Masalah Beras dan Diversifikasi

Sabtu, 22 Juli 2017 - 09:48 WIB
Masalah Beras dan Diversifikasi
Masalah Beras dan Diversifikasi
A A A
Berita penggerebekan gudang beras PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, Jawa Barat pada Kamis (20/7) malam oleh Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri membuka mata kita kembali akan masalah perberasan yang menyengsarakan rakyat.

Perusahaan tersebut diduga membeli beras di level petani dengan harga sangat tinggi sehingga mematikan pengusaha lainnya. Di titik ini mungkin masih banyak yang heran. Namun, ketika penjelasan lebih lanjut mengatakan bahwa beras-beras yang masuk level subsidi pemerintah tersebut dioplos dengan beras premium dan dijual dengan harga premium, maka tak ayal situasi ini membuat publik geram.

Pasokan beras subsidi tentu jadi terhambat karena sumbernya digerogoti dan justru dijual dengan harga premium. Tentu apresiasi harus dialamatkan pada Polri dan Kementerian Pertanian yang bisa membongkar masalah yang sangat merugikan ini. Mafia perberasan yang berkontribusi dalam ketidakstabilan harga dan pasokan beras memang harus diberantas.

Namun, tentu kita juga harus melihat lebih jauh lagi dalam masalah perberasan ini. Dalam mengamankan pasokan beras, kita tentu bukan hanya menambah produksi, namun kalau bisa kita mengurangi konsumsi. Salah satu cara yang terbaik adalah dengan langkah diversifikasi pangan. Diversifikasi jelas menjadi jalan keluar bagi masalah pangan ini. Intensifikasi juga menjadi alat (tools) untuk mencapai hasil maksimal yang juga harus dilakukan.

Selama ini beras menjadi variabel tak tergantikan dalam perkembangan bagi bangsa ini. Untuk mengubah pola ini tentu pemerintah harus bekerja keras. Masalah konsumsi beras ini tak hanya pada tataran teknis saja, namun masuk ke ranah persepsi dan pola pikir masyarakat. Merupakan pola yang umum ketika mayoritas orang Indonesia yang belum makan nasi akan mengungkapkan dia belum makan sekalipun sudah memakan bahan makanan lainnya.

Bahkan pola ini juga sudah diadopsi penduduk Indonesia dari kawasan Indonesia timur seperti Maluku dan Papua. Dulu sagu merupakan bahan pangan utama, namun derasnya pengaruh beras dalam mengubah pola makan mereka akhirnya membuat mereka ikut mengonsumsi beras sebagai bahan pangan utama. Bahkan sagu hanya menjadi makanan tradisional yang sudah mulai terlupakan.

Tak ayal konsumsi beras per kapita Indonesia mencapai kisaran 100 kg/kapita/tahun karena data dari berbagai instansi berbeda-beda. Andaikan kita melakukan hitung-hitungan kasar dengan jumlah populasi Indonesia yang ada pada sekitar angka 240 juta maka kita akan mencapai penghematan beras sebanyak 2,4 juta ton beras per tahun jika kita mengurangi konsumsi beras mencapai 10 kg/kapita/tahun. Angka tersebut jauh melebihi nilai impor beras Indonesia pada 2016 lalu yang mencapai 1,2 juta ton.

Memang melakukan diversifikasi ini juga berarti mengubah budaya. Pemerintah pasti akan menemui hambatan besar untuk menggolkan program ini. Potensi tak perlu diragukan lagi. Ada beberapa bahan pangan yang tingkat konsumsinya masih rendah. Kita punya sumber pangan seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, dan sagu yang bisa dijadikan sumber pangan sekunder.

Dengan lancarnya diversifikasi juga intensifikasi pertanian masyarakat adalah kelompok yang akan merasakan keuntungan secara langsung. Namun bukan berarti pemerintah juga tidak untung. Setidaknya jika pemerintah bisa panen raya tahun depan tanpa ketakutan impor ekspor tentu akan jadi modal politis di hadapan petani dan rakyat kecil juga sebaliknya. Selain diversifikasi dan intensifikasi, maka ekstensifikasi harus serius dilirik oleh pemerintah.

Kementerian Pertanian punya program cetak sawah yang harus serius digarap. Tentunya dengan juga mempertimbangkan aspek lingkungan. Program ini dengan teknologi yang baik bisa dikembangkan untuk daerah-daerah yang selama ini dianggap daerah kering dan tidak cocok untuk ditanami. Untuk masalah ini harusnya pemerintah mulai memanfaatkan lahan-lahan yang selama ini tidak dilirik. Sudah saatnya kita sebagai negara agraris benar-benar bisa berdaulat di sektor pangan.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9459 seconds (0.1#10.140)