KPI: Kehadiran UU Penyiaran yang Baru Merupakan Keniscayaan

Jum'at, 14 Juli 2017 - 17:17 WIB
KPI: Kehadiran UU Penyiaran yang Baru Merupakan Keniscayaan
KPI: Kehadiran UU Penyiaran yang Baru Merupakan Keniscayaan
A A A
JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas draf RUU Penyiaran yang baru. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang lahir dari UU No 32/2002 tentang Penyiaran dan bertugas mengatur hal-hal yang terkait dengan penyiaran, menilai kehadiran UU Penyiaran yang baru menjadi sebuah keniscayaan.

Alasannya undang-undang yang ada saat ini sudah tidak dapat mengakomodasi perkembangan teknologi informasi terbaru, sehingga muncul problematika di dunia penyiaran. ”Untuk itu, mengingat isu revisi undang-undang (RUU) ini sudah bergulir sejak 2010, KPI berharap pembahasannya tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan untuk disahkan,” kata Ketua KPI Yuliandre Darwis dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Jumat (14/7/2017).

Mengenai digitalisasi yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan pembahasan RUU ini, KPI berpendapat apa pun pilihan terhadap pengelolaan penyiaran digital, harus mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan, dan efisiensi yang menjadi tujuan utama dari migrasi digital. Efisiensi tersebut diharapkan menghasilkan digital deviden yang dapat dialokasikan untuk penyediaan internet broadband guna pemenuhan hak masyarakat Indonesia akan informasi. ”Hal ini merujuk pada rekomendasi rapat koordinasi nasional (Rakornas) KPI tahun 2014,” jelasnya.

Eksistensi KPI sebagai representasi publik juga perlu diperkuat. Penguatan meliputi perluasan kewenangan di bidang isi siaran serta tetap melibatkan KPI di dalam seluruh proses penataan infrastruktur penyiaran untuk mengontrol kaidah pokok demokratisasi penyiaran, yakni keberagaman kepemilikan (diversity of ownership).

KPI juga meminta dimasukkan dalam Badan Migrasi Digital, yang dalam draf RUU yang dibahas Baleg DPR RI hanya terdiri atas pemerintah, organisasi lembaga penyiaran, dan pemangku kepentingan. KPI mengkritisi keberadaan Organisasi Lembaga Penyiaran (OLP) dalam proses regulasi, seperti Badan Migrasi Digital dan Panel Ahli dalam penjatuhan sanksi. ”KPI menilai kehadiran OLP pada proses tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran antara operator dan regulator,” ujarnya.

Sekalipun ada pembatas yang tegas regulator dan OLP, regulator tetap harus mempertimbangkan aspirasi OLP sebagai operator. Mengenai keberadaan OLP dalam Panel Ahli, KPI melihat adanya potensi konflik kepentingan antara regulator dan operator, karena OLP adalah objek yang akan dikenai sanksi.

Selain itu RUU Penyiaran harus memperkuat keberadaan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Implementasi SSJ merupakan bagian dari penerapan prinsip demokratisasi penyiaran yang mensyaratkan adanya diversity of content dan diversity of ownership. SSJ menjadi usaha memperkuat kebinekaan dengan merepresentasikan masyarakat, budaya, dan mengangkat perekonomian pada setiap daerah.

Mengenai batasan siaran iklan sebanyak maksimal 30%, menurut KPI dapat mengganggu kenyamanan publik sebagai pemilik frekuensi. Selain itu, meningkatnya proporsi siaran iklan berdampak pula pada keadilan ekonomi pada televisi lokal.

KPI menilai harus ada distribusi iklan yang merata pada masing-masing lembaga penyiaran, tidak terpusat pada lembaga penyiaran tertentu saja. ”Terkait iklan rokok, KPI mendukung rumusan yang diajukan Komisi I DPR RI yang telah lebih dahulu dibuat sebelum pembahasan di Baleg DPR RI,” tuturnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4897 seconds (0.1#10.140)