Ideologi Versus Kemakmuran

Kamis, 20 Juli 2017 - 08:22 WIB
Ideologi Versus Kemakmuran
Ideologi Versus Kemakmuran
A A A
Saharuddin Daming
Mantan Komisioner Komnas HAM/Dosen Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor

JIKA negara lain saat ini sedang berpacu membangun peradaban di segala bidang tanpa henti, pembangunan hukum dan demokrasi di Indonesia justru mengalami kemunduran. Betapa tidak, karena reformasi yang memakan tumbal pengorbanan sejumlah anak negeri, sukses melakukan desakralisasi secara bertahap berbagai berhala Orde Baru antara lain lahirnya UU Nomor 17/2013 menggantikan UU Nomor 8/1985 tentang Ormas. Sayangnya, karena upaya desakralisasi tersebut, kini terdistorsi oleh rangkaian produk hukum dan praktik demokrasi yang mereinkarnasi gaya peradaban orde baru.

Meski dibungkus dengan beragam argumen rasional pragmatis, kelahiran Perppu Nomor 2/2017 tentang Ormas sarat dengan aroma Orde Baru sebagai rezim yang sangat represif dan sentralistik. Karena mengidap hiperparanoid terhadap ancaman ideologi bangsa, Orde Baru melakukan sakralisasi terhadap Pancasila dan UUD 1945 dengan doktrin asas tunggal. Lahirlah UU Nomor 8/1985 tentang Ormas, dengan ancaman pembubaran bagi kekuatan politik apa pun yang menggunakan asas selain Pancasila.

Orde baru berkeyakinan bahwa merombak Pancasila ataupun UUD 1945 sama artinya dengan membubarkan negara. Keyakinan tersebut sangat kontras dengan fakta, karena UUD 1945 yang disakralkan Orde Baru sehingga haram untuk disentuh perubahan meski satu ayat sekalipun, kini telah berubah lebih dari 80%. Kenyataan membuktikan bahwa NKRI tetap kukuh berdiri tanpa sedikit pun ada indikasi pembubaran seperti yang dikhawatirkan oleh Orde Baru.

Untuk menjaga eksistensi keutuhan suatu bangsa atau negara, sebenarnya bukanlah diletakkan pada pemaksaan ideologi, melainkan ditentukan oleh kemampuan para pemimpinnya untuk menyuplai kemakmuran bagi rakyatnya. Amerika Serikat, Prancis, Inggris, dan sederet bangsa atau negara yang kini sukses merawat integritas dan capaian kemajuan yang sangat spektakuler, sama sekali bukan karena kekuatan ideologi yang dipaksakan. Bahkan, negara dan bangsa tersebut malah tak mempunyai ideologi seperti Pancasila.

Andai negara-negara tersebut tak mampu lagi menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, haqqul yaqin akan timbul gerakan separatisme untuk membentuk negara sendiri-sendiri. Ambil contoh imperium Romawi yang berjaya kurang lebih lima abad dengan wilayah kekuasaan mencakup semua daratan Eropa hingga sebagian Afrika dan Asia. Namun, semua hancur berantakan menjadi artifak sejarah hingga berdiri negara-negara Eropa modern saat ini, bukan karena penguasa Romawi melakukan pergantian ideologi, melainkan karena rezim gagal mempertahankan kemampuan untuk menyuplai kemakmuran bagi rakyat yang dibawahinya. Demikian pula Kesultanan Ustmaniah yang berhasil merebut Konstantinopel/Bizantium di bawah pimpinan Mohammad Alfatih yang menandakan bubarnya rezim Romawi Timur yang berjaya ±1000 tahun, juga bukan karena perubahan ideologi, melainkan semuanya bertumpu pada mampu tidaknya suatu rezim mengenyangkan perut rakyat.

Hal ini terbukti ketika Sultan Hamid II menduduki takhta singgasana Kesultanan Turki Ustmani, terjadi revolusi pergolakan rakyat pada 1923 dipimpin Mustafa Kemal Attaturk yang berhasil melakukan pergantian rezim melalui kudeta dengan dalih bahwa rezim Ustmaniah sangat korup dan tidak mampu lagi menyejahterakan rakyatnya. Kemal bersama rekan seperjuangannya sampai pada tudingan sangat ekstrem terhadap ideologi Islam yang dianut rezim Ustmaniah sebagai main trigger timbulnya keterpurukan kehidupan bangsa Turki. Kemal pun mengganti ideologi Islam menjadi ideologi sekuler lebih karena keyakinannya pada sekularisme yang diterapkan negara-negara Barat, sukses menciptakan kemakmuran bagi rakyat.

Anehnya, meski sekularisme yang diterapkan Turki lebih dari delapan dasawarsa, hingga sekarang Turki tak pernah menjadi negara maju seperti yang dicapai Barat. Bahkan justru dengan penerapan ideologi sekularisme, rakyat Turki didera berbagai persoalan kehidupan bangsa, termasuk ancaman disintegrasi dari kaum Kurdi. Itulah sebabnya Presiden Recep Tayyip Erdogan sebagai presiden Turki saat ini, bercita-cita ingin mengembalikan ideologi Islam menggantikan sekularisme yang terbukti gagal mewujudkan Turki sebagai negara maju seperti yang dicita-citakan Kemal Attaturk.

Dalam catatan sejarah politik di Polandia, Rumania, Bulgaria, Hungaria, dan sejumlah negara bekas blok Soviet, telah resmi mengganti/meninggalkan ideologi komunisme menjadi liberal kapitalis tak ada yang mengalami disintegrasi di tingkat nasional negara masing-masing. Hal itu terjadi karena perubahan ideologi pada negara tersebut justru menjadi momentum meningkatnya taraf kesejahteraan rakyat. Perhatikan saja rezim yang berkuasa di Vietnam dan Korea Utara saat ini yang masih kukuh dengan ideologi komunis, sebetulnya tinggal menunggu waktu dengan momentum pergolakan rakyat secara masif begitu isu kesejahteraan tak lagi dipenuhi.

Jika Uni Soviet, Yugoslavia, dan sejumlah negara yang mengalami perpecahan bukan karena penggantian ideologi, melainkan sejarah pendirian negara tersebut memang tidak luhur dan demokratis. Uni Soviet, misalnya, yang dibentuk sebagai imperium dengan 16 negara bagian oleh Vladimir Lenin melalui Revolusi Bolshevik pada 1917, ditempuh dengan kekuatan senjata yang merebut secara paksa 15 wilayah terdekat untuk digabung menjadi imperium Uni Soviet. Bahkan pada 20 Agustus 1968, Alexander Dubcek sebagai perdana menteri Cekoslovakia menjadi korban penumpasan ratusan ribu tentara merah yang diperintahkan pemimpin Soviet, lantaran Dubcek memproklamasikan diri sebagai antikomunis.

Sudah merupakan ideologi yang mapan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali semua yang datang dari Sang Khalik. Sepanjang dia merupakan hasil sentuhan insaniah seperti ideologi maupun konstitusi, semuanya terikat dengan kemapanan ruang dan waktu yang pasti akan berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Komunisme yang sangat didewakan oleh Lenin, Stallin dkk sebagai ideologi yang paling mapan menciptakan kemakmuran, semuanya hanyalah utopia seiring dengan terpuruknya peri kehidupan rakyat Uni Soviet yang berpuncak pada 1990-an. Itulah sebabnya Presiden Uni Soviet waktu itu, Mikhail Gorbachev, mengeluarkan paket kebijakan Glasnost dan perestroika sebagai solusi mengatasi ancaman kebangkrutan negara, maka masing-masing negara menggunakan momentum ini untuk memilih merdeka, karena tak ada lagi keuntungan apa pun bergabung dengan imperium Soviet.

Komunisme yang begitu diagung-agungkan oleh Mao Tze Tung dan para begundalnya perlahan-lahan ditinggalkan oleh penggantinya, Deng Xiao Ping, yang justru membangun tatanan ekonomi kapitalis Barat sukses mengantarkan Negeri Tirai Bambu tersebut menjadi raksasa ekonomi dunia yang mengalahkan Barat sendiri. Meski mengalami perubahan ideologi secara terbatas, RRC saat ini tetap utuh sebagai sebuah bangsa dan negara yang sangat kuat dan maju. Lagi-lagi keutuhan suatu bangsa tidak semata-mata karena faktor ideologi, tetapi yang terpenting adalah bagaimana perut rakyat dikenyangkan oleh pemimpinnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6951 seconds (0.1#10.140)