Gus Dur Jembatan Diplomasi RI-Tiongkok
A
A
A
Rahmat Hidayat Pulungan
Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
TIONGKOK sampai kuartal pertama 2017 memiliki cadangan devisa USD3,1 triliun, masih tercatat sebagai negara yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-9% per tahun sejak 1978 hingga 2017 (data World Bank). Bahkan di tengah krisis ekonomi yang melanda sebagian negara Eropa dan Amerika, Tiongkok berhasil mencatatkan pendapatan domestik bruto sebesar USD12 triliun pada 2016. Tahun ini, dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7%, Tiongkok mengejar PDB sebesar USD20 triliun.
Baru-baru ini Arab Saudi menandatangani kesepakatan investasi sebesar USD870 miliar dengan Tiongkok. Sementara investasi Tiongkok di Amerika, per tahun 2016, telah mencapai USD51,09 miliar. Prestasi gemilang ekonomi Tiongkok tersebut membuat negara Tirai Bambu itu menjadi salah satu primadona mitra strategis bagi berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Saudi. Indonesia, dengan PDB sebesar USD895 miliar dan jumlah penduduk sebanyak 257,6 juta (2015), juga berkepentingan menggandeng Tiongkok sebagai mitra strategis.
Belajar Bangkit dari Tiongkok
Kebangkitan ekonomi Tiongkok sebenarnya sudah diramalkan para futurolog Barat. Naisbitt dan Aburdene (1990) telah memprediksi kemunculan pasar bebas sosialisme yang berjalan bersama ledakan ekonomi global. Ramalan Naisbitt tentang tren masyarakat dunia untuk kembali pada semangat spiritualitas yang terjadi di paruh terakhir abad ke-20 dimanfaatkan Tiongkok untuk "memasarkan" tradisi konfusianisme, pengobatan tradisional, dan wisata kuliner. Hal itu ditopang dengan industri seni dan film Tiongkok yang berhasil menembus pasar Amerika. Tiga hal tersebut berhasil menjadikan Tiongkok sebagai negara eksotis dan diterima di berbagai negara. Di samping itu semangat reformasi ekonomi Deng Xiaoping (1978) yang dilanjutkan dengan berbagai kebijakan ekonomi terbuka terhadap dunia luar dan protektif sekaligus dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional Tiongkok menjadi faktor utama kebangkitan ekonomi Tiongkok.
Reformasi keterbukaan ekonomi yang digaungkan Deng Xiaoping berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi Tiongkok selama 30 tahun berturut-turut dengan rata-rata 8,5% sampai 9% per tahun. World Bank juga mencatat pertumbuhan sumber daya manusia Tiongkok yang meningkat 9 kali lipat pada 1978-2007. Hal itu berimbas pada peningkatan pendapatan per kapita tiap daerah di Tiongkok sebesar lima kali lipat.
Semangat kebangkitan ekonomi Tiongkok tersebut bisa diadopsi Indonesia dengan memanfaatkan tren populisme agama yang sedang terjadi di Indonesia. Kondisi geografis dan sosiologis masyarakat Indonesia yang multietnis dan budaya sejatinya bisa menjadi modal utama untuk meningkatkan kunjungan wisata ke berbagai daerah di Indonesia. Industri seni, musik, dan kuliner Nusantara juga merupakan potensi besar yang seharusnya bisa dimaksimalkan. Ditambah dengan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat dan sumber daya alam yang masih melimpah, Indonesia juga diprediksi akan menjadi negara dengan sumber kapital yang kuat.
Kondisi infrastruktur yang belum maksimal dan pendapatan negara yang terbilang minim, ditambah pemerataan ekonomi yang belum merata, menjadi kendala dalam agenda pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia. Sebelumnya, di masa Orde Baru, Indonesia mengatasi kendala keuangan tersebut dengan mengambil pinjaman dari IMF dan Bank Dunia. Namun saat ini IMF maupun Bank Dunia telah beberapa kali melahirkan krisis di berbagai negara.
Karena itu, mau tak mau, Indonesia berupaya menjalin kemitraan strategis dengan Tiongkok yang kini sedang berada di masa keemasan. Sayangnya upaya-upaya tersebut mengalami sejumlah kendala berupa resistensi dari sebagian masyarakat Indonesia yang terjebak pada cerita kelam tentang hubungan antaretnik yang ditanamkan pada era Orde Baru. Berbagai opini dan prasangka negatif terhadap Tiongkok maupun warga etnik Tionghoa belakangan ini semakin sering didengungkan pihak-pihak yang tak menghendaki peningkatan hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok. Pandangan publik pun digiring sedemikian rupa agar apriori dan antipati terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dituding terlalu lekat dan menguntungkan pemerintahan Tiongkok.
Merajut Kembali Relasi Indonesia-Tiongkok
Dari sisi historis, relasi Indonesia dengan Tiongkok telah berlangsung sejak sebelum Masehi. Abdul Baqir Zein (2000) mengungkapkan eratnya hubungan leluhur bangsa Indonesia dengan bangsa Tiongkok dimulai dengan interaksi antarkerajaan kuno di Nusantara dengan kekaisaran Tiongkok yang dibuktikan dengan banyaknya peninggalan benda bersejarah yang diyakini berasal dari Tiongkok. Eratnya hubungan Indonesia dengan Tiongkok juga ditemukan dalam babad atau cerita-cerita rakyat tentang Walisongo yang secara genealogi memiliki garis keturunan dari Tiongkok melalui kerajaan Champa.
Keberadaan warga etnik Tionghoa di Indonesia yang mencapai 2,8 juta jiwa atau 1,2% dari 20 etnik yang ada di Indonesia (BPS, 2010)--jumlah ini belum mencakup warga keturunan yang telah membaur dalam proses asimilasi budaya berabad lampau--merupakan modal tersendiri bagi Pemerintah Indonesia dalam bernegosiasi dengan Pemerintah Tiongkok. Asimilasi antara warga Tionghoa dengan etnik lain di Nusantara yang telah berlangsung lama semestinya juga menjadi modal bagi kokohnya persatuan warga Indonesia untuk bersama membangun kualitas dan jejaring dalam persaingan pasar global.
Fakta-fakta tersebut tampaknya yang kemudian "dieksploitasi" Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menjajaki kerja sama khusus dengan pemerintah dan masyarakat Tiongkok. Gus Dur adalah sosok sentral yang mengubah pola hubungan bilateral Indonesia dengan Tiongkok. Sebelum Gus Dur memimpin, hubungan RI dengan Tiongkok ini mengalami pasang surut di masa rezim Orde Baru.
Kebijakan Presiden Soeharto di awal masa kepemimpinannya, yang membekukan jalur diplomatik dengan Tiongkok, menyisakan kenangan kelam di sebagian masyarakat Indonesia. Selama 23 tahun, sejak 1967, stigma negatif dan sikap diskriminatif terhadap Tiongkok dan warga etnik Tionghoa di Indonesia dibangun sedemikian rupa. Meski pada fase akhir kepemimpinannya Presiden Soeharto mulai membuka kembali hubungan dagang dengan Pemerintah Tiongkok, upaya itu gagal ketika krisis moneter mendera Indonesia pada 1997. Puncaknya, pada 1998, warga etnik Tionghoa di Indonesia menjadi objek utama kebencian masyarakat Indonesia dalam berbagai kerusuhan.
Dua tahun kemudian, pada masa Reformasi, Presiden Gus Dur mengubah sentimen kebencian dan diskriminasi terhadap Etnik Tionghoa di Indonesia melalui pendekatan kultural, kebijakan politik, dan diplomasi bilateral dengan Tiongkok. Secara kultural, Gus Dur mengajak para tokoh agama untuk kembali membuka catatan sejarah tentang hubungan erat kekaisaran Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Bahkan Gus Dur tak segan mengklaim diri sebagai keturunan Hokkian dari marga Tan.
Pengakuan itu disampaikan Gus Dur berkali-kali sejak sebelum menjabat sebagai presiden RI. Hal itu disampaikan di berbagai tempat, termasuk di Universitas Beijing pada 1999. Klaim itu kemudian mendapat legitimasi dari sejumlah catatan sejarah. Secara kultural, sikap Gus Dur tersebut mengubah resistensi masyarakat Indonesia terhadap etnik Tionghoa dan meningkatkan nasionalisme warga keturunan etnik Tionghoa.
Secara politis, Gus Dur tak menyia-nyiakan posisinya sebagai kepala negara untuk mengakhiri diskriminasi terhadap etnik Tionghoa. Di antaranya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden Soeharto Nomor 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat China. Gus Dur juga mengubah term China menjadi Tiongkok, memberi pengakuan terhadap kepercayaan Kong Hu Chu sebagai salah satu agama yang dilindungi negara.
Sejak masa Presiden Gus Dur pula hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok mengalami perkembangan pesat. Bahkan saat itu Gus Dur dengan berani menyuarakan Poros Indonesia-Tiongkok-India sebagai jalur perdagangan alternatif dalam melawan dominasi kapitalisme Barat. Gus Dur berhasil melobi Pemerintah Tiongkok untuk menyalurkan bantuan sebesar USD5 miliar dan memberi fasilitas kredit sebesar USD200 juta. Pemerintah RI saat itu menjalin kesepakatan kerja sama dengan Pemerintah Tiongkok di bidang keuangan, teknologi, promosi kunjungan wisata, dan pembelian LNG Indonesia yang saat itu melimpah, tetapi sepi investor.
Peningkatan diplomasi RI-Tiongkok juga terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memprakarsai penandatanganan strategic patrnership agreement atau kemitraan strategis pada 25 April 2005 dan kemudian ditingkatkan menjadi kemitraan strategis komprehensif pada 2 Oktober 2013. Hubungan bilateral yang lebih erat antara Indonesia dan Tiongkok saat ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan, sebab Indonesia sebagai negara berkembang perlu menjalin kemitraan strategis dengan berbagai negara guna menopang pembangunan yang sedang atau akan berlangsung. Terlebih dengan telah disepakatinya kerja sama perdagangan bilateral ASEAN-China (ACFTA).
Kini Pemerintah Jokowi sedang melanjutkan upaya-upaya tersebut. Dibutuhkan kesadaran bersama antar-stakeholder , tokoh politik, dan tokoh masyarakat untuk mengawal kebijakan politik luar negeri pemerintah. Diperlukan upaya bersama antara pemerintah dan berbagai elemen masyarakat di Indonesia dalam menjaga nilai persaudaraan yang telah diwariskan nenek-moyang bangsa ini melalui dialog-dialog kebangsaan yang intensif disertai komitmen pemerintah dalam mengurangi kesenjangan ekonomi masyarakat.
Langkah yang telah dirintis Presiden Gus Dur sudah selayaknya dilanjutkan para pemimpin dan masyarakat Indonesia. Bukan hanya karena Tiongkok kini menjadi "penguasa" baru dunia, tetapi juga mengingat eratnya hubungan historis antardua negara ini.
Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
TIONGKOK sampai kuartal pertama 2017 memiliki cadangan devisa USD3,1 triliun, masih tercatat sebagai negara yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6-9% per tahun sejak 1978 hingga 2017 (data World Bank). Bahkan di tengah krisis ekonomi yang melanda sebagian negara Eropa dan Amerika, Tiongkok berhasil mencatatkan pendapatan domestik bruto sebesar USD12 triliun pada 2016. Tahun ini, dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,7%, Tiongkok mengejar PDB sebesar USD20 triliun.
Baru-baru ini Arab Saudi menandatangani kesepakatan investasi sebesar USD870 miliar dengan Tiongkok. Sementara investasi Tiongkok di Amerika, per tahun 2016, telah mencapai USD51,09 miliar. Prestasi gemilang ekonomi Tiongkok tersebut membuat negara Tirai Bambu itu menjadi salah satu primadona mitra strategis bagi berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Saudi. Indonesia, dengan PDB sebesar USD895 miliar dan jumlah penduduk sebanyak 257,6 juta (2015), juga berkepentingan menggandeng Tiongkok sebagai mitra strategis.
Belajar Bangkit dari Tiongkok
Kebangkitan ekonomi Tiongkok sebenarnya sudah diramalkan para futurolog Barat. Naisbitt dan Aburdene (1990) telah memprediksi kemunculan pasar bebas sosialisme yang berjalan bersama ledakan ekonomi global. Ramalan Naisbitt tentang tren masyarakat dunia untuk kembali pada semangat spiritualitas yang terjadi di paruh terakhir abad ke-20 dimanfaatkan Tiongkok untuk "memasarkan" tradisi konfusianisme, pengobatan tradisional, dan wisata kuliner. Hal itu ditopang dengan industri seni dan film Tiongkok yang berhasil menembus pasar Amerika. Tiga hal tersebut berhasil menjadikan Tiongkok sebagai negara eksotis dan diterima di berbagai negara. Di samping itu semangat reformasi ekonomi Deng Xiaoping (1978) yang dilanjutkan dengan berbagai kebijakan ekonomi terbuka terhadap dunia luar dan protektif sekaligus dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional Tiongkok menjadi faktor utama kebangkitan ekonomi Tiongkok.
Reformasi keterbukaan ekonomi yang digaungkan Deng Xiaoping berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi Tiongkok selama 30 tahun berturut-turut dengan rata-rata 8,5% sampai 9% per tahun. World Bank juga mencatat pertumbuhan sumber daya manusia Tiongkok yang meningkat 9 kali lipat pada 1978-2007. Hal itu berimbas pada peningkatan pendapatan per kapita tiap daerah di Tiongkok sebesar lima kali lipat.
Semangat kebangkitan ekonomi Tiongkok tersebut bisa diadopsi Indonesia dengan memanfaatkan tren populisme agama yang sedang terjadi di Indonesia. Kondisi geografis dan sosiologis masyarakat Indonesia yang multietnis dan budaya sejatinya bisa menjadi modal utama untuk meningkatkan kunjungan wisata ke berbagai daerah di Indonesia. Industri seni, musik, dan kuliner Nusantara juga merupakan potensi besar yang seharusnya bisa dimaksimalkan. Ditambah dengan jumlah angkatan kerja yang terus meningkat dan sumber daya alam yang masih melimpah, Indonesia juga diprediksi akan menjadi negara dengan sumber kapital yang kuat.
Kondisi infrastruktur yang belum maksimal dan pendapatan negara yang terbilang minim, ditambah pemerataan ekonomi yang belum merata, menjadi kendala dalam agenda pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia. Sebelumnya, di masa Orde Baru, Indonesia mengatasi kendala keuangan tersebut dengan mengambil pinjaman dari IMF dan Bank Dunia. Namun saat ini IMF maupun Bank Dunia telah beberapa kali melahirkan krisis di berbagai negara.
Karena itu, mau tak mau, Indonesia berupaya menjalin kemitraan strategis dengan Tiongkok yang kini sedang berada di masa keemasan. Sayangnya upaya-upaya tersebut mengalami sejumlah kendala berupa resistensi dari sebagian masyarakat Indonesia yang terjebak pada cerita kelam tentang hubungan antaretnik yang ditanamkan pada era Orde Baru. Berbagai opini dan prasangka negatif terhadap Tiongkok maupun warga etnik Tionghoa belakangan ini semakin sering didengungkan pihak-pihak yang tak menghendaki peningkatan hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok. Pandangan publik pun digiring sedemikian rupa agar apriori dan antipati terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dituding terlalu lekat dan menguntungkan pemerintahan Tiongkok.
Merajut Kembali Relasi Indonesia-Tiongkok
Dari sisi historis, relasi Indonesia dengan Tiongkok telah berlangsung sejak sebelum Masehi. Abdul Baqir Zein (2000) mengungkapkan eratnya hubungan leluhur bangsa Indonesia dengan bangsa Tiongkok dimulai dengan interaksi antarkerajaan kuno di Nusantara dengan kekaisaran Tiongkok yang dibuktikan dengan banyaknya peninggalan benda bersejarah yang diyakini berasal dari Tiongkok. Eratnya hubungan Indonesia dengan Tiongkok juga ditemukan dalam babad atau cerita-cerita rakyat tentang Walisongo yang secara genealogi memiliki garis keturunan dari Tiongkok melalui kerajaan Champa.
Keberadaan warga etnik Tionghoa di Indonesia yang mencapai 2,8 juta jiwa atau 1,2% dari 20 etnik yang ada di Indonesia (BPS, 2010)--jumlah ini belum mencakup warga keturunan yang telah membaur dalam proses asimilasi budaya berabad lampau--merupakan modal tersendiri bagi Pemerintah Indonesia dalam bernegosiasi dengan Pemerintah Tiongkok. Asimilasi antara warga Tionghoa dengan etnik lain di Nusantara yang telah berlangsung lama semestinya juga menjadi modal bagi kokohnya persatuan warga Indonesia untuk bersama membangun kualitas dan jejaring dalam persaingan pasar global.
Fakta-fakta tersebut tampaknya yang kemudian "dieksploitasi" Presiden RI keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menjajaki kerja sama khusus dengan pemerintah dan masyarakat Tiongkok. Gus Dur adalah sosok sentral yang mengubah pola hubungan bilateral Indonesia dengan Tiongkok. Sebelum Gus Dur memimpin, hubungan RI dengan Tiongkok ini mengalami pasang surut di masa rezim Orde Baru.
Kebijakan Presiden Soeharto di awal masa kepemimpinannya, yang membekukan jalur diplomatik dengan Tiongkok, menyisakan kenangan kelam di sebagian masyarakat Indonesia. Selama 23 tahun, sejak 1967, stigma negatif dan sikap diskriminatif terhadap Tiongkok dan warga etnik Tionghoa di Indonesia dibangun sedemikian rupa. Meski pada fase akhir kepemimpinannya Presiden Soeharto mulai membuka kembali hubungan dagang dengan Pemerintah Tiongkok, upaya itu gagal ketika krisis moneter mendera Indonesia pada 1997. Puncaknya, pada 1998, warga etnik Tionghoa di Indonesia menjadi objek utama kebencian masyarakat Indonesia dalam berbagai kerusuhan.
Dua tahun kemudian, pada masa Reformasi, Presiden Gus Dur mengubah sentimen kebencian dan diskriminasi terhadap Etnik Tionghoa di Indonesia melalui pendekatan kultural, kebijakan politik, dan diplomasi bilateral dengan Tiongkok. Secara kultural, Gus Dur mengajak para tokoh agama untuk kembali membuka catatan sejarah tentang hubungan erat kekaisaran Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Bahkan Gus Dur tak segan mengklaim diri sebagai keturunan Hokkian dari marga Tan.
Pengakuan itu disampaikan Gus Dur berkali-kali sejak sebelum menjabat sebagai presiden RI. Hal itu disampaikan di berbagai tempat, termasuk di Universitas Beijing pada 1999. Klaim itu kemudian mendapat legitimasi dari sejumlah catatan sejarah. Secara kultural, sikap Gus Dur tersebut mengubah resistensi masyarakat Indonesia terhadap etnik Tionghoa dan meningkatkan nasionalisme warga keturunan etnik Tionghoa.
Secara politis, Gus Dur tak menyia-nyiakan posisinya sebagai kepala negara untuk mengakhiri diskriminasi terhadap etnik Tionghoa. Di antaranya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden Soeharto Nomor 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat China. Gus Dur juga mengubah term China menjadi Tiongkok, memberi pengakuan terhadap kepercayaan Kong Hu Chu sebagai salah satu agama yang dilindungi negara.
Sejak masa Presiden Gus Dur pula hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok mengalami perkembangan pesat. Bahkan saat itu Gus Dur dengan berani menyuarakan Poros Indonesia-Tiongkok-India sebagai jalur perdagangan alternatif dalam melawan dominasi kapitalisme Barat. Gus Dur berhasil melobi Pemerintah Tiongkok untuk menyalurkan bantuan sebesar USD5 miliar dan memberi fasilitas kredit sebesar USD200 juta. Pemerintah RI saat itu menjalin kesepakatan kerja sama dengan Pemerintah Tiongkok di bidang keuangan, teknologi, promosi kunjungan wisata, dan pembelian LNG Indonesia yang saat itu melimpah, tetapi sepi investor.
Peningkatan diplomasi RI-Tiongkok juga terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memprakarsai penandatanganan strategic patrnership agreement atau kemitraan strategis pada 25 April 2005 dan kemudian ditingkatkan menjadi kemitraan strategis komprehensif pada 2 Oktober 2013. Hubungan bilateral yang lebih erat antara Indonesia dan Tiongkok saat ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan, sebab Indonesia sebagai negara berkembang perlu menjalin kemitraan strategis dengan berbagai negara guna menopang pembangunan yang sedang atau akan berlangsung. Terlebih dengan telah disepakatinya kerja sama perdagangan bilateral ASEAN-China (ACFTA).
Kini Pemerintah Jokowi sedang melanjutkan upaya-upaya tersebut. Dibutuhkan kesadaran bersama antar-stakeholder , tokoh politik, dan tokoh masyarakat untuk mengawal kebijakan politik luar negeri pemerintah. Diperlukan upaya bersama antara pemerintah dan berbagai elemen masyarakat di Indonesia dalam menjaga nilai persaudaraan yang telah diwariskan nenek-moyang bangsa ini melalui dialog-dialog kebangsaan yang intensif disertai komitmen pemerintah dalam mengurangi kesenjangan ekonomi masyarakat.
Langkah yang telah dirintis Presiden Gus Dur sudah selayaknya dilanjutkan para pemimpin dan masyarakat Indonesia. Bukan hanya karena Tiongkok kini menjadi "penguasa" baru dunia, tetapi juga mengingat eratnya hubungan historis antardua negara ini.
(pur)