Silang Sengkarut Penanganan Beras
A
A
A
Ichsan Firdaus
Anggota Komisi IV DPR RI, Fraksi Partai Golongan Karya
BERAS adalah komoditas pangan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan menentukan baik buruknya penyelenggaraan pangan nasional, serta menentukan stabilitas sosial ekonomi negara. Negara harus hadir melalui penguatan kelembagaan pangan, tetapi bukan juga menyerahkan sepenuhnya pada pasar (liberalisme pangan).
Baru-baru ini publik dikejutkan dengan adanya penggerebekan yang dilakukan Satgas Pangan atas PT Indo Beras Unggul (IBU) pada Kamis (20/7/ 2017). Satgas pangan menemukan 1.161 ton beras merek tertentu dengan indikasi melakukan kesalahan, yaitu pertama, praktik bisnis yang tidak sehat dan menyalahi aturan. Kedua, kebohongan publik atas kualitas beras.
Dugaan atas persaingan tidak sehat diindikasikan dengan adanya pembelian gabah dari petani dengan harga jauh di atas yang ditentukan Bulog. PT IBU membeli gabah dari petani dengan harga Rp4.900/kg. Padahal harga yang telah ditetapkan pemerintah adalah Rp3.700/ kg. Dampaknya perusahaan lain tidak bisa membeli dengan harga tinggi tersebut. Selanjutnya PT IBU menjual beras dengan harga kelas ”premium”, yaitu seharga Rp13.700-Rp20.400/kg di pasar ritel dan umum. Perusahaan diduga meraup keuntungan sangat besar atas praktik usaha yang tidak sehat ini.
Dari segi kualitas, beras yang disebut ”premium” itu ternyata berjenis IR 64 yang merupakan beras jenis ”medium” atau ”beras bersubsidi” yang proses produksinya mendapatkan subsidi dari pemerintah. Belakangan, Komisaris PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) yang merupakan induk PT IBU membantah bahwa saat ini beras IR 64 sudah jarang ditemukan dan sudah berganti varietas baru. PT IBU divonis melanggar karena menjualnya dengan harga di atas HET untuk beras seperti ini, yaitu Rp9.000/kg. Jika informasinya beras premium padahal IR 64, maka hal itu dianggap kebohongan. Karena seharusnya jika IR 64 dijual di kisaran Rp9.000/kg.
Atas pelanggaran yang dilakukan PT IBU, Polri menduga terdapat tindak pidana dalam proses produksi dan distribusi beras yang dilakukan PT IBU sebagaimana diatur dalam Pasal 382 Bis KUHP dan Pasal 141 UU 18/2012 tentang Pangan serta Pasal 62 UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Meluruskan Definisi dan Anomali Harga
Mengiringi kasus ini, banyak istilah yang menyebabkan terjadinya kerancuan dan menimbulkan gagal paham. Kerancuan pertama, istilah ”beras bersubsidi”. Apakah yang dimaksudkan dengan beras bersubsidi? Selama ini pemahaman tentang beras subsidi adalah beras untuk masyarakat miskin yang dibeli dengan harga di bawah pasar dan diperuntukkan bagi warga tidak mampu (rastra yang dahulu dikenal sebagai raskin).
Mensos pun membantah beras yang digerebek di Bekasi termasuk beras rastra. Pihak Kementerian Pertanian pun memperjelas bahwa subsidi yang dimaksud adalah subsidi pupuk, alsintan, benih, dan lainnya, yang digunakan petani untuk menghasilkan beras berasal dari varietas IR 64 atau setara. Komisaris Utama PT TPS juga membantah dan menyatakan varietas tersebut sudah lama tidak beredar, sedangkan Mentan Amran Sulaeman menyatakan sebagian besar varietas yang beredar adalah IR 64 atau beberapa jenis yang sama dengan itu. Dua pernyataan bertentangan dari pihak yang sangat memahami persoalan IR 64 menimbulkan kebingungan publik. Hal ini menunjukkan betapa buruknya tata kelola, data, dan informasi terkait beras.
Kerancuan kedua, istilah beras ”medium dan premium”. Kedua istilah ini menimbulkan keresahan publik dan harus diluruskan. Jika yang dimaksudkan beras premium memiliki nilai ekonomi dan kualitas yang lebih baik dari beras medium, lalu bagaimana cara membedakannya? Bukankah hal ini dapat memberi ruang bagi para spekulan dan pedagang untuk menjual beras medium dengan harga premium atau mengoplos beras medium menjadi premium sebagaimana dugaan awal terhadap PT IBU? Bulog sendiri sebetulnya menjalankan bisnis dan perdagangan beras yang didapatkan dari dalam negeri maupun impor. Bulog juga melakukan pembelian beras petani (medium) dengan HPP dan biasanya digunakan untuk rastra maupun dalam operasi pasar. Istilah ini harus diperjelas dan publik perlu mendapatkan penjelasan bagaimana membedakan kedua jenis beras ini.
Kerancuan ketiga yang perlu dicermati adalah soal disparitas harga di tingkat produsen dan konsumen juga simpang siur. Menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), disparitas harga yang terlalu besar menjadi masalah dan penikmat terbesar adalah pedagang perantara. KPPU menyebutkan harga dasar gabah kering panen (GKP) sekitar Rp3.700/kg dan gabah kering giling (GKG) Rp4.600/kg.
Sementara harga pembelian beras petani ditetapkan Rp7.300/kg dan ternyata di pasaran konsumen membeli dengan harga Rp10.500-Rp13.500/kg. KPPU menduga ada selisih besar sekitar Rp3.000-Rp9.000/kg yang dinikmati para pedagang perantara. Bagaimana sebetulnya rantai pasar besar ini bekerja? Berapa sebetulnya selisih margin yang diperkenankan untuk dinikmati pedagang? Pada posisi seperti ini, petani memang dirugikan dan demikian halnya dengan konsumen.
Disparitas yang begitu tinggi antara petani dan konsumen menunjukkan adanya masalah serius dalam rantai distribusi, sistem logistik, tata niaga, struktur, dan perilaku pasar. Anomali dan disparitas harga ini tentu perlu segera diperbaiki oleh pemerintah karena juga terjadi pada komoditas pangan selain beras. Pemerintah sebetulnya sudah menyatakan melalui Inpres Nomor 5/2015 tentang HPP gabah dan beras tahun 2016, tapi rupanya banyak pihak tidak sepenuhnya menjalankan inpres dengan baik.
Monopoli-Kompetisi
Kartel dan kejahatan pangan harus diberantas, tetapi hendaknya perlu dilakukan secara hati-hati dan dilengkapi dengan data serta informasi akurat. Dalam struktur industri beras dianggap kompetitif di tingkat petani, tetapi cenderung oligopoli di rantai distribusi (middlemen). Namun, ada pakar ekonomi pertanian menyatakan bahwa yang terjadi dalam industri beras sebetulnya adalah monopoli-kompetisi. Ada kompetisi, bukan hanya terjadi di tingkat petani, tetapi hampir terjadi di semua level. Namun, ada praktik monopoli oleh beberapa pemain beras karena persoalan jaringan terhadap petani, teknologi, dan modal.
Bisnis beras dan persoalan pangan pada umumnya bisa jadi tidak hanya sekadar urusan supply-demand, tetapi lebih dari itu, menyangkut soal prilaku pasar, sosial, ekonomi, dan bahkan politik, baik di tingkat lokal maupun global. Publik mungkin baru tersadarkan bahwa dalam kepemilikan saham PT TPS juga melibatkan firma investasi global dengan aset lebih dari USD78 miliar. Karena itu, tidak aneh jika Panglima TNI berkampanye ke mana-mana bahwa perang masa depan adalah perang pangan. Indonesia menjadi arena pertarungan tersebut karena Indonesia adalah lumbung pangan, air, dan energi dunia. Jika Indonesia tidak hati-hati menyikapi hal ini, maka bisa menjadi penonton dan bukan tidak mungkin menjadi negara gagal.
Agenda Premium
Kasus penggerebekan gudang beras PT IBU memberikan pelajaran berharga akan pentingnya data dan informasi yang premium. Pemberantasan mafia beras dan pangan lainnya harus terus dilakukan, tapi perlu dilakukan lebih hati-hati dan bisa dibuktikan dengan aturan dan hitungan jelas. Kita bersepakat memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen. UU Nomor 19/ 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pasal 3 dengan tegas menyatakan perlindungan dan pemberdayaan petani salah satunya bertujuan melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen.
Di sisi lain, perlu upaya serius menyelesaikan persoalan rantai distribusi, sistem logistik, tata niaga, dan struktur industri beras nasional. Negara harus hadir dan mempunyai keberpihakan kepada petani, tapi juga jangan sampai penanganan kasus perusahaan beras salah penanganan dan mengganggu iklim investasi usaha. Akurasi data dan informasi terkait perberasan juga tidak kalah pentingnya sehingga tidak lagi menimbulkan kerancuan di tengah publik. Karena itu, perlunya kehadiran Badan Pangan Nasional sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 18/ 2012 tentang Pangan, yang diharapkan memberikan salah satu solusi bagi persoalan tersebut sehingga negara hadir dalam penanganan dan memegang kendali atas komoditi pangan strategis terutama beras.
Intinya, jika keinginan dari penanganan kasus beras ini bertujuan memperkecil disparitas harga dari tingkat petani sampai tingkat konsumen, tentu publik juga mendukung. Karena petani diuntungkan, tapi usaha di sektor beras juga bisa membuat kepastian iklim usaha dan selalu bergairah. Untuk itu, rambu-rambu tentang ruang lingkup harga eceran tertinggi (HET), definisi beras premium ataupun medium, serta apa itu subsidi harus diperjelas oleh pemerintah. Jangan biarkan berbagai pemahaman tersebut masuk di wilayah abu-abu. Karena tantangan ke depan, bukan hanya soal mafia beras, tapi gejala tren potensi penurunan produksi beras nasional untuk tahun 2017 juga perlu diantisipasi lebih serius.
Salah satu indikator yang perlu diwaspadai adalah data Bulog per Juli 2017 menunjukkan bahwa penyerapan Bulog untuk semester I tahun 2017 hanya 1,3 juta ton, jauh lebih rendah dari penyerapan Bulog pada semester sama tahun 2016 yang berjumlah 1,8 juta ton. Hal ini akan mengancam cadangan beras pemerintah (CBP) tahun 2017. Belum lagi ancaman serangan hama wereng yang cukup masif di Pantura Jawa sebagai sentra beras nasional. Jika pemerintah terlambat dalam mengantisipasi, maka akan semakin memperparah ancaman penurunan produksi beras nasional 2017 dan memupus tujuan akhir dari kebijakan perberasan, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani dan membangun kemandirian pangan nasional. *
Anggota Komisi IV DPR RI, Fraksi Partai Golongan Karya
BERAS adalah komoditas pangan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan menentukan baik buruknya penyelenggaraan pangan nasional, serta menentukan stabilitas sosial ekonomi negara. Negara harus hadir melalui penguatan kelembagaan pangan, tetapi bukan juga menyerahkan sepenuhnya pada pasar (liberalisme pangan).
Baru-baru ini publik dikejutkan dengan adanya penggerebekan yang dilakukan Satgas Pangan atas PT Indo Beras Unggul (IBU) pada Kamis (20/7/ 2017). Satgas pangan menemukan 1.161 ton beras merek tertentu dengan indikasi melakukan kesalahan, yaitu pertama, praktik bisnis yang tidak sehat dan menyalahi aturan. Kedua, kebohongan publik atas kualitas beras.
Dugaan atas persaingan tidak sehat diindikasikan dengan adanya pembelian gabah dari petani dengan harga jauh di atas yang ditentukan Bulog. PT IBU membeli gabah dari petani dengan harga Rp4.900/kg. Padahal harga yang telah ditetapkan pemerintah adalah Rp3.700/ kg. Dampaknya perusahaan lain tidak bisa membeli dengan harga tinggi tersebut. Selanjutnya PT IBU menjual beras dengan harga kelas ”premium”, yaitu seharga Rp13.700-Rp20.400/kg di pasar ritel dan umum. Perusahaan diduga meraup keuntungan sangat besar atas praktik usaha yang tidak sehat ini.
Dari segi kualitas, beras yang disebut ”premium” itu ternyata berjenis IR 64 yang merupakan beras jenis ”medium” atau ”beras bersubsidi” yang proses produksinya mendapatkan subsidi dari pemerintah. Belakangan, Komisaris PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) yang merupakan induk PT IBU membantah bahwa saat ini beras IR 64 sudah jarang ditemukan dan sudah berganti varietas baru. PT IBU divonis melanggar karena menjualnya dengan harga di atas HET untuk beras seperti ini, yaitu Rp9.000/kg. Jika informasinya beras premium padahal IR 64, maka hal itu dianggap kebohongan. Karena seharusnya jika IR 64 dijual di kisaran Rp9.000/kg.
Atas pelanggaran yang dilakukan PT IBU, Polri menduga terdapat tindak pidana dalam proses produksi dan distribusi beras yang dilakukan PT IBU sebagaimana diatur dalam Pasal 382 Bis KUHP dan Pasal 141 UU 18/2012 tentang Pangan serta Pasal 62 UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Meluruskan Definisi dan Anomali Harga
Mengiringi kasus ini, banyak istilah yang menyebabkan terjadinya kerancuan dan menimbulkan gagal paham. Kerancuan pertama, istilah ”beras bersubsidi”. Apakah yang dimaksudkan dengan beras bersubsidi? Selama ini pemahaman tentang beras subsidi adalah beras untuk masyarakat miskin yang dibeli dengan harga di bawah pasar dan diperuntukkan bagi warga tidak mampu (rastra yang dahulu dikenal sebagai raskin).
Mensos pun membantah beras yang digerebek di Bekasi termasuk beras rastra. Pihak Kementerian Pertanian pun memperjelas bahwa subsidi yang dimaksud adalah subsidi pupuk, alsintan, benih, dan lainnya, yang digunakan petani untuk menghasilkan beras berasal dari varietas IR 64 atau setara. Komisaris Utama PT TPS juga membantah dan menyatakan varietas tersebut sudah lama tidak beredar, sedangkan Mentan Amran Sulaeman menyatakan sebagian besar varietas yang beredar adalah IR 64 atau beberapa jenis yang sama dengan itu. Dua pernyataan bertentangan dari pihak yang sangat memahami persoalan IR 64 menimbulkan kebingungan publik. Hal ini menunjukkan betapa buruknya tata kelola, data, dan informasi terkait beras.
Kerancuan kedua, istilah beras ”medium dan premium”. Kedua istilah ini menimbulkan keresahan publik dan harus diluruskan. Jika yang dimaksudkan beras premium memiliki nilai ekonomi dan kualitas yang lebih baik dari beras medium, lalu bagaimana cara membedakannya? Bukankah hal ini dapat memberi ruang bagi para spekulan dan pedagang untuk menjual beras medium dengan harga premium atau mengoplos beras medium menjadi premium sebagaimana dugaan awal terhadap PT IBU? Bulog sendiri sebetulnya menjalankan bisnis dan perdagangan beras yang didapatkan dari dalam negeri maupun impor. Bulog juga melakukan pembelian beras petani (medium) dengan HPP dan biasanya digunakan untuk rastra maupun dalam operasi pasar. Istilah ini harus diperjelas dan publik perlu mendapatkan penjelasan bagaimana membedakan kedua jenis beras ini.
Kerancuan ketiga yang perlu dicermati adalah soal disparitas harga di tingkat produsen dan konsumen juga simpang siur. Menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), disparitas harga yang terlalu besar menjadi masalah dan penikmat terbesar adalah pedagang perantara. KPPU menyebutkan harga dasar gabah kering panen (GKP) sekitar Rp3.700/kg dan gabah kering giling (GKG) Rp4.600/kg.
Sementara harga pembelian beras petani ditetapkan Rp7.300/kg dan ternyata di pasaran konsumen membeli dengan harga Rp10.500-Rp13.500/kg. KPPU menduga ada selisih besar sekitar Rp3.000-Rp9.000/kg yang dinikmati para pedagang perantara. Bagaimana sebetulnya rantai pasar besar ini bekerja? Berapa sebetulnya selisih margin yang diperkenankan untuk dinikmati pedagang? Pada posisi seperti ini, petani memang dirugikan dan demikian halnya dengan konsumen.
Disparitas yang begitu tinggi antara petani dan konsumen menunjukkan adanya masalah serius dalam rantai distribusi, sistem logistik, tata niaga, struktur, dan perilaku pasar. Anomali dan disparitas harga ini tentu perlu segera diperbaiki oleh pemerintah karena juga terjadi pada komoditas pangan selain beras. Pemerintah sebetulnya sudah menyatakan melalui Inpres Nomor 5/2015 tentang HPP gabah dan beras tahun 2016, tapi rupanya banyak pihak tidak sepenuhnya menjalankan inpres dengan baik.
Monopoli-Kompetisi
Kartel dan kejahatan pangan harus diberantas, tetapi hendaknya perlu dilakukan secara hati-hati dan dilengkapi dengan data serta informasi akurat. Dalam struktur industri beras dianggap kompetitif di tingkat petani, tetapi cenderung oligopoli di rantai distribusi (middlemen). Namun, ada pakar ekonomi pertanian menyatakan bahwa yang terjadi dalam industri beras sebetulnya adalah monopoli-kompetisi. Ada kompetisi, bukan hanya terjadi di tingkat petani, tetapi hampir terjadi di semua level. Namun, ada praktik monopoli oleh beberapa pemain beras karena persoalan jaringan terhadap petani, teknologi, dan modal.
Bisnis beras dan persoalan pangan pada umumnya bisa jadi tidak hanya sekadar urusan supply-demand, tetapi lebih dari itu, menyangkut soal prilaku pasar, sosial, ekonomi, dan bahkan politik, baik di tingkat lokal maupun global. Publik mungkin baru tersadarkan bahwa dalam kepemilikan saham PT TPS juga melibatkan firma investasi global dengan aset lebih dari USD78 miliar. Karena itu, tidak aneh jika Panglima TNI berkampanye ke mana-mana bahwa perang masa depan adalah perang pangan. Indonesia menjadi arena pertarungan tersebut karena Indonesia adalah lumbung pangan, air, dan energi dunia. Jika Indonesia tidak hati-hati menyikapi hal ini, maka bisa menjadi penonton dan bukan tidak mungkin menjadi negara gagal.
Agenda Premium
Kasus penggerebekan gudang beras PT IBU memberikan pelajaran berharga akan pentingnya data dan informasi yang premium. Pemberantasan mafia beras dan pangan lainnya harus terus dilakukan, tapi perlu dilakukan lebih hati-hati dan bisa dibuktikan dengan aturan dan hitungan jelas. Kita bersepakat memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen. UU Nomor 19/ 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pasal 3 dengan tegas menyatakan perlindungan dan pemberdayaan petani salah satunya bertujuan melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen.
Di sisi lain, perlu upaya serius menyelesaikan persoalan rantai distribusi, sistem logistik, tata niaga, dan struktur industri beras nasional. Negara harus hadir dan mempunyai keberpihakan kepada petani, tapi juga jangan sampai penanganan kasus perusahaan beras salah penanganan dan mengganggu iklim investasi usaha. Akurasi data dan informasi terkait perberasan juga tidak kalah pentingnya sehingga tidak lagi menimbulkan kerancuan di tengah publik. Karena itu, perlunya kehadiran Badan Pangan Nasional sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 18/ 2012 tentang Pangan, yang diharapkan memberikan salah satu solusi bagi persoalan tersebut sehingga negara hadir dalam penanganan dan memegang kendali atas komoditi pangan strategis terutama beras.
Intinya, jika keinginan dari penanganan kasus beras ini bertujuan memperkecil disparitas harga dari tingkat petani sampai tingkat konsumen, tentu publik juga mendukung. Karena petani diuntungkan, tapi usaha di sektor beras juga bisa membuat kepastian iklim usaha dan selalu bergairah. Untuk itu, rambu-rambu tentang ruang lingkup harga eceran tertinggi (HET), definisi beras premium ataupun medium, serta apa itu subsidi harus diperjelas oleh pemerintah. Jangan biarkan berbagai pemahaman tersebut masuk di wilayah abu-abu. Karena tantangan ke depan, bukan hanya soal mafia beras, tapi gejala tren potensi penurunan produksi beras nasional untuk tahun 2017 juga perlu diantisipasi lebih serius.
Salah satu indikator yang perlu diwaspadai adalah data Bulog per Juli 2017 menunjukkan bahwa penyerapan Bulog untuk semester I tahun 2017 hanya 1,3 juta ton, jauh lebih rendah dari penyerapan Bulog pada semester sama tahun 2016 yang berjumlah 1,8 juta ton. Hal ini akan mengancam cadangan beras pemerintah (CBP) tahun 2017. Belum lagi ancaman serangan hama wereng yang cukup masif di Pantura Jawa sebagai sentra beras nasional. Jika pemerintah terlambat dalam mengantisipasi, maka akan semakin memperparah ancaman penurunan produksi beras nasional 2017 dan memupus tujuan akhir dari kebijakan perberasan, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani dan membangun kemandirian pangan nasional. *
(thm)