Ramainya Derai Beras
A
A
A
SEMANGAT pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyiasati ekonomi dunia yang masih lesu sangat terasa, terutama belakangan ini.
Kelesuan ekonomi dunia ini memang tak terhindarkan dan banyak pengamat mengatakan bahwa masalah ini masih panjang. Dampaknya tentu cukup terasa.
Namun, kita bisa lihat semangat untuk bisa melewati badai krisis ini sangat kuat. Berbagai pengetatan anggaran yang tidak perlu, dilakukan oleh pemerintah.
Proyek infrastruktur yang berpotensi mendatangkan multiplier effect positif, juga dikebut. Sementara di sisi lain, pemerintah mendorong sisi pemasukan.
Dalam konteks itu, satu hal yang sangat dihindarkan dalam situasi recovery seperti ini adalah kegaduhan yang tidak perlu.
Sayangnya kegaduhan yang timbul dalam kasus penggerebekan gudang beras milik PT Indo Besar Unggul (IBU) oleh Kementerian Pertanian, Polri dan juga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bertolak justru menimbulkan kegaduhan. Ramainya kegaduhan tersebut seperti derai beras yang terserak.
Di sini bisa kita lihat terutama Kementerian Pertanian yang seharusnya bisa memoderasi dunia pertanian Indonesia, justru menimbulkan keramaian.
Penggerebekan seharusnya menjadi alat terakhir setelah semua opsi tidak diindahkan oleh pihak yang dianggap tidak patuh aturan.
Aksi yang diambil Kementerian Pertanian ini langsung direspons oleh pasar. Harga saham induk PT IBU, yaitu PT Tiga Pilar Sejahtera (Kode BEI:AISA) pada Jumat (21/7) sempat jeblok 24,9% yang merupakan batas penurunan terbesar suatu saham dalam satu hari (auto-reject). Penurunan itu dilanjutkan pada Senin (24/7) dengan persentase 24,89%.
Market bisa dikatakan salah satu indikator paling jujur dalam ekonomi. Para pelaku pasar, jelas merespons negatif penggerebekan tersebut yang terefleksi dalam pergerakan saham induk PT IBU.
Namun, rupanya saham PT Tiga Pilar Sejahtera rebound pada Selasa dan dilanjutkan hingga kemarin (28/7). Tentu mengherankan, karena biasanya para pemain saham akan sangat menghindari perusahaan yang terkait masalah hukum.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada akhirnya pasar menganggap kasus ini ringan-ringan saja, tak perlu diseriusi.
Masalah pangan ini memang menjadi masalah menahun. Indonesia sudah sejak lama menargetkan swasembada, tapi tampaknya hanya pada 1980-an swasembada bisa tercapai.
Berbagai masalah menggelayuti sektor pangan utama negeri ini, mulai data yang berantakan, lahan yang terus tergerus, subsidi yang kadang salah sasaran, hingga perilaku pengampu bidang pertanian yang kurang tepat.
Khusus untuk masalah data, yang satu ini memang masih dikhawatirkan banyak pihak. Padahal kita tahu, data yang salah akan berujung pada kebijakan yang salah.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengatakan bahwa pemerintah belum punya data yang valid untuk mewujudkan stabilitas pangan.
Dalam konteks ini, Menteri Pertanian seharusnya menjadi penjaga utama ketenangan di sektor ini.
jangan sampai justru mentan membebani pundak Presiden Jokowi dengan urusan yang seharusnya tidak meledak sedemikian rupa. Apalagi, data-data yang dipakai pada akhirnya justru membuat institusi-institusi lain rusak pamornya di depan publik.
Kelesuan ekonomi dunia ini memang tak terhindarkan dan banyak pengamat mengatakan bahwa masalah ini masih panjang. Dampaknya tentu cukup terasa.
Namun, kita bisa lihat semangat untuk bisa melewati badai krisis ini sangat kuat. Berbagai pengetatan anggaran yang tidak perlu, dilakukan oleh pemerintah.
Proyek infrastruktur yang berpotensi mendatangkan multiplier effect positif, juga dikebut. Sementara di sisi lain, pemerintah mendorong sisi pemasukan.
Dalam konteks itu, satu hal yang sangat dihindarkan dalam situasi recovery seperti ini adalah kegaduhan yang tidak perlu.
Sayangnya kegaduhan yang timbul dalam kasus penggerebekan gudang beras milik PT Indo Besar Unggul (IBU) oleh Kementerian Pertanian, Polri dan juga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bertolak justru menimbulkan kegaduhan. Ramainya kegaduhan tersebut seperti derai beras yang terserak.
Di sini bisa kita lihat terutama Kementerian Pertanian yang seharusnya bisa memoderasi dunia pertanian Indonesia, justru menimbulkan keramaian.
Penggerebekan seharusnya menjadi alat terakhir setelah semua opsi tidak diindahkan oleh pihak yang dianggap tidak patuh aturan.
Aksi yang diambil Kementerian Pertanian ini langsung direspons oleh pasar. Harga saham induk PT IBU, yaitu PT Tiga Pilar Sejahtera (Kode BEI:AISA) pada Jumat (21/7) sempat jeblok 24,9% yang merupakan batas penurunan terbesar suatu saham dalam satu hari (auto-reject). Penurunan itu dilanjutkan pada Senin (24/7) dengan persentase 24,89%.
Market bisa dikatakan salah satu indikator paling jujur dalam ekonomi. Para pelaku pasar, jelas merespons negatif penggerebekan tersebut yang terefleksi dalam pergerakan saham induk PT IBU.
Namun, rupanya saham PT Tiga Pilar Sejahtera rebound pada Selasa dan dilanjutkan hingga kemarin (28/7). Tentu mengherankan, karena biasanya para pemain saham akan sangat menghindari perusahaan yang terkait masalah hukum.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada akhirnya pasar menganggap kasus ini ringan-ringan saja, tak perlu diseriusi.
Masalah pangan ini memang menjadi masalah menahun. Indonesia sudah sejak lama menargetkan swasembada, tapi tampaknya hanya pada 1980-an swasembada bisa tercapai.
Berbagai masalah menggelayuti sektor pangan utama negeri ini, mulai data yang berantakan, lahan yang terus tergerus, subsidi yang kadang salah sasaran, hingga perilaku pengampu bidang pertanian yang kurang tepat.
Khusus untuk masalah data, yang satu ini memang masih dikhawatirkan banyak pihak. Padahal kita tahu, data yang salah akan berujung pada kebijakan yang salah.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengatakan bahwa pemerintah belum punya data yang valid untuk mewujudkan stabilitas pangan.
Dalam konteks ini, Menteri Pertanian seharusnya menjadi penjaga utama ketenangan di sektor ini.
jangan sampai justru mentan membebani pundak Presiden Jokowi dengan urusan yang seharusnya tidak meledak sedemikian rupa. Apalagi, data-data yang dipakai pada akhirnya justru membuat institusi-institusi lain rusak pamornya di depan publik.
(nag)