Penyebab kegagalan yang paling menonjol karena pemerintahnya yang kurang kredibel dalam pengelolaan dan pengawasan penggunaan utang serta adanya konflik politik yang bahkan merembet pada perang saudara. Akibatnya negara-negara tersebut memilih skema “gali lubang tutup lubang”.
Yang tidak mereka sadari, skema ini bukanlah cara yang ideal karena ada beban bunga yang terus meningkat sehingga kantong kas negaranya sangat terhimpit dengan kewajiban pembayaran utang beserta bunga-bunganya.
Namun penulis perlu mengingatkan bahwa kita tidak bisa mengomparasi fenomena di beberapa negara secara mentah-mentah. Ada semacam kearifan lokal yang perlu kita sisipkan sebagai bagian dari perumusan kebijakan. Yang jelas kita harus pertimbangkan jaminan manfaat yang akan dihasilkan dari kebijakan pemerintah, khususnya yang menggunakan utang.
Besaran tax ratio mungkin sangat layak kita jadikan sebagai dasar pertimbangan. Pajak dapat menjadi simbol yang sahih karena bisa menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang direfleksikan pada tingkat pendapatan dan pengeluaran.
Namun syaratnya harus ceteris paribus (konstan), misalnya tidak ada perubahan signifikan terkait persentase besaran pajak yang ditanggung para wajib pajak. Penulis juga menambahkan beberapa saran agar Indonesia tidak bergantung pada kebijakan utang.
Pertama, memperluas potensi penerimaan negara. Konsentrasi kemakmuran secara ekonomi masih sangat dikuasai Pulau Jawa. Parameternya bisa diukur berdasarkan share terhadap PDB dan penerimaan pajak nasional.
BPS (2017) mencatat kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB Nasional 2016 mencapai 54,89%, sedangkan dari sisi penerimaan pajak 2016 kontribusinya sudah hampir absolut hingga sekitar 81% dari total realisasi pajak (Menkeu, 2016). Kondisi tersebut membuat pemerintah harus berani mengambil langkah ekstrem untuk membenahi ketimpangan antarpulau.
Pembangunan infrastruktur termasuk bagian dari kampanye yang digembar-gemborkan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan. Selain itu pengembangan kapasitas SDM lokal menjadi kata kunci berikutnya.
Angka IPM yang rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya bisa berkontribusi secara signifikan pada pelemahan daya saing antardaerah dan negara dari sisi SDM. Solusinya, kurikulum pendidikan harus diselaraskan dengan kebutuhan industri dari sisi suplai tenaga kerja terampil dan terdidik.
Sektor kesehatan juga perlu dikembangkan karena berperan terhadap produktivitas tenaga kerja. Apalagi Indonesia sejak era Orde Baru memiliki iktikad kuat untuk melakukan transformasi dari sektor primer menjadi sektor sekunder dan tersier.
Karena para stakeholders bersepakat bahwa transformasi ini bisa mendukung upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Para tenaga kerja tidak cukup hanya mengandalkan keterampilan secara tradisional untuk melanjutkan eksistensinya di kancah perekonomian global.
Kedua, mengefisienkan pola perencanaan. Sistem pembangunan yang di dalamnya banyak diwarnai karut-marut perencanaan justru akan meningkatkan biaya transaksi. Pengeluaran yang harus ditanggung para stakeholders pembangunan juga akan semakin tinggi.
Bappenas perlu diperkuat lagi muruahnya sebagai server dari seluruh tahap perencanaan pembangunan nasional. Para perencana di struktur daerah dan swasta perlu dirangkul untuk melakukan sinkronisasi perencanaan, termasuk di dalamnya dari segi pembiayaan.
Sektor swasta yang kemarin diharapkan bisa terlibat dalam skema Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk kepentingan pembangunan infrastruktur sebaiknya juga perlu diajak berembuk bagaimana agar pelaksanaannya bisa optimal. Karena selain dari sisi penerimaan pajak, skema KPBU juga bisa berpeluang menghindarkan pemerintah dari hasrat utang.
Ketiga, mempertegas program prioritas. Pemerintah terkesan ingin mengejar semua ketertinggalan dengan melakukan pembangunan di semua sektor. Padahal kapasitas pembiayaan dan SDM domestik sangat terbatas.
Dan lagi-lagi peran Bappenas sangat dibutuhkan untuk membuat skala prioritas pembangunan dengan disertai mekanisme pembiayaan yang dapat melibatkan pemerintah daerah dan sektor swasta. Dalam pandangan penulis, sebaiknya pemerintah mendahulukan sektor-sektor yang selama ini menimbulkan biaya transaksi tinggi.
Target jangka menengah perlu disusun secara bertahap untuk mengatasi mahalnya biaya logistik, baik itu dari sisi lingkungan regulasi maupun kapasitas infrastrukturnya. Biaya logistik sudah terbukti yang membuat kita sulit bersaing.
Solusi teoretisnya, pembangunan infrastruktur perlu diarahkan dan diprioritaskan ke arah koneksitas dari pusat-pusat produksi ke pasar/konsumen. Kemudian dari sisi kelembagaan, pemerintah dapat menciptakan berbagai insentif agar terwujud production linkages antara sektor industri dengan sektor lainnya di dalam wilayah tersebut. Dengan demikian arus mobilitas produksi tidak perlu menanggung beban operasional yang besar demi mengakses pasar suplai.
Keempat, menghindari debt trap. Pengawasan pengelolaan utang sebaiknya tidak terbatas hanya pada utang yang terima pemerintah, melainkan juga pada utang yang beredar di sektor swasta. Di sebagian negara yang sukses mengelola utang seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris, mereka berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonominya karena utang mampu menutupi kekurangan sumber daya. Bahkan mereka juga berhasil hingga membuka akses pasar luar negeri.
Adapun bagi negara yang gagal melunasi utang, hasilnya malah sebaliknya. Utang (yang disertai investasi asing) bukannya melengkapi, tetapi malah justru menyubstitusi penuh sumber daya lokal. Kegagalan tersebut disebabkan tidak terjadi transfer kapasitas dengan alasan teknologi yang diimpor tidak sesuai, termasuk juga melahirkan kejahatan korupsi.
Oleh karena itu, dengan semakin besarnya utang negara, sangat penting pengelolaan yang transparan dan didukung transformasi ekonomi yang signifikan sehingga dalam jangka panjang beban utang semakin kecil.
(poe)