Menanti Putusan Praperadilan Hary Tanoesoedibjo
A
A
A
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Ahli Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana
GUGATAN praperadilan terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atas penetapan status tersangka kepada Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo telah menempuh babak akhir.
Hari ini akan diputuskan apakah penetapan status tersangka tersebut sah atau tidak menurut ketentuan hukum acara pidana. Setidaknya, terdapat beberapa hal hakim praperadilan pada PN Jakarta Selatan akan mempertimbangkan gugatan pra-peradilan.
Pertama tentang kedudukan pemohon sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana. Kedua tentang keberadaan alat bukti minimal yang sah. Ketiga menyangkut kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri.
Pada yang tersebut pertama, penyampaian SPDP kepada penuntut umum dan khususnya kepada pemohon telah melampaui masa tenggang waktu sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP dan telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.
Mahkamah telah menentukan batas waktu paling lambat tujuh hari bagi penyidik untuk memberitahukan dan menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
Dengan demikian, keterlambatan pengiriman SPDP oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/ pelapor menjadi objek Praperadilan.
Pada yang tersebut kedua, norma hukum perbuatan yang dilarang dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan perubahannya Undang-Undang Nomor 19/2016 (UU ITE) mensyaratkan adanya perbuatan lain yang menjadi maksud atau tujuan pelaku tindak pidana.
Perbuatan lain ini merupakan perbuatan pokok yang kemudian diikuti, diiringi, atau disertai dengan perbuatan "ancaman kekerasan atau menakut-nakuti".
Dengan kata lain, perbuatan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti tidaklah berdiri sendiri, melainkan suatu "perbuatan (delik) yang berpasangan."
Sepanjang perbuatan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti tidak dikaitkan atau dihubungkan dengan perbuatan lain (pokok) yang terlarang—dalam berbagai peraturan perundang-undangan termasuk juga KUHP—maka penetapan tersangka adalah tidak sah.
Sebagai perbandingan, dapat disampaikan Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel dengan pemohon Komjen Budi Gunawan.
Putusan Praperadilan menyatakan pemohon bukanlah subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi, karena pemohon bukan termasuk aparat penegak hukum dan/atau penyelenggara negara.
Putusan Praperadilan menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon yang dilakukan oleh termohon adalah tidak sah.
Pada praperadilan yang dimohonkan oleh Hary Tanoesoedibjo, juga hampir mirip, jika pada Komjen Budi Gunawan tidak terpenuhinya subjek hukum sebagai pelaku tindak pidana korupsi, maka pada Hary Tanoesoedibjo tidak terpenuhinya subjek hukum sebagai pelaku tindak pidana berpasangan.
Dengan mengacu kepada konstruksi Pasal 29 UU ITE, tidak tepat jika dikatakan telah ada korban atas sangkaan tersebut. Dengan tidak adanya korban, kedudukan pelapor sebagai korban juga tidak memenuhi kualifikasi.
Konsekuensi yuridis tidak terpenuhinya kedudukan pemohon sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana berimplikasi terhadap pemenuhan dua alat bukti yang sah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, menyatakan bahwa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup”, dan "bukti yang cukup" adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Oleh karena, Pasal 29 UU ITE mensyaratkan adanya perbuatan pokok, maka terhadap perbuatan pokok tersebut juga harus ada minimal dua alat bukti yang mendukungnya.
Sepanjang tidak terpenuhinya dua alat bukti yang sah yang terkait dengan perbuatan pokok dimaksud, status tersangka adalah tidak sah.
Demikian pula sebaliknya, dengan tidak di-ketahui perbuatan lain dimaksud maka dipastikan tidak akan mungkin adanya dua alat bukti yang sah.
Pada yang tersebut ketiga, menyangkut kewenangan Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU ITE.
Melihat konstruksi kewenangan pada Pasal 43 UU ITE, seyogianya dimaknai bahwa penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), lebih memiliki keutamaan dibandingkan dengan penyidik Polri.
Ditinjau dari kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam UU ITE, tentu ada perbedaan absolut antara penyidik Polri dan PPNS. Penyidik Polri lebih diarahkan pada kepentingan hukum masyarakat (sosiale belangen) dan negara (staats belangen).
Adapun untuk kepentingan hukum pribadi (individuale belangen) lebih ditujukan kepada PPNS untuk melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan.
Tentunya kewenangan itu didasarkan pada aspek profesionalisme, diferensiasi fungsional, kemanfaatan (utility) dan prinsip koordinasi dan pengawasan oleh Polri.
Adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/ 2008 melalui UU Nomor 19/2016 menjadi penegas dan sekaligus memperkuat kewenangan PPNS lebih diutamakan ketimbang penyidik Polri untuk melakukan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang Informasi dan Tran-saksi Elektronik.
Dari ketiga objek praperadilan sebagaimana disebutkan di atas, menurut hemat penulis yang tersebut pertama dan kedua adalah yang sangat menentukan.
Dikatakan demikian, oleh karena penetapan status tersangka yang melekat pada diri pemohon beserta pemenuhan (minimal) alat bukti yang sah akan memengaruhi sah atau tidaknya penyidikan yang dilakukan oleh Polri.
Hakim pada Praperadilan PN Jakarta Selatan diharapkan akan memutuskan sesuai dengan ketentuan hukum formal dengan mempertimbangkan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi.
Landasan yuridis putusan praperadilan adalah kepastian hukum, dan hak-hak konstitusional masing-masing pihak. Kita berharap proses penegakan hukum harus lebih mengedepankan kepastian hukum yang berkeadilan dalam setiap rangkaian proses peradilan pidana. Hukum bukanlah dimaknai hanya sebatas kepastian belaka, melainkan juga harus mengutamakan keadilan dalam prosedural ataupun substansial.
Ahli Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana
GUGATAN praperadilan terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atas penetapan status tersangka kepada Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo telah menempuh babak akhir.
Hari ini akan diputuskan apakah penetapan status tersangka tersebut sah atau tidak menurut ketentuan hukum acara pidana. Setidaknya, terdapat beberapa hal hakim praperadilan pada PN Jakarta Selatan akan mempertimbangkan gugatan pra-peradilan.
Pertama tentang kedudukan pemohon sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana. Kedua tentang keberadaan alat bukti minimal yang sah. Ketiga menyangkut kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri.
Pada yang tersebut pertama, penyampaian SPDP kepada penuntut umum dan khususnya kepada pemohon telah melampaui masa tenggang waktu sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP dan telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.
Mahkamah telah menentukan batas waktu paling lambat tujuh hari bagi penyidik untuk memberitahukan dan menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik).
Dengan demikian, keterlambatan pengiriman SPDP oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/ pelapor menjadi objek Praperadilan.
Pada yang tersebut kedua, norma hukum perbuatan yang dilarang dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan perubahannya Undang-Undang Nomor 19/2016 (UU ITE) mensyaratkan adanya perbuatan lain yang menjadi maksud atau tujuan pelaku tindak pidana.
Perbuatan lain ini merupakan perbuatan pokok yang kemudian diikuti, diiringi, atau disertai dengan perbuatan "ancaman kekerasan atau menakut-nakuti".
Dengan kata lain, perbuatan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti tidaklah berdiri sendiri, melainkan suatu "perbuatan (delik) yang berpasangan."
Sepanjang perbuatan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti tidak dikaitkan atau dihubungkan dengan perbuatan lain (pokok) yang terlarang—dalam berbagai peraturan perundang-undangan termasuk juga KUHP—maka penetapan tersangka adalah tidak sah.
Sebagai perbandingan, dapat disampaikan Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/ 2015/PN.Jkt.Sel dengan pemohon Komjen Budi Gunawan.
Putusan Praperadilan menyatakan pemohon bukanlah subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi, karena pemohon bukan termasuk aparat penegak hukum dan/atau penyelenggara negara.
Putusan Praperadilan menyatakan penetapan tersangka atas diri pemohon yang dilakukan oleh termohon adalah tidak sah.
Pada praperadilan yang dimohonkan oleh Hary Tanoesoedibjo, juga hampir mirip, jika pada Komjen Budi Gunawan tidak terpenuhinya subjek hukum sebagai pelaku tindak pidana korupsi, maka pada Hary Tanoesoedibjo tidak terpenuhinya subjek hukum sebagai pelaku tindak pidana berpasangan.
Dengan mengacu kepada konstruksi Pasal 29 UU ITE, tidak tepat jika dikatakan telah ada korban atas sangkaan tersebut. Dengan tidak adanya korban, kedudukan pelapor sebagai korban juga tidak memenuhi kualifikasi.
Konsekuensi yuridis tidak terpenuhinya kedudukan pemohon sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana berimplikasi terhadap pemenuhan dua alat bukti yang sah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, menyatakan bahwa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup”, dan "bukti yang cukup" adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Oleh karena, Pasal 29 UU ITE mensyaratkan adanya perbuatan pokok, maka terhadap perbuatan pokok tersebut juga harus ada minimal dua alat bukti yang mendukungnya.
Sepanjang tidak terpenuhinya dua alat bukti yang sah yang terkait dengan perbuatan pokok dimaksud, status tersangka adalah tidak sah.
Demikian pula sebaliknya, dengan tidak di-ketahui perbuatan lain dimaksud maka dipastikan tidak akan mungkin adanya dua alat bukti yang sah.
Pada yang tersebut ketiga, menyangkut kewenangan Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU ITE.
Melihat konstruksi kewenangan pada Pasal 43 UU ITE, seyogianya dimaknai bahwa penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), lebih memiliki keutamaan dibandingkan dengan penyidik Polri.
Ditinjau dari kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam UU ITE, tentu ada perbedaan absolut antara penyidik Polri dan PPNS. Penyidik Polri lebih diarahkan pada kepentingan hukum masyarakat (sosiale belangen) dan negara (staats belangen).
Adapun untuk kepentingan hukum pribadi (individuale belangen) lebih ditujukan kepada PPNS untuk melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan.
Tentunya kewenangan itu didasarkan pada aspek profesionalisme, diferensiasi fungsional, kemanfaatan (utility) dan prinsip koordinasi dan pengawasan oleh Polri.
Adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/ 2008 melalui UU Nomor 19/2016 menjadi penegas dan sekaligus memperkuat kewenangan PPNS lebih diutamakan ketimbang penyidik Polri untuk melakukan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang Informasi dan Tran-saksi Elektronik.
Dari ketiga objek praperadilan sebagaimana disebutkan di atas, menurut hemat penulis yang tersebut pertama dan kedua adalah yang sangat menentukan.
Dikatakan demikian, oleh karena penetapan status tersangka yang melekat pada diri pemohon beserta pemenuhan (minimal) alat bukti yang sah akan memengaruhi sah atau tidaknya penyidikan yang dilakukan oleh Polri.
Hakim pada Praperadilan PN Jakarta Selatan diharapkan akan memutuskan sesuai dengan ketentuan hukum formal dengan mempertimbangkan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi.
Landasan yuridis putusan praperadilan adalah kepastian hukum, dan hak-hak konstitusional masing-masing pihak. Kita berharap proses penegakan hukum harus lebih mengedepankan kepastian hukum yang berkeadilan dalam setiap rangkaian proses peradilan pidana. Hukum bukanlah dimaknai hanya sebatas kepastian belaka, melainkan juga harus mengutamakan keadilan dalam prosedural ataupun substansial.
(nag)