Hamdan Zoelva: Demokrasi Semakin Bagus Tanpa Presidential Threshold
A
A
A
BANDUNG - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva berpendapat jika presidential threshold dijalankan maka bertentangan dengan konstitusi. Sistem pemilu serentak juga tidak relevan lagi jika diiringi dengan adanya presidential threshold.
Tanpa presidential threshold, menurutnya justru akan lebih bagus untuk dunia demokrasi Indonesia. Sebab, masyarakat akan memiliki banyak pilihan calon presiden (capres).
"Jadi, sebenarnya, membuka kemungkinan banyak calon bagus juga untuk demokrasi," ujar Hamdan di Kampus Universitas Padjadjaran, Kota Bandung, Senin (10/7/2017).
Menurutnya, cara pandang orang terhadap demokrasi dan presidential threshold akan berbeda. Hal itu akan bergantung dari sisi mana orang itu memandang antara demokrasi dan presidential threshold. Tapi, ia lebih setuju jika presidential threshold ditiadakan agar capres semakin banyak.
"Makanya cara pandangnya bagaimana? Tergantung cara kita melihat. Kalau saya melihat dengan membuka peluang setiap parpol berhak untuk mengajukan pasangan calon, itu demokrasi semakin bagus," ungkapnya.
Jika presidential threshold dijalankan, maka pasangan capres-cawapres yang bertarung hanya akan ada dua hingga tiga pasang saja. "Dan itu menjadi kewenangan mutlak partai-partai politik, dan itu justru menjadi persoalan," ucapnya.
Dia berpandangan, tidak diberlakukannya presidential threshold akan membuat hasrat publik menginginkan adanya calon independen bakal terhenti. Sebab, setiap parpol akan memiliki calonnya sendiri.
"Jadi kalau dibuka secara lebih luas, justru akan mengurangi tuntutan orang untuk tidak adanya calon independen. Karena apa? Karena kalau mau jadi capres, silakan bikin parpol, bisa jadi peserta pemilu. Biar rakyat yang menyeleksi," jelas Hamdan.
Tanpa presidential threshold, menurutnya justru akan lebih bagus untuk dunia demokrasi Indonesia. Sebab, masyarakat akan memiliki banyak pilihan calon presiden (capres).
"Jadi, sebenarnya, membuka kemungkinan banyak calon bagus juga untuk demokrasi," ujar Hamdan di Kampus Universitas Padjadjaran, Kota Bandung, Senin (10/7/2017).
Menurutnya, cara pandang orang terhadap demokrasi dan presidential threshold akan berbeda. Hal itu akan bergantung dari sisi mana orang itu memandang antara demokrasi dan presidential threshold. Tapi, ia lebih setuju jika presidential threshold ditiadakan agar capres semakin banyak.
"Makanya cara pandangnya bagaimana? Tergantung cara kita melihat. Kalau saya melihat dengan membuka peluang setiap parpol berhak untuk mengajukan pasangan calon, itu demokrasi semakin bagus," ungkapnya.
Jika presidential threshold dijalankan, maka pasangan capres-cawapres yang bertarung hanya akan ada dua hingga tiga pasang saja. "Dan itu menjadi kewenangan mutlak partai-partai politik, dan itu justru menjadi persoalan," ucapnya.
Dia berpandangan, tidak diberlakukannya presidential threshold akan membuat hasrat publik menginginkan adanya calon independen bakal terhenti. Sebab, setiap parpol akan memiliki calonnya sendiri.
"Jadi kalau dibuka secara lebih luas, justru akan mengurangi tuntutan orang untuk tidak adanya calon independen. Karena apa? Karena kalau mau jadi capres, silakan bikin parpol, bisa jadi peserta pemilu. Biar rakyat yang menyeleksi," jelas Hamdan.
(kri)