Makna Pertemuan G-20 Tahun 2017

Rabu, 12 Juli 2017 - 08:01 WIB
Makna Pertemuan G-20 Tahun 2017
Makna Pertemuan G-20 Tahun 2017
A A A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
Director & Co-founder, Atma Jaya Institute of Public Policy

KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G-20 di Hamburg, Jerman baru saja usai. Sebagai pertemuan kepala negara dan kepala pemerintahan dari negara-negara yang ekonominya berpengaruh pada stabilitas ekonomi global, muncul pertanyaan tentang makna pernyataan bersama yang muncul dan hasil konkret dari pertemuan G-20.

Jawabannya tidak sesederhana pertanyaannya karena KTT G-20 sarat politik. Misalnya, Amerika Serikat (AS) muncul berkali-kali sebagai salah satu faktor yang mencuri perhatian dalam pertemuan G-20 kali ini.

Presiden Donald Trump adalah orang yang dinanti-nantikan akibat kebijakan America First-nya yang dianggap mengesampingkan kerja sama dengan negara-negara lain, apalagi AS melahirkan serangkaian keputusan yang mengejutkan seperti mundur dari kesepakatan perubahan iklim dan menunda perjanjian multilateral Trans Pacific Partnership (TPP).

Trump mewakili AS yang berdiri berhadap-hadapan dengan 19 negara lain yang berusaha mendorong perdagangan bebas dan keterbukaan pasar. Kehebohan mengantisipasi Trump juga disebabkan karena gesture Trump yang juga ditunjukkan dengan mengunjungi Polandia seminggu sebelum KTT. Polandia adalah salah satu negara di Eropa yang menentang supremasi Uni Eropa (European Union/EU) dan keras terhadap kebijakan Rusia di Eropa Timur.

Hal itu menguatkan kesimpulan bahwa AS sedang menggalang atau membangun blok baru menghadapi Rusia dan juga EU dengan menggunakan isu nasionalisme seperti yang dilakukannya saat kampanye. Meski demikian, ada yang tidak konsisten juga. Para kepala negara di G-20, termasuk AS, menyetujui untuk melawan segala kebijakan proteksionisme dengan melahirkan joint communique (pernyataan bersama) tentang itu.

Pertanyaannya, meskipun klasik atau klise, adalah sejauh mana komitmen ini benar-benar akan dijalankan mengingat setiap negara juga mengedepankan kepentingan dalam negerinya masing-masing?

Pertemuan G-20 ini juga ajang untuk meneguhkan legitimasi dan kredibilitas negara-negara anggota. Indonesia, misalnya, dapat menyoroti keberhasilannya menangani tindak terorisme dengan mengemukakan data dan pendekatan non-militerisme yang membuat hanya sedikit aktor teroris yang relapse (kembali melakukan teror).

China menunjukkan kepemimpinannya sebagai negara komunis yang tetap berjalan di atas garis politik pasar bebas. EU mendorong pasar bebas, tetapi juga menekankan komitmen politik untuk menghentikan perubahan iklim.

Komitmen yang tidak terikat (non-binding) tentu menjadi salah satu ciri pertemuan G-20. Walaupun dihadiri kepala negara, pertemuan ini tetap masuk dalam kategori pertemuan informal. Namun, hal ini tidak mengurangi signifikansi KTT G-20.

Komitmen bersama biasanya dapat menjadi jembatan untuk negosiasi yang lebih luas, seperti misalnya untuk menyukseskan perundingan perubahan iklim, perjanjian-perjanjian multilateral seperti TPP, BRICs atau pemberantasan tindakan terorisme global. Kepala negara penting hadir dan menyatakan sendiri komitmennya agar komitmen yang dinyatakan secara bersama-sama dapat meningkat secara moral dan diimplementasikan di tataran kebijakan domestik.

Implementasi di tingkat domestik ini yang menjadi permasalahan serius akhir-akhir ini. Tidak mudah untuk menyinkronisasi komitmen global di tingkat kebijakan domestik. Misalnya, kebijakan untuk menghentikan penggundulan hutan karena akan berdampak pula pada kebijakan pengentasan kemiskinan di wilayah perdesaan yang tergantung dari industrialisasi perkebunan monokultur, seperti kopi atau kelapa sawit yang selama ini menjadi sasaran kritik negara-negara EU.

Terkait dengan intervensi proteksionisme, misalnya, Evenett dan Fritz dalam laporan mereka, Will Awe Trump Rules? The 21st Global Trade Alert Report, mendata sejumlah kebijakan-kebijakan proteksionis yang telah menghambat keterbukaan pasar di antara negara-negara anggota G-20 sejak 2008 hingga 2017.

Mereka menemukan bahwa negara yang paling intervensif ekonominya dan merugikan kepentingan dagang negara anggota lain di G-20 adalah Amerika. Intervensi ekonomi AS yang menguntungkan anggota G-20 hanya terjadi pada masa pemerintahan periode kedua Barack Obama tahun 2016, sedangkan sisanya, sejak 2013 lebih banyak merugikan. Menurut laporan tersebut, intervensi yang merugikan ini menajam saat pemerintahan Trump.

Di luar masalah ekonomi perdagangan bebas di atas, negara-negara yang menggerakkan ekonomi dunia saat ini, yaitu China, EU, dan AS sedang saling menunggu langkah kebijakan satu dengan yang lain terkait dengan kepentingan seperti yang diungkapkan di atas. Francis Godemant dari European Council on Foreign Relation mengatakan bahwa hubungan segitiga negara ini menjadi penting untuk diperhatikan.

EU sudah sangat jelas posisinya sejak awal, baik dalam pertemuan bilateral maupun multilateral di tingkat kepala negara, yakni mendesak dan ingin terus meliberalisasi pasar-pasar negara lain.

Sementara AS hingga saat ini tampaknya tetap bergeming dengan kebijakan America First dan tidak memberikan sinyal-sinyal positif yang dapat mengonfirmasi permintaan EU untuk berbaris bersama seperti dulu menggalakkan liberalisasi pasar, sedangkan China dengan sikapnya hati-hati mencoba mengambil kebijakan merkantilis dan ambisi bilateralnya dalam mempengaruhi negara-negara mitranya.

Tekanan global terhadap AS untuk mengubah sikapnya agar lebih terbuka sebetulnya telah disampaikan melalui penandatanganan perdagangan bebas antara EU dan Jepang pada Juni lalu.

Kesepakatan perdagangan bebas antara EU dan Jepang disebut sebagai salah satu kesepakatan perdagangan bebas yang penting dan akan mempengaruhi politik dan ekonomi di Asia dan Eropa. Di tengah suasana proteksionis AS dan Brexit, kesepakatan ini seperti genderang perang bagi negara-negara tersebut bahwa perdagangan bebas akan terus berjalan meski tanpa AS dan Inggris.

China bersikap hati-hati untuk tidak mengikuti langkah EU dan Jepang untuk menekan AS atau Inggris. China, misalnya, mengkritik langkah AS karena mengundurkan diri dari Kesepakatan Paris bulan Juni lalu, tetapi mereka tidak mencapai kesepakatan untuk menyatakan kritikan itu secara langsung dan tertulis.

Hal sama terjadi saat pertemuan G-20 kemarin, di mana hampir semua negara menyetujui beberapa pokok komitmen mulai dari penanggulangan terorisme hingga komitmen anti-proteksionis. Pendekatan seperti ini merupakan “gaya” China yang tidak mau menekan kedaulatan negara lain seperti halnya mereka tidak mau ditekan atas kebijakan dalam negerinya.

Terlepas dari pesimisme akan dampak dari meeting G-20 lalu, kita juga melihat ada agenda lain yang menjanjikan dan dapat menguntungkan Indonesia, seperti misalnya terorisme. Kesepakatan untuk menutup dana terorisme secara tidak langsung juga berimplikasi pada kerja sama keterbukaan keuangan dalam soal-soal lain, seperti misalnya dalam hal antikorupsi. Dana terorisme biasanya hasil dari kegiatan shadow ekonomi yang selama ini sulit didata karena kurangnya kerja sama antarnegara dunia.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0306 seconds (0.1#10.140)