Perppu Ormas dan Tirani Konstitusional
A
A
A
Nasir Djamil
Anggota Komisi III DPR RI
PEMERINTAH akhirnya menepati janjinya soal perppu untuk menggantikan UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Tertanggal 10 Juli 2017, Presiden Jokowi resmi menandatangani Perppu Nomor 2/2017 tentang Perubahan UU Ormas. Seperti sudah diduga sebelumnya, perppu tersebut memberikan jalan mulus bagi pemerintah dalam membubarkan ormas-ormas yang dinilai bertentangan dengan ideologi negara.
Ada 18 pasal (63-80) "demokratis" yang dihapuskan. Padahal pasal-pasal tersebut berisikan proses penanganan yang wajib dilakukan pemerintah terhadap ormas-omas bermasalah mulai dari peringatan pembekuan dan pembubaran yang harus melalui pengadilan.
Perppu tersebut sekaligus kelanjutan atas sikap pemerintah yang ingin membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada bulan Mei lalu tanpa melalui proses pengadilan. Dengan keluarnya perppu tersebut, maka otomatis proses pembubaran HTI melalui pengadilan tidak diperlukan.
Saya termasuk yang banyak tidak sependapat dengan ide dan cara-cara HTI menyampaikan pendapatnya. Namun, saya tidak setuju negara dipergunakan untuk kepentingan tertentu menindas dan melanggar hak-hak rakyatnya.
Hak Asasi
Ormas memiliki keterkaitan erat dengan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), khususnya hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Karena itu, reformasi yang mengakhiri rezim otoriterisme Orde Baru memberikan jaminan penuh terhadap hak tersebut dalam perubahan UUD 1945 (lihat Pasal 28E).
Karena merupakan HAM, maka pembubaran ormas sebenarnya adalah sebuah pelanggaran. Sebab itu, kalau melihat konstruksi dari UU Nomor 17/2013 tentang Ormas, terdapat jaminan penghormatan dan perlindungan oleh negara terhadap ormas-ormas yang ada di Indonesia. Jika ingin membubarkan perkumpulan masyarakat, itu pun harus melalui serangkaian tindakan untuk memastikan ormas bersangkutan dibina dan sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan, khususnya Pancasila dan UUD 1945.
Kalau sudah dibina ternyata masih melakukan pelanggaran, apalagi memberikan ancaman disintegrasi bangsa, barulah kemudian dibubarkan, dan itu harus melalui pengadilan sebagai institusi netral. Dengan demikian, perspektif pembubaran ormas dibingkai dengan hukum bukan kekuasaan. Inilah esensi UU Ormas karena negara menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) HAM.
Tirani Konstitusional
Dalam konstruksi negara hukum yang demokratis, tidak boleh ada sedikit pun proses bernegara bersendikan tirani. Tidak boleh ada alat negara yang digunakan untuk menindas hak-hak rakyat. Tidak boleh ada keputusan negara dibuat sendiri tanpa melibatkan rakyat banyak. Negara pun harus dijalankan melalui aturan hukum yang berlaku (rule of law) bersendikan keadilan, ketertiban, dan kebermanfaatan.
Sejatinya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang ditetapkan Presiden adalah bentuk tirani. Karena Presiden bisa mengeluarkan sebuah hukum tingkat tinggi dalam bentuk undang-undang tanpa melalui permusyawaratan dengan rakyat (baca DPR). Atas dasar tirani yang sangat mungkin disalahgunakan, secara sadar pembentuk UUD 1945 dalam Pasal 22 Ayat 1 memberikan syarat bagi Presiden ketika hendak mengeluarkan perppu, yaitu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa serta ada persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya.
Dalam khazanah teoritik, Bagir Manan (2006) menyebut ada dua unsur kegentingan memaksa, pertama adanya krisis dan kedua adanya kemendesakan (emergency). Suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse).
Kemendesakan apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan tanpa menunggu permuswaratan terlebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableness), apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan, baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.
Tidak jauh berbeda Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 memberi tiga syarat keluarnya perppu, seperti (i) adanya keadaan, yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; (ii) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam konteks Perppu Ormas yang baru saja disahkan Jokowi, maka kondisi kegentingan memaksa, baik dari segi teoritik maupun syarat dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tidak terpenuhi. Tidak ada krisis yang genting dan mendesak dalam persoalan keormasan.
Tidak ada pula kondisi kekosongan hukum ataupun hukum yang ada tidak memadai dalam persoalan keormasan. Hal lebih penting, DPR sebagai representasi rakyat tidak sedang dalam masa reses ataupun tidak bisa melakukan persidangan dalam waktu lama.
Kalaupun salah satu dasar keluarnya perppu karena UU Ormas belum menganut asas contrarius actus, yakni asas dalam hukum administrasi di mana pemerintah diberikan kewenangan secara formal atau prosedural untuk menetapkan sesuatu dalam bentuk keputusan, maka pemerintah juga diberikan kewenangan melakukan prosedur pencabutan kembali atau pembatalan. Dimaksud di sini adalah pemerintah diberikan kewenangan memberikan pengesahan ormas berbadan hukum sehingga pemerintah juga harus diberikan kewenangan mencabut pengesahan ormas tersebut.
Namun harus diingat, pada dasarnya asas bukanlah suatu norma peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengikat secara mutlak. Bahkan, asas dapat disimpangi untuk kondisi tertentu. Dalam hal ormas, maka asas contrarius actus sengaja tidak diberikan karena berkaitan dengan HAM, sebab negara atas nama kekuasaan dapat menggunakan secara semena-mena asas tersebut.
Dari uraian tersebut, baik aspek prosedur maupun substansi, Perppu Ormas telah melanggar batas-batas yang ditetapkan konstitusi dan HAM. Karena itu, Perppu Ormas ini layak disebut tirani konstitusional.
Tidak Menjawab Persoalan
Selain menghapuskan prosedur dalam proses pembekuan dan pembubaran ormas. Kemudian hanya meninggalkan peringatan (Pasal 61-62) dan langsung pembubaran (Pasal 80), perppu tersebut sebenarnya tidak menjawab persoalan khususnya berkaitan dengan maksud dari ormas dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham bertentangan dengan Pancasila.
Persoalan yang paling mendasar dalam persoalan keormasan saat ini adalah pembinaan dan dialog. Karena ormas berkaitan dengan hak kebebasan berkumpul dan berserikat, termasuk mengeluarkan pendapat, maka keberadaan ormas yang dianggap meresahkan masyarakat seharusnya diproses dengan cara dialog dan pembinaan.
Seharusnya ini yang dilakukan negara sebagai bentuk pemenuhan (fulfill) kepada rakyat. Negara hadir bukan untuk membubarkan ormas, melainkan hadir mengayomi dan menengahi pergesekan antarormas. Kalaupun pemerintah terpaksa membekukan dan membubarkan sebuah ormas, maka itu melalui pintu pengadilan dan ketuk palu hakim.
Anggota Komisi III DPR RI
PEMERINTAH akhirnya menepati janjinya soal perppu untuk menggantikan UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Tertanggal 10 Juli 2017, Presiden Jokowi resmi menandatangani Perppu Nomor 2/2017 tentang Perubahan UU Ormas. Seperti sudah diduga sebelumnya, perppu tersebut memberikan jalan mulus bagi pemerintah dalam membubarkan ormas-ormas yang dinilai bertentangan dengan ideologi negara.
Ada 18 pasal (63-80) "demokratis" yang dihapuskan. Padahal pasal-pasal tersebut berisikan proses penanganan yang wajib dilakukan pemerintah terhadap ormas-omas bermasalah mulai dari peringatan pembekuan dan pembubaran yang harus melalui pengadilan.
Perppu tersebut sekaligus kelanjutan atas sikap pemerintah yang ingin membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada bulan Mei lalu tanpa melalui proses pengadilan. Dengan keluarnya perppu tersebut, maka otomatis proses pembubaran HTI melalui pengadilan tidak diperlukan.
Saya termasuk yang banyak tidak sependapat dengan ide dan cara-cara HTI menyampaikan pendapatnya. Namun, saya tidak setuju negara dipergunakan untuk kepentingan tertentu menindas dan melanggar hak-hak rakyatnya.
Hak Asasi
Ormas memiliki keterkaitan erat dengan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), khususnya hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Karena itu, reformasi yang mengakhiri rezim otoriterisme Orde Baru memberikan jaminan penuh terhadap hak tersebut dalam perubahan UUD 1945 (lihat Pasal 28E).
Karena merupakan HAM, maka pembubaran ormas sebenarnya adalah sebuah pelanggaran. Sebab itu, kalau melihat konstruksi dari UU Nomor 17/2013 tentang Ormas, terdapat jaminan penghormatan dan perlindungan oleh negara terhadap ormas-ormas yang ada di Indonesia. Jika ingin membubarkan perkumpulan masyarakat, itu pun harus melalui serangkaian tindakan untuk memastikan ormas bersangkutan dibina dan sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan, khususnya Pancasila dan UUD 1945.
Kalau sudah dibina ternyata masih melakukan pelanggaran, apalagi memberikan ancaman disintegrasi bangsa, barulah kemudian dibubarkan, dan itu harus melalui pengadilan sebagai institusi netral. Dengan demikian, perspektif pembubaran ormas dibingkai dengan hukum bukan kekuasaan. Inilah esensi UU Ormas karena negara menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) HAM.
Tirani Konstitusional
Dalam konstruksi negara hukum yang demokratis, tidak boleh ada sedikit pun proses bernegara bersendikan tirani. Tidak boleh ada alat negara yang digunakan untuk menindas hak-hak rakyat. Tidak boleh ada keputusan negara dibuat sendiri tanpa melibatkan rakyat banyak. Negara pun harus dijalankan melalui aturan hukum yang berlaku (rule of law) bersendikan keadilan, ketertiban, dan kebermanfaatan.
Sejatinya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang ditetapkan Presiden adalah bentuk tirani. Karena Presiden bisa mengeluarkan sebuah hukum tingkat tinggi dalam bentuk undang-undang tanpa melalui permusyawaratan dengan rakyat (baca DPR). Atas dasar tirani yang sangat mungkin disalahgunakan, secara sadar pembentuk UUD 1945 dalam Pasal 22 Ayat 1 memberikan syarat bagi Presiden ketika hendak mengeluarkan perppu, yaitu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa serta ada persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya.
Dalam khazanah teoritik, Bagir Manan (2006) menyebut ada dua unsur kegentingan memaksa, pertama adanya krisis dan kedua adanya kemendesakan (emergency). Suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse).
Kemendesakan apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan tanpa menunggu permuswaratan terlebih dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan nyata dan menurut nalar yang wajar (reasonableness), apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan, baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.
Tidak jauh berbeda Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 memberi tiga syarat keluarnya perppu, seperti (i) adanya keadaan, yakni kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; (ii) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Dalam konteks Perppu Ormas yang baru saja disahkan Jokowi, maka kondisi kegentingan memaksa, baik dari segi teoritik maupun syarat dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tidak terpenuhi. Tidak ada krisis yang genting dan mendesak dalam persoalan keormasan.
Tidak ada pula kondisi kekosongan hukum ataupun hukum yang ada tidak memadai dalam persoalan keormasan. Hal lebih penting, DPR sebagai representasi rakyat tidak sedang dalam masa reses ataupun tidak bisa melakukan persidangan dalam waktu lama.
Kalaupun salah satu dasar keluarnya perppu karena UU Ormas belum menganut asas contrarius actus, yakni asas dalam hukum administrasi di mana pemerintah diberikan kewenangan secara formal atau prosedural untuk menetapkan sesuatu dalam bentuk keputusan, maka pemerintah juga diberikan kewenangan melakukan prosedur pencabutan kembali atau pembatalan. Dimaksud di sini adalah pemerintah diberikan kewenangan memberikan pengesahan ormas berbadan hukum sehingga pemerintah juga harus diberikan kewenangan mencabut pengesahan ormas tersebut.
Namun harus diingat, pada dasarnya asas bukanlah suatu norma peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengikat secara mutlak. Bahkan, asas dapat disimpangi untuk kondisi tertentu. Dalam hal ormas, maka asas contrarius actus sengaja tidak diberikan karena berkaitan dengan HAM, sebab negara atas nama kekuasaan dapat menggunakan secara semena-mena asas tersebut.
Dari uraian tersebut, baik aspek prosedur maupun substansi, Perppu Ormas telah melanggar batas-batas yang ditetapkan konstitusi dan HAM. Karena itu, Perppu Ormas ini layak disebut tirani konstitusional.
Tidak Menjawab Persoalan
Selain menghapuskan prosedur dalam proses pembekuan dan pembubaran ormas. Kemudian hanya meninggalkan peringatan (Pasal 61-62) dan langsung pembubaran (Pasal 80), perppu tersebut sebenarnya tidak menjawab persoalan khususnya berkaitan dengan maksud dari ormas dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham bertentangan dengan Pancasila.
Persoalan yang paling mendasar dalam persoalan keormasan saat ini adalah pembinaan dan dialog. Karena ormas berkaitan dengan hak kebebasan berkumpul dan berserikat, termasuk mengeluarkan pendapat, maka keberadaan ormas yang dianggap meresahkan masyarakat seharusnya diproses dengan cara dialog dan pembinaan.
Seharusnya ini yang dilakukan negara sebagai bentuk pemenuhan (fulfill) kepada rakyat. Negara hadir bukan untuk membubarkan ormas, melainkan hadir mengayomi dan menengahi pergesekan antarormas. Kalaupun pemerintah terpaksa membekukan dan membubarkan sebuah ormas, maka itu melalui pintu pengadilan dan ketuk palu hakim.
(whb)