Mendorong Investasi Pariwisata
A
A
A
Dony Oskaria
Ketua Pokja Pariwisata Nasional Komite Ekonomi
dan Industri Nasional (KEIN) RI
dan Komisaris Garuda Indonesia
PADA Januari-Mei 2017, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia tercatat menembus 5,36 juta alias melejit dibanding dengan periode sama tahun sebelumnya 4,43 juta kunjungan. Pertumbuhan tersebut mencapai 20,85% atau empat kali lipat lebih dibandingkan pertumbuhan PDB Indonesia yang hanya ada di level 5,01-5,20%. Bahkan, Kementerian Pariwisata memperkirakan pariwisata menyumbang devisa USD13-14 miliar dari sekitar 11,5 juta kunjungan wisman tahun lalu serta memberikan kontribusi terhadap PDB nasional sekitar 11,5%.
Dengan torehan demikian, pariwisata sejatinya semakin mendekati perolehan devisa dari sektor migas sekitar USD18 miliar. Sektor migas yang semula kontribusinya menjadi andalan utama terhadap PDB RI ternyata terus turun, bahkan menjadi di bawah 15%. Dengan harapan, pada tahun 2019 sumbangan sektor pariwisata ditargetkan meningkat sampai menembus 15% kontribusi terhadap PDB alias menjadi kontributor terbesar seiring meningkatnya wisman maupun wisatawan Nusantara (wisnus).
Dari target jumlah kunjungan wisman 20 juta, devisa yang dihasilkan akan berkisar sekitar USD24 miliar. Sedangkan target pergerakan wisnus diproyeksikan meningkat pula menjadi 275 juta dari tahun lalu yang hanya sekitar 260 juta. Efek langsung lainnya adalah penyerapan tenaga kerja akan ditargetkan bertambah dari tahun lalu sekitar 11,7 juta menjadi 12,6 juta. Tidak bisa tidak, gambaran proyektif tersebut bukan pekerjaan mudah. Karena itu, tentu pemerintah bersama seluruh komponen bangsa harus benarbenar fokus melakukan berbagai cara menggenjot pembangunan pariwisata secara komprehensif, bukan sekadar kebijakan-kebijakan reaktif dan sesaat.
Terlepas dari rencana dan semua usaha yang telah dilakukan pemerintah dan institusi terkait, semua target yang telah ditetapkan tidak bisa tidak harus lebih banyak melibatkan pihak swasta. Pemerintah tidak semestinya berjuang sendiri karena sektor pariwisata adalah sektor yang melibatkan banyak stakeholder dengan angka incaran juga tidak sedikit. Oleh karena itu, investasi swasta bidang pariwisata adalah mesin penggerak yang harus digandeng secara strategis pula oleh pemerintah.
***
Berbicara investasi pariwisata memang susah-susah gampang. Pasalnya, investasi pariwisata terikat dengan kondisi dan situasi investasi pada umumnya. Geliat investasi nasional menjadi salah satu indikator, apakah investasi pariwisata juga bisa digenjot atau tidak. Sepanjang pengamatan saya, beberapa kendala utama masih sama dengan yang dulu-dulu.
Pertama, kurangnya konektivitas, pelayanan dasar, dan infrastruktur untuk melayani wisatawan. Bagaimanapun ketiga persoalan ini adalah persoalan investasi nasional secara keseluruhan. Jika konektivitas jauh dari cukup, maka akan sangat sulit menarik para investor ikut membangun dan mengembangkan berbagai model bisnis pariwisata di suatu destinasi. Hampir pasti destinasi yang kurang didukung konektivitas juga kurang dihujani pengunjung. Itu akan menjadi persoalan tersendiri di mata para investor.
Kedua, kompleksitas dan ketidakpastian investasi atau buruknya iklim bisnis. Lemahnya law enforcement, banyaknya pungli, lamanya pengurusan izin, aturan lokal yang cenderung diskriminatif, dan sikap-sikap arogan pemerintah daerah, juga menjadi kendala sampai hari ini dikeluhkan banyak pengusaha pariwisata.
Akibatnya banyak kebijakan pusat kurang terdeliver dengan baik di tingkat daerah, baik karena perbedaan visi dan misi maupun karena lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah. Bahkan, untuk daerah-daerah yang telah ditetapkan sebagai sepuluh daerah atau destinasi utama maupun kawasan ekonomi khusus dan lain-lain, kondisi yang demikian masih sering ditemui di lapangan.
Ketiga, masalah kebersihan dan kesehatan (hygiene and sanitation) di lokasi destinasi. Keempat, ancaman terjadinya bencana alam mengakibatkan ditutupnya pintu masuk ke Indonesia. Kelima, kurangnya penerbangan langsung dari target pasar ke destinasi wisata.
Selanjutnya kurang baiknya amenitas di destinasi wisata, misalnya ketiadaan kamar kecil, jauhnya jarak antarobjek wisata, kurangnya pemandu wisata berbahasa asing khususnya selain bahasa Inggris, jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pariwisata yang belum merata di seluruh provinsi di Indonesia, kualitas pendidikan tinggi untuk bidang pariwisata yang kurang diupayakan setara dengan kualifikasi internasional pada akhirnya menyebabkan terbatasnya tenaga kerja terampil dengan standar kualitas perusahaan, serta masih banyak lagi.
***
Dari semua masalah pariwisata yang ada, tak kalah penting adalah komitmen dan jaminan kepastian hukum dari pemerintah, terutama dari BKPM dan dari pemerintah daerah, provinsi dan daerah tingkat dua, bagi kelangsungan usaha dan kegiatan operasional yang dibangun investor, lokal maupun asing di bidang pariwisata. Sebut saja misalnya jika targetnya adalah wisman, maka tidak bisa dimungkiri akan lahir persoalan gap budaya.
Rata-rata para wisatawan asing gemar minum-minuman beralkohol yang sudah barang tentu banyak bertentangan dengan local belief. Hal ini sangat terkait dengan bidang usaha restoran, bar, kafe, hotel, dan motel. Akibatnya peluang bisnis pariwisata lanjutannya jadi terhambat karena diperkirakan di lokasi destinasi tidak ramah terhadap budaya pengunjung yang berbeda gaya hidup. Bahkan, konon saat ini RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol telah masuk sebagai salah satu dari 49 rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.
Pertanyaan isengnya misal, bagaimana apabila tempat usaha investor asing seperti hotel didemo orang-orang tidak bertanggung jawab karena adanya minuman beralkohol? Tentu diperlukan komitmen pemerintah melalui BKPM sebagai tempat mengadu bagi investor asing yang mendapati kesulitan dalam kegiatan investasinya. Artinya, BKPM maupun pemerintah daerah harus bisa menjadi jembatan sinkronisasi antarinstansi dan kementerian terkait untuk mengatasi hal-hal semacam itu.
Kemudian masalah mempromosikan peluang investasi bagi sektor pariwisata yang tidak hanya bertujuan menarik investasi asing. Dengan kata lain, pemerintah juga sangat diharapkan memiliki peran besar dalam kegiatan promosi pariwisata Indonesia dengan tujuan mendatangkan sebanyak-banyaknya pengunjung pariwisata dari luar negeri. Pemerintah harus memberlakukan sistem sinkronisasi antara peraturan pemerintah pusat dengan peraturan pemerintah daerah. Bahkan pemerintah bisa membuat sebuah kantor pusat informasi turis, lengkap dengan peta, info transportasi lokal, dan cerita singkat di setiap destinasi wisata serta sejenisnya.
Jadi saya kira, kelangsungan investasi dan jaminan berusaha bagi investor pariwisata di Indonesia patut dipertegas kepastian hukumnya. Pengawalan BKPM untuk investor asing tidak hanya pada saat awal pendirian PT PMA saja, tetapi juga menjadi tempat mengadu apabila investor asing mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha dan kegiatan operasionalnya di Indonesia. Dengan begitu, peningkatan investasi asing di sektor pariwisata Indonesia bisa dikawal secara terukur dan efektif serta bisa dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari prestasi kinerja pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Ketua Pokja Pariwisata Nasional Komite Ekonomi
dan Industri Nasional (KEIN) RI
dan Komisaris Garuda Indonesia
PADA Januari-Mei 2017, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia tercatat menembus 5,36 juta alias melejit dibanding dengan periode sama tahun sebelumnya 4,43 juta kunjungan. Pertumbuhan tersebut mencapai 20,85% atau empat kali lipat lebih dibandingkan pertumbuhan PDB Indonesia yang hanya ada di level 5,01-5,20%. Bahkan, Kementerian Pariwisata memperkirakan pariwisata menyumbang devisa USD13-14 miliar dari sekitar 11,5 juta kunjungan wisman tahun lalu serta memberikan kontribusi terhadap PDB nasional sekitar 11,5%.
Dengan torehan demikian, pariwisata sejatinya semakin mendekati perolehan devisa dari sektor migas sekitar USD18 miliar. Sektor migas yang semula kontribusinya menjadi andalan utama terhadap PDB RI ternyata terus turun, bahkan menjadi di bawah 15%. Dengan harapan, pada tahun 2019 sumbangan sektor pariwisata ditargetkan meningkat sampai menembus 15% kontribusi terhadap PDB alias menjadi kontributor terbesar seiring meningkatnya wisman maupun wisatawan Nusantara (wisnus).
Dari target jumlah kunjungan wisman 20 juta, devisa yang dihasilkan akan berkisar sekitar USD24 miliar. Sedangkan target pergerakan wisnus diproyeksikan meningkat pula menjadi 275 juta dari tahun lalu yang hanya sekitar 260 juta. Efek langsung lainnya adalah penyerapan tenaga kerja akan ditargetkan bertambah dari tahun lalu sekitar 11,7 juta menjadi 12,6 juta. Tidak bisa tidak, gambaran proyektif tersebut bukan pekerjaan mudah. Karena itu, tentu pemerintah bersama seluruh komponen bangsa harus benarbenar fokus melakukan berbagai cara menggenjot pembangunan pariwisata secara komprehensif, bukan sekadar kebijakan-kebijakan reaktif dan sesaat.
Terlepas dari rencana dan semua usaha yang telah dilakukan pemerintah dan institusi terkait, semua target yang telah ditetapkan tidak bisa tidak harus lebih banyak melibatkan pihak swasta. Pemerintah tidak semestinya berjuang sendiri karena sektor pariwisata adalah sektor yang melibatkan banyak stakeholder dengan angka incaran juga tidak sedikit. Oleh karena itu, investasi swasta bidang pariwisata adalah mesin penggerak yang harus digandeng secara strategis pula oleh pemerintah.
***
Berbicara investasi pariwisata memang susah-susah gampang. Pasalnya, investasi pariwisata terikat dengan kondisi dan situasi investasi pada umumnya. Geliat investasi nasional menjadi salah satu indikator, apakah investasi pariwisata juga bisa digenjot atau tidak. Sepanjang pengamatan saya, beberapa kendala utama masih sama dengan yang dulu-dulu.
Pertama, kurangnya konektivitas, pelayanan dasar, dan infrastruktur untuk melayani wisatawan. Bagaimanapun ketiga persoalan ini adalah persoalan investasi nasional secara keseluruhan. Jika konektivitas jauh dari cukup, maka akan sangat sulit menarik para investor ikut membangun dan mengembangkan berbagai model bisnis pariwisata di suatu destinasi. Hampir pasti destinasi yang kurang didukung konektivitas juga kurang dihujani pengunjung. Itu akan menjadi persoalan tersendiri di mata para investor.
Kedua, kompleksitas dan ketidakpastian investasi atau buruknya iklim bisnis. Lemahnya law enforcement, banyaknya pungli, lamanya pengurusan izin, aturan lokal yang cenderung diskriminatif, dan sikap-sikap arogan pemerintah daerah, juga menjadi kendala sampai hari ini dikeluhkan banyak pengusaha pariwisata.
Akibatnya banyak kebijakan pusat kurang terdeliver dengan baik di tingkat daerah, baik karena perbedaan visi dan misi maupun karena lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah. Bahkan, untuk daerah-daerah yang telah ditetapkan sebagai sepuluh daerah atau destinasi utama maupun kawasan ekonomi khusus dan lain-lain, kondisi yang demikian masih sering ditemui di lapangan.
Ketiga, masalah kebersihan dan kesehatan (hygiene and sanitation) di lokasi destinasi. Keempat, ancaman terjadinya bencana alam mengakibatkan ditutupnya pintu masuk ke Indonesia. Kelima, kurangnya penerbangan langsung dari target pasar ke destinasi wisata.
Selanjutnya kurang baiknya amenitas di destinasi wisata, misalnya ketiadaan kamar kecil, jauhnya jarak antarobjek wisata, kurangnya pemandu wisata berbahasa asing khususnya selain bahasa Inggris, jumlah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pariwisata yang belum merata di seluruh provinsi di Indonesia, kualitas pendidikan tinggi untuk bidang pariwisata yang kurang diupayakan setara dengan kualifikasi internasional pada akhirnya menyebabkan terbatasnya tenaga kerja terampil dengan standar kualitas perusahaan, serta masih banyak lagi.
***
Dari semua masalah pariwisata yang ada, tak kalah penting adalah komitmen dan jaminan kepastian hukum dari pemerintah, terutama dari BKPM dan dari pemerintah daerah, provinsi dan daerah tingkat dua, bagi kelangsungan usaha dan kegiatan operasional yang dibangun investor, lokal maupun asing di bidang pariwisata. Sebut saja misalnya jika targetnya adalah wisman, maka tidak bisa dimungkiri akan lahir persoalan gap budaya.
Rata-rata para wisatawan asing gemar minum-minuman beralkohol yang sudah barang tentu banyak bertentangan dengan local belief. Hal ini sangat terkait dengan bidang usaha restoran, bar, kafe, hotel, dan motel. Akibatnya peluang bisnis pariwisata lanjutannya jadi terhambat karena diperkirakan di lokasi destinasi tidak ramah terhadap budaya pengunjung yang berbeda gaya hidup. Bahkan, konon saat ini RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol telah masuk sebagai salah satu dari 49 rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.
Pertanyaan isengnya misal, bagaimana apabila tempat usaha investor asing seperti hotel didemo orang-orang tidak bertanggung jawab karena adanya minuman beralkohol? Tentu diperlukan komitmen pemerintah melalui BKPM sebagai tempat mengadu bagi investor asing yang mendapati kesulitan dalam kegiatan investasinya. Artinya, BKPM maupun pemerintah daerah harus bisa menjadi jembatan sinkronisasi antarinstansi dan kementerian terkait untuk mengatasi hal-hal semacam itu.
Kemudian masalah mempromosikan peluang investasi bagi sektor pariwisata yang tidak hanya bertujuan menarik investasi asing. Dengan kata lain, pemerintah juga sangat diharapkan memiliki peran besar dalam kegiatan promosi pariwisata Indonesia dengan tujuan mendatangkan sebanyak-banyaknya pengunjung pariwisata dari luar negeri. Pemerintah harus memberlakukan sistem sinkronisasi antara peraturan pemerintah pusat dengan peraturan pemerintah daerah. Bahkan pemerintah bisa membuat sebuah kantor pusat informasi turis, lengkap dengan peta, info transportasi lokal, dan cerita singkat di setiap destinasi wisata serta sejenisnya.
Jadi saya kira, kelangsungan investasi dan jaminan berusaha bagi investor pariwisata di Indonesia patut dipertegas kepastian hukumnya. Pengawalan BKPM untuk investor asing tidak hanya pada saat awal pendirian PT PMA saja, tetapi juga menjadi tempat mengadu apabila investor asing mengalami kesulitan dalam menjalankan usaha dan kegiatan operasionalnya di Indonesia. Dengan begitu, peningkatan investasi asing di sektor pariwisata Indonesia bisa dikawal secara terukur dan efektif serta bisa dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari prestasi kinerja pemerintah, baik pusat maupun daerah.
(kri)