Dalam Jepitan Utang dan Pajak

Senin, 17 Juli 2017 - 08:04 WIB
Dalam Jepitan Utang dan Pajak
Dalam Jepitan Utang dan Pajak
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

KONDISI fiscal stress yang tengah dihadapi pemerintah sangat mungkin membuat masa depan pembangunan berada dalam situasi yang runyam. Ancaman keterpurukan perekonomian bisa terus bergulir bak bola salju liar.

Target pertumbuhan ekonomi seperti yang dijanjikan selama masa kampanye dan yang tertuang di dalam RPJMN Nawacita siap-siap menghadapi jalan buntu. Salah satu penyebabnya, apa lagi jika bukan karena kondisi kas negara yang masih pas-pasan.

Pekerjaan rumah yang ditanggung pemerintah untuk meningkatkan kualitas perekonomian bisa jadi akan semakin berat sehingga sudah saatnya bagi Presiden Jokowi dan para perangkatnya untuk mengurangi langkah-langkah politik yang selama ini cenderung tergolong “sia-sia”. Upaya yang dibangun harus lebih matang dan elegan untuk membangun perekonomian yang lebih mapan.

Jika merujuk pada asumsi incremental capital output ratio (ICOR) 2016, untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri sebesar 1%, setidaknya kita membutuhkan pertumbuhan modal (kapital) sebanyak 6,46%. Nilai ICOR dikeluarkan BPS setiap tahunnya untuk mengukur tingkat efisiensi investasi di Indonesia.

Semakin kecil angka ICOR, tingkat efisiensi investasi kita juga semakin baik. Pada 2015, nilai ICOR kita masih sebesar 6,64%.

Kabar positif tersebut amat dipengaruhi upaya pemerintah untuk memperbaiki regulasi investasi. Imbas lainnya juga berdampak pada peningkatan peringkat easy of doing business Indonesia dari sebelumnya peringkat ke-106 dunia menjadi 91 dunia (World Bank, 2016).

Selain itu rating surat utang pemerintah (sovereign) yang diberikan lembaga internasional Standard & Poors (S&P, 2017) juga meningkat, dari sebelumnya BB+ menjadi BBB-. Kenaikan peringkat ini baru pertama kalinya terjadi setelah kita melewati masa krisis 1998 sehingga kepercayaan diri pemerintah perlahan-lahan membaik.

Atas dasar pertimbangan itulah pemerintah berencana menambah lagi utang luar negeri (ULN). Dari kabar yang berembus, sedikitnya pemerintah akan merilis kembali Surat Berharga Negara (SBN) hingga Rp467,3 triliun di 2017.

Isu ini langsung direspons para pengamat. Tidak sedikit yang secara lantang mengkritik Presiden Jokowi karena peningkatan jumlah ULN akhir-akhir ini sudah sangat luar biasa jumlahnya.

Di akhir 2014 ketika Presiden Jokowi baru menjabat sebagai kepala negara, total utang kita baru mencapai Rp2.604,93 triliun dan pada akhir Juni 2017 jumlahnya meningkat Rp1.101,59 triliun (42,29%) sehingga total utang kita jika diakumulasikan sudah mencapai Rp3.706,52 triliun (DJPPR Kemenkeu, 2017). Jika merujuk pada pengakuan pemerintah, utang yang diterima sebagian besar dialokasikan untuk jenis-jenis belanja produktif, terutama untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur.

Penulis juga bersepakat dengan langkah pemerintah yang cukup ambisius untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur. Namun penulis menjadi kurang sreg kalau modal pembangunan utamanya bersumber dari hasil utang.

Alasan pertama, beban utang kita sudah cukup besar dan berpotensi mengganggu neraca keuangan negara. Kita jangan terlalu mudah terkecoh dengan rasio utang yang konon masih di bawah ambang batas “aman” dan kini berada di kisaran 28% terhadap PDB Indonesia.

Perspektif rasio utang itu sendiri bisa menjadi sebuah “jebakan” karena PDB kita kecenderungan setiap tahunnya selalu meningkat sehingga peningkatan utang kita bisa jadi akan selalu terasa “aman”.

Jika kita hanya berpatok pada tingkat rasio utang, asumsi tersebut belum dapat dianggap sebagai langkah yang prudent. Karena daya penyeimbangnya yang bersumber dari penerimaan negara (terutama dari pajak), proyeksi ke depannya belum cukup meyakinkan dan bahkan cenderung “abu-abu”.

Kedua, dalam perincian DJPPR, jatuh tempo utang kita pada 2018 mencapai Rp 390 triliun dan tahun berikutnya pada 2019 jumlahnya semakin meningkat menjadi sekitar Rp 420 triliun. Katakanlah nanti total belanja APBN 2018 diasumsikan berada di kisaran Rp2.100–2.200 triliun, setidaknya hampir seperlima kas negara akan digunakan untuk membayar utang.

Jika ditambahkan dengan alokasi belanja untuk infrastruktur, ruang likuiditas APBN akan terlihat semakin menyempit, khususnya untuk belanja rutin dan obligatoris. Kali ini kita tidak akan berdebat soal asumsi manfaat infrastruktur terhadap perekonomian.

Yang penulis khawatirkan, ambisi untuk meningkatkan kualitas infrastruktur yang kemudian justru mengorbankan prioritas pembangunan lainnya, khususnya terkait peningkatan kualitas SDM dan kelembagaan. Apalagi satu dekade ke depan, kita akan menghadapi guncangan bonus demografi sehingga layanan dasar untuk pendidikan dan kesehatan juga tidak kalah penting.

Jika salah satu tujuan pengembangan infrastruktur ialah untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan mobilitas perekonomian, seharusnya kebutuhan penyandingnya juga mengarah pada pembangunan SDM dan kelembagaan. Jangan sampai ketika kemegahan infrastruktur telah terbangun, kita justru masih merasa gagap dan “canggung” untuk ikut memanfaatkannya.

Ketiga, instrumen public-private partnership (PPP) atau kerja sama pemerintah-badan usaha (KPBU) tampaknya masih sangat layak dijadikan sebagai senjata utama untuk alternatif pembiayaan. Keduanya malah dinilai sebagai kebijakan yang lebih safe karena tidak begitu banyak mengorbankan APBN.

Hanya saja masih banyak kendala yang dihadapi para calon investor swasta yang hendak terlibat dalam skema PPP/KPBU. Tantangan yang paling mencolok ialah besarnya biaya transaksi yang harus ditanggung investor, mulai dari tahap perencanaan hingga proses pelaksanaan pembangunan, sehingga pada akhirnya kinerja program PPP/KPBU belum mampu mengalihkan minat pemerintah terhadap ULN yang terus menggiurkan.

Pajak dan Kontradiksi Kebijakan
Eksistensi kinerja perpajakan masih akan tetap mendapat sorotan utama di setiap perbincangan mengenai keuangan negara. Kondisi ini sudah sangat wajar karena pajak memberikan kontribusi yang cukup dominan terhadap total penerimaan negara.

Dalam lima tahun terakhir, rata-rata kontribusinya selalu di atas 70%. Bahkan tahun 2016 lalu sumbangsih dari perpajakan (baik pajak dalam negeri maupun internasional) sudah mencapai 83% dari total penerimaan.

Dapat dikatakan, denyut pembangunan kita akan sangat bergantung pada hasil akhir perolehan penerimaan dari pajak. Namun, sayangnya, perkembangan sektor perpajakan belum cukup menggembirakan. Indikator paling sederhananya dapat dilihat dari kinerja rasio perpajakan terhadap PDB (tax ratio).

Tax ratio 2016 kemarin tercatat turun karena hanya tercapai sekitar 10,4%. Padahal dua tahun sebelumnya masih mencapai 10,9% (tahun 2014) dan 10,8% (tahun 2015).

Yang lebih ironis, rata-rata akumulasi penerimaan negara sejak 2013 tercatat selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan utang. Pada 2013, total utang sudah tumbuh 20%, sementara total penerimaan negara baik dari pajak maupun nonpajak hanya 11%.

Adapun pada 2016, utang tumbuh 11% dan penerimaan hanya 3%. Target pemerintah untuk meraih tax ratio hingga 16% pada 2019, jika dipersepsikan berdasarkan kondisi yang sekarang, tampaknya cukup meragukan.

Janji pemerintah untuk menggenjot laju reformasi perpajakan juga tidak banyak mengemuka. Selepas pemberlakuan tax amnesty, praktis baru kebijakan mengenai persiapan penerapan Auto Exchange of Information (AEoI) dan penyanderaan terhadap pengemplang pajak (gijzeling) yang paling nyaring terdengar. Sementara progres terhadap effort lain masih terlihat samar-samar, mulai dari perbaikan data wajib pajak, sistem informasi hingga peningkatan kapasitas SDM perpajakan.

Selain terkait dengan reformasi perpajakan, persoalan berikutnya yang patut diperhatikan ialah perkembangan sumber-sumber pungutan pajak. Banyak pihak yang mulai mengeluhkan kondisi pendapatan dan daya beli masyarakat yang kian lemah.

Kebijakan Presiden Jokowi yang akhir-akhir ini mengorbankan subsidi energi demi melonggarkan alokasi untuk infrastruktur malah dinilai semakin memperburuk keadaan. Pencabutan subsidi listrik terhadap konsumen dengan daya 900 VA pada akhirnya juga merugikan banyak pelaku usaha mikro dan kecil.

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) jumlahnya masih sangat dominan terhadap struktur industri dalam negeri. Melemahnya daya saing dan produktivitas UMKM juga dapat diartikan sebagai gejala penurunan tingkat pendapatan dan daya beli pada mayoritas masyarakat.

Terkait dengan capaian inflasi yang akhir-akhir ini berlangsung pada skala yang rendah, kita juga perlu berhati-hati dalam proses pemaknaannya. Pandangan ini juga menyiratkan kehati-hatian di dalam pemahaman terhadap anomali tingkat inflasi yang terjadi selama Ramadan dan Lebaran pada Juni kemarin.

Kita jangan terlalu bergembira karena bisa jadi fenomena yang kemarin terjadi lebih banyak disebabkan faktor daya beli (demand) masyarakat yang cenderung melemah. Kalau kondisinya sudah seperti demikian, kita perlu lebih menahan diri untuk tidak berekspektasi lebih terhadap peluang pertumbuhan ekonomi.

Kontradiksi antarkebijakan masih mungkin untuk terus terjadi. Janji pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengelola utang demi ambisi pembangunan infrastruktur seharusnya tidak sampai mengabaikan kepentingan masyarakat dalam jangka pendek. Belum tentu semua masyarakat mampu bertahan dengan “siksaan” yang bermunculan akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering kali tumpang-tindih dan bahkan berkontradiksi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3767 seconds (0.1#10.140)