Dinamika Politik Larangan Cantrang
A
A
A
Muhamad Karim
Dosen Universitas Trilogi Jakarta, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
DEMO Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) yang meminta pemerintah melegalkan alat tangkap cantrang patut dicermati secara objektif (KORAN SINDO ,11/07/2017). Pasalnya, demo ini berlangsung kala isu reshuffle kabinet mencuat. Padahal, proses penggantian alat cantrang masih dalam proses.
Wajar jika demo ini ada dugaan bermuatan politik. Polemik kebijakan pelarangan cantrang lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) Nomor 2/2015 hingga kini belum juga usai, meski Presiden Jokowi telah meminta Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) berhenti mengurusinya.
Pasalnya, ada pihak yang merasa dirugikan khususnya pemilik kapal berukuran lebih dari 30 GT dan segelintir nelayan yang mengoperasikannya. Masalahnya, apakah benar seluruh nelayan Indonesia merasa dirugikan akibat kebijakan ini? Ini penting karena soal cantrang telah melebar ke isu politik praktis dan tidak jelas juntrungannya.
Apa betul pelarangan cantrang telah menyumbang kemiskinan dan ketimpangan hingga mengganggu ketahanan nasional? Betulkah seluruh nelayan Indonesia ini tidak bisa lagi melaut akibat larangan cantrang ? Ironisnya lagi, ada yang mensinyalir kebijakan ini memiskinkan nelayan Indonesia hingga 15 juta jiwa.
Nelayan mana itu? Padahal jumlah nelayan di Indonesia sekitar 2,17 juta jiwa. Jumlah orang miskin di Indonesia sekitar 28,01 juta (BPS, 2016). Berarti sekitar 54% orang miskin di Indonesia adalah nelayan. Ini terlalu berlebihan, sebab jumlah nelayan hanya 2,17 juta.
Membebaskan Nelayan
Secara historis, pengoperasian cantrang di Indonesia tak luput dari kebijakan modernisasi perikanan (revolusi biru) 1970-an yang sekaligus melegalkan trawl. Legalisasi trawl ini tak hanya menghancurkan perikanan artisanal di pesisir Selat Malaka dan pantai utara Jawa melainkan juga memicu konflik sosial akibat perebutan wilayah tangkap.
Memang dampak kebijakan ini pada masa itu produksi perikanan melonjak drastis. Namun, dua dekade selanjutnya, kedua wilayah itu mengalami tangkap lebih (over-exploitation ). Tiga dekade berikut, Bagan Siapi-api yang jadi sentral perikanan nasional terbesar se-Indonesia dan se-Asia Tenggara kala itu jadi korbannya.
Dia berubah jadi kota mati dari aktivitas bongkar-muat perikanan. Apakah membiarkan cantrang beroperasi, kita bakal mengorbankan daerah lain senasib Bagan Siapi-api? Masa itu, menyikapi dampak tangkap lebih dan konflik sosial, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39/1980 yang melarang trawl beroperasi di perairan Indonesia, terkecuali Laut Arafura.
Kebijakan ini nyaris tidak pernah direvisi hingga 2014. Baru tahun 2015, MenKP Susi Pudjiastuti melarang sepenuhnya pengoperasian pukat hela (trawl ) dan pukat tarik termasuk cantrang di perairan Indonesia. Namun, kebijakan ini menimbulkan protes berbagai pihak dengan dalih memiskinkan nelayan, menciptakan pengangguran, dan mematikan industri perikanan. Apakah protes ini disuarakan seluruh nelayan Indonesia? Atau hanya segelintir nelayan dan organisasi tertentu yang mendompleng nelayan.
Pertanyaannya, apakah nelayan yang mengoperasikan cantrang selama ini kesejahteraannya kian membaik? Bukankah kebijakan melarang cantrang justru berupaya memperbaiki kesejahteraan nelayan karena sumber daya ikan terjamin kelestariannya dan kian melimpah? Sebab, buruh nelayan yang bekerja di kapal cantrang belum tentu kesejahteraan terjamin. Pasalnya, pola bagi hasil dalam penangkapan ikan bergantung jenis alat tangkapnya tanpa mempertimbangkan umur ekonomisnya. Imbasnya, makin lama alat tangkap beroperasi, pendapatan buruh nelayan kian merosot.
Apakah bagi hasil antara pemilik kapal cantrang dan buruh nelayan sudah menciptakan keadilan dan pemerataan secara ekonomi hingga membebaskan mereka dari kemiskinan struktural? Jika tidak, berarti kemiskinan buruh nelayan yang diungkap selama ini hanyalah lip service .
Jangan sampai fakta sesungguhnya, buruh nelayan kapal cantrang malah terjerat utang dan berada dalam kemiskinan akibat pendapatan dari bagi hasil yang tidak adil. Apalagi buruh nelayan yang mengoperasikan 15-16 orang. Argumentasi kebijakan ini memiskinkan nelayan dan buruh nelayan patut dipertanyakan. Bukankah, kebijakan KKP yang hendak menyalurkan bantuan kapal baru lewat koperasi jadi solusi strategis untuk membebaskan nelayan dari ketergantungan, kemiskinan struktural dan penindasan.
Dampak Cantrang
Beroperasinya cantrang di perairan Indonesia akan berdampak bagi sumber daya ikan dan nelayan. Pertama, upaya penangkapan ikan (catch per unit effort/CPUE) cantrang sejak tahun 2004-2007 mengalami penurunan dari 8,66 (2014) ton menjadi 4,84 ton (2007). Artinya, cantrang telah menurunkan sumber daya ikan di pantai utara Jawa.
Serupa penelitian Cahyani (2013)di perairan Demak menemukan ikan demersal yang ditangkap kapal cantrang berbobot 5-10 GT memiliki fekunditasnya rendah, ukurannya kecil dan didominasi jenis ikan petek (Leiognathus sp), layur (Trichiurus sp), tigawaja (Scianidae sp), kuniran (Upeneus sp) dan swanggi (Priacanthus sp).
Tingkat kematangan gonadnya (TKG) pun bervariasi yaitu ikan petek (TKG III), ikan layur dan ikan tigawaja (TKG IV), serta ikan kuniran dan swanggi (TKG I). MaximumSustainable Yield (MSY)-nya pun mencapai 854,07 ton per tahun dengan upaya tangkap optimum 831 unit cantrang. Ditambah tingkat pemanfaatannya bahkan telah mengalami tangkap lebih (80,47%). Artinya,membiarkan cantrang beroperasi justru mengakibatkan ukuran ikan makin kecil dan menghambat proses regenerasinya hingga mengganggu keberlanjutan ekosistemnya?
Kedua, cantrang memiliki hasil tangkapan sampingan (by-catch ) tinggi. Dua faktanya yaitu (i) penelitian IPB (2009) menemukan hasil tangkapan cantrang di Brondong memperoleh ikan target 51% (9 spesies) dan sampingan 49% (16 spesies); (ii) penelitian UNDIP (2008) menemukan hasilnya tangkapan target 46 % dan sampingan 54% (21 spesies yang didominasi petek).
Akibatnya, hasil tangkapan yang bernilai ekonomis hanya 18-40% (trawl dan cantrang) dan dapat dikonsumsi. Sementara, tangkapan sampingannya (by-catch ) mencapai 60-82% dan tidak dimanfaatkan (discard ) alias dibuang ke laut dalam keadaan mati (KKP, 2017).
Ketiga , konflik horizontal akibat perebutan wilayah tangkap antara kapal cantrang dan nelayan non cantrang akibat yang melanggar jalur penangkapan (4-12 mil) kerap terjadi. Di antaranya, pantai utara Jawa di Lamongan (1995), Cilincing (10 Juli 2014), Probolinggo (Juli 1995), dan Pasuruan (1995).
Di Pulau Sumatera di Nagan Raya (12 Desember 2012), Bagan Asahan (11 Desember 2011), Tanjung Balai Asahan (6 Januari 2012). Terakhir, di Kalimantan Timur tahun 2006 (KKP, 2017). Konflik ini kerap dibarengi tindakan kekerasan lewat pembakaran kapal trawl/cantrang.
Keempat, kapal cantrang yang beroperasi dan masuk kategori markdown telah menimbulkan kerugian negara akibat pemiliknya tidak membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan menggunakan BBM subsidi yang semestinya buat nelayan tradisional. Perkiraan kerugian negara: (i) kehilangan PNBP senilai Rp328,41 miliar (2015) dan Rp550,70 miliar (2016); (ii) penyalahgunaan subsidi BBM sebesar Rp280,09 miliar (2015) dan Rp351,04 miliar (2016); (iii) deplesi stok sumber daya ikan sebesar Rp9,84 triliun (2015) dan Rp12,27 triliun (2016).
Hingga, total kerugian negara diperkirakan senilai Rp10,44 triliun (2015) dan Rp13,17 triliun (2016) akibat hasil tangkapan tidak selektif. (KKP, 2017). Pendek kata, pengoperasian cantrang merupakan bagian illegal, unreported and unregulated Fishing (IUUF) di perairan Indonesia. Bennet et al (2015) menyebutnya sebagai perampasan sumber daya dan ruang laut (ocean grabbing ).
Kelima, pengoperasian kapal cantrang (modifikasi trawl ) merusak ekosistem perairan karena mengeruk dasar laut dan pesisir termasuk terumbu karang, serta merusak daerah pemijahan biota laut. Norse (1993) dalam Dahuri (2003) berpendapat, pengoperasian trawl (lebar mulut pukat 20 m) selama satu jam dan ditarik dengan kecepatan 5 km per jam bakal merusak dasar laut seluas 2 km2.
Pilskaln, et al (1998) juga menemukan dampaknya di Teluk Maine bahwa akibat pengoperasian trawl mengakibatkan perubahan penyediaan nutrien di dasar laut. Dampaknya yaitu terjadi ketidakseimbangan nutrien sehingga mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton yang jadi sumber makanan ikan. Makanya, pelarangan cantrang yang merupakan modifikasi trawl (Dahuri, 2003), bakal menjamin kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairan serta keberlanjutan metabolisme alam.
Langkah Strategis
Supaya kebijakan cantrang ini tidak jadi polemik berkepanjangan pemerintah mesti mengambil langkah strategis: pertama, memastikan penggantian alat tangkap cantrang ke jenis ramah lingkungan tepat sasaran. Kedua, memetakan jumlah nelayan yang mengoperasikan cantrang dan membutuhkan penggantiannya serta buruh nelayan yang bekerja di kapal cantrang.
Juga, mengadvokasi oknum penunggang nelayan, dan memanipulasi fakta sesungguhnya sehingga berubah jadi komoditas politik. Ketiga, menghitung komposisi pendapatan pola bagi hasil antara pemilik kapal (juragan) dengan buruh nelayan yang mengoperasikan kapal cantrang berukuran >30 GT. Apakah menyejahterakan nelayan dan buruh nelayan atau malah sebaliknya?
Keempat, memberi pemahaman dan pembelajaran kepada publik soal dampak buruk cantrang lewat media massa dan media sosial hingga pendekatan budaya (wayang). Kelima , melakukan kajian komprehensif tentang dampak penggunaan cantrang secara ekonomi, ekologi dan sosial yang melibatkan akademisi independen di lokasi yang merepresentasikan nelayan yang mendukung dan menolak pelarangannya.
Lewat langkah ini, publik akan memahami urgensi kebijakan ini secara obyektif untuk menjamin keberlanjutan sumber daya ikan, ekosistemnya hingga mewujudkan kesejahteraan nelayan tradisional dan buruh nelayan.
Dosen Universitas Trilogi Jakarta, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
DEMO Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) yang meminta pemerintah melegalkan alat tangkap cantrang patut dicermati secara objektif (KORAN SINDO ,11/07/2017). Pasalnya, demo ini berlangsung kala isu reshuffle kabinet mencuat. Padahal, proses penggantian alat cantrang masih dalam proses.
Wajar jika demo ini ada dugaan bermuatan politik. Polemik kebijakan pelarangan cantrang lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) Nomor 2/2015 hingga kini belum juga usai, meski Presiden Jokowi telah meminta Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) berhenti mengurusinya.
Pasalnya, ada pihak yang merasa dirugikan khususnya pemilik kapal berukuran lebih dari 30 GT dan segelintir nelayan yang mengoperasikannya. Masalahnya, apakah benar seluruh nelayan Indonesia merasa dirugikan akibat kebijakan ini? Ini penting karena soal cantrang telah melebar ke isu politik praktis dan tidak jelas juntrungannya.
Apa betul pelarangan cantrang telah menyumbang kemiskinan dan ketimpangan hingga mengganggu ketahanan nasional? Betulkah seluruh nelayan Indonesia ini tidak bisa lagi melaut akibat larangan cantrang ? Ironisnya lagi, ada yang mensinyalir kebijakan ini memiskinkan nelayan Indonesia hingga 15 juta jiwa.
Nelayan mana itu? Padahal jumlah nelayan di Indonesia sekitar 2,17 juta jiwa. Jumlah orang miskin di Indonesia sekitar 28,01 juta (BPS, 2016). Berarti sekitar 54% orang miskin di Indonesia adalah nelayan. Ini terlalu berlebihan, sebab jumlah nelayan hanya 2,17 juta.
Membebaskan Nelayan
Secara historis, pengoperasian cantrang di Indonesia tak luput dari kebijakan modernisasi perikanan (revolusi biru) 1970-an yang sekaligus melegalkan trawl. Legalisasi trawl ini tak hanya menghancurkan perikanan artisanal di pesisir Selat Malaka dan pantai utara Jawa melainkan juga memicu konflik sosial akibat perebutan wilayah tangkap.
Memang dampak kebijakan ini pada masa itu produksi perikanan melonjak drastis. Namun, dua dekade selanjutnya, kedua wilayah itu mengalami tangkap lebih (over-exploitation ). Tiga dekade berikut, Bagan Siapi-api yang jadi sentral perikanan nasional terbesar se-Indonesia dan se-Asia Tenggara kala itu jadi korbannya.
Dia berubah jadi kota mati dari aktivitas bongkar-muat perikanan. Apakah membiarkan cantrang beroperasi, kita bakal mengorbankan daerah lain senasib Bagan Siapi-api? Masa itu, menyikapi dampak tangkap lebih dan konflik sosial, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39/1980 yang melarang trawl beroperasi di perairan Indonesia, terkecuali Laut Arafura.
Kebijakan ini nyaris tidak pernah direvisi hingga 2014. Baru tahun 2015, MenKP Susi Pudjiastuti melarang sepenuhnya pengoperasian pukat hela (trawl ) dan pukat tarik termasuk cantrang di perairan Indonesia. Namun, kebijakan ini menimbulkan protes berbagai pihak dengan dalih memiskinkan nelayan, menciptakan pengangguran, dan mematikan industri perikanan. Apakah protes ini disuarakan seluruh nelayan Indonesia? Atau hanya segelintir nelayan dan organisasi tertentu yang mendompleng nelayan.
Pertanyaannya, apakah nelayan yang mengoperasikan cantrang selama ini kesejahteraannya kian membaik? Bukankah kebijakan melarang cantrang justru berupaya memperbaiki kesejahteraan nelayan karena sumber daya ikan terjamin kelestariannya dan kian melimpah? Sebab, buruh nelayan yang bekerja di kapal cantrang belum tentu kesejahteraan terjamin. Pasalnya, pola bagi hasil dalam penangkapan ikan bergantung jenis alat tangkapnya tanpa mempertimbangkan umur ekonomisnya. Imbasnya, makin lama alat tangkap beroperasi, pendapatan buruh nelayan kian merosot.
Apakah bagi hasil antara pemilik kapal cantrang dan buruh nelayan sudah menciptakan keadilan dan pemerataan secara ekonomi hingga membebaskan mereka dari kemiskinan struktural? Jika tidak, berarti kemiskinan buruh nelayan yang diungkap selama ini hanyalah lip service .
Jangan sampai fakta sesungguhnya, buruh nelayan kapal cantrang malah terjerat utang dan berada dalam kemiskinan akibat pendapatan dari bagi hasil yang tidak adil. Apalagi buruh nelayan yang mengoperasikan 15-16 orang. Argumentasi kebijakan ini memiskinkan nelayan dan buruh nelayan patut dipertanyakan. Bukankah, kebijakan KKP yang hendak menyalurkan bantuan kapal baru lewat koperasi jadi solusi strategis untuk membebaskan nelayan dari ketergantungan, kemiskinan struktural dan penindasan.
Dampak Cantrang
Beroperasinya cantrang di perairan Indonesia akan berdampak bagi sumber daya ikan dan nelayan. Pertama, upaya penangkapan ikan (catch per unit effort/CPUE) cantrang sejak tahun 2004-2007 mengalami penurunan dari 8,66 (2014) ton menjadi 4,84 ton (2007). Artinya, cantrang telah menurunkan sumber daya ikan di pantai utara Jawa.
Serupa penelitian Cahyani (2013)di perairan Demak menemukan ikan demersal yang ditangkap kapal cantrang berbobot 5-10 GT memiliki fekunditasnya rendah, ukurannya kecil dan didominasi jenis ikan petek (Leiognathus sp), layur (Trichiurus sp), tigawaja (Scianidae sp), kuniran (Upeneus sp) dan swanggi (Priacanthus sp).
Tingkat kematangan gonadnya (TKG) pun bervariasi yaitu ikan petek (TKG III), ikan layur dan ikan tigawaja (TKG IV), serta ikan kuniran dan swanggi (TKG I). MaximumSustainable Yield (MSY)-nya pun mencapai 854,07 ton per tahun dengan upaya tangkap optimum 831 unit cantrang. Ditambah tingkat pemanfaatannya bahkan telah mengalami tangkap lebih (80,47%). Artinya,membiarkan cantrang beroperasi justru mengakibatkan ukuran ikan makin kecil dan menghambat proses regenerasinya hingga mengganggu keberlanjutan ekosistemnya?
Kedua, cantrang memiliki hasil tangkapan sampingan (by-catch ) tinggi. Dua faktanya yaitu (i) penelitian IPB (2009) menemukan hasil tangkapan cantrang di Brondong memperoleh ikan target 51% (9 spesies) dan sampingan 49% (16 spesies); (ii) penelitian UNDIP (2008) menemukan hasilnya tangkapan target 46 % dan sampingan 54% (21 spesies yang didominasi petek).
Akibatnya, hasil tangkapan yang bernilai ekonomis hanya 18-40% (trawl dan cantrang) dan dapat dikonsumsi. Sementara, tangkapan sampingannya (by-catch ) mencapai 60-82% dan tidak dimanfaatkan (discard ) alias dibuang ke laut dalam keadaan mati (KKP, 2017).
Ketiga , konflik horizontal akibat perebutan wilayah tangkap antara kapal cantrang dan nelayan non cantrang akibat yang melanggar jalur penangkapan (4-12 mil) kerap terjadi. Di antaranya, pantai utara Jawa di Lamongan (1995), Cilincing (10 Juli 2014), Probolinggo (Juli 1995), dan Pasuruan (1995).
Di Pulau Sumatera di Nagan Raya (12 Desember 2012), Bagan Asahan (11 Desember 2011), Tanjung Balai Asahan (6 Januari 2012). Terakhir, di Kalimantan Timur tahun 2006 (KKP, 2017). Konflik ini kerap dibarengi tindakan kekerasan lewat pembakaran kapal trawl/cantrang.
Keempat, kapal cantrang yang beroperasi dan masuk kategori markdown telah menimbulkan kerugian negara akibat pemiliknya tidak membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan menggunakan BBM subsidi yang semestinya buat nelayan tradisional. Perkiraan kerugian negara: (i) kehilangan PNBP senilai Rp328,41 miliar (2015) dan Rp550,70 miliar (2016); (ii) penyalahgunaan subsidi BBM sebesar Rp280,09 miliar (2015) dan Rp351,04 miliar (2016); (iii) deplesi stok sumber daya ikan sebesar Rp9,84 triliun (2015) dan Rp12,27 triliun (2016).
Hingga, total kerugian negara diperkirakan senilai Rp10,44 triliun (2015) dan Rp13,17 triliun (2016) akibat hasil tangkapan tidak selektif. (KKP, 2017). Pendek kata, pengoperasian cantrang merupakan bagian illegal, unreported and unregulated Fishing (IUUF) di perairan Indonesia. Bennet et al (2015) menyebutnya sebagai perampasan sumber daya dan ruang laut (ocean grabbing ).
Kelima, pengoperasian kapal cantrang (modifikasi trawl ) merusak ekosistem perairan karena mengeruk dasar laut dan pesisir termasuk terumbu karang, serta merusak daerah pemijahan biota laut. Norse (1993) dalam Dahuri (2003) berpendapat, pengoperasian trawl (lebar mulut pukat 20 m) selama satu jam dan ditarik dengan kecepatan 5 km per jam bakal merusak dasar laut seluas 2 km2.
Pilskaln, et al (1998) juga menemukan dampaknya di Teluk Maine bahwa akibat pengoperasian trawl mengakibatkan perubahan penyediaan nutrien di dasar laut. Dampaknya yaitu terjadi ketidakseimbangan nutrien sehingga mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton yang jadi sumber makanan ikan. Makanya, pelarangan cantrang yang merupakan modifikasi trawl (Dahuri, 2003), bakal menjamin kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairan serta keberlanjutan metabolisme alam.
Langkah Strategis
Supaya kebijakan cantrang ini tidak jadi polemik berkepanjangan pemerintah mesti mengambil langkah strategis: pertama, memastikan penggantian alat tangkap cantrang ke jenis ramah lingkungan tepat sasaran. Kedua, memetakan jumlah nelayan yang mengoperasikan cantrang dan membutuhkan penggantiannya serta buruh nelayan yang bekerja di kapal cantrang.
Juga, mengadvokasi oknum penunggang nelayan, dan memanipulasi fakta sesungguhnya sehingga berubah jadi komoditas politik. Ketiga, menghitung komposisi pendapatan pola bagi hasil antara pemilik kapal (juragan) dengan buruh nelayan yang mengoperasikan kapal cantrang berukuran >30 GT. Apakah menyejahterakan nelayan dan buruh nelayan atau malah sebaliknya?
Keempat, memberi pemahaman dan pembelajaran kepada publik soal dampak buruk cantrang lewat media massa dan media sosial hingga pendekatan budaya (wayang). Kelima , melakukan kajian komprehensif tentang dampak penggunaan cantrang secara ekonomi, ekologi dan sosial yang melibatkan akademisi independen di lokasi yang merepresentasikan nelayan yang mendukung dan menolak pelarangannya.
Lewat langkah ini, publik akan memahami urgensi kebijakan ini secara obyektif untuk menjamin keberlanjutan sumber daya ikan, ekosistemnya hingga mewujudkan kesejahteraan nelayan tradisional dan buruh nelayan.
(maf)