Tantangan Implementasi Gizi Seimbang

Sabtu, 08 Juli 2017 - 08:30 WIB
Tantangan Implementasi Gizi Seimbang
Tantangan Implementasi Gizi Seimbang
A A A
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

PEPATAH mengatakan you are what you eat. Makanan menentukan kualitas hidup anda. Bangsa-bangsa yang sehat dan berumur panjang seperti Jepang dan Korea umumnya menerapkan pola pangan sehat dalam kehidupan masyarakatnya. Bagaimana di Indonesia?

Selama kurang lebih empat dekade, masyarakat Indonesia mengenal Empat Sehat Lima Sempurna sebagai acuan mengonsumsi makanan sehat dan beragam. Slogan ini mudah diingat dan diajarkan kepada anak-anak SD sehingga sangat dikenal masyarakat luas.

Pada tahun 1996, barulah kita mendengar istilah Pedoman Gizi Seimbang yang terdiri 13 pesan dasar konsumsi makanan dan gaya hidup sehat, kemudian pesan-pesannya diperbaharui dan berkurang menjadi 10 pesan pada tahun 2014.

Ada dua pesan yang menyangkut aneka ragam makanan, baik aneka ragam pangan pokok maupun aneka ragam pangan lain yang mendukung asupan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Pesan yang tampak sepele ini ternyata masih sulit diwujudkan oleh masyarakat Indonesia. Mengapa?

Bangsa Indonesia telanjur menjadi konsumen nasi (terbesar di dunia?) dan merasa belum makan bila belum mengonsumsi nasi. Gerakan one day no rice yang pernah dicanangkan Pemkot Depok dan Bandung ternyata kurang bergaung.

Apalagi pada saat PNS di era Orde Baru dulu mendapat jatah beras 10 kg per kepala beserta keluarganya, maka PNS di manapun termasuk di Maluku dan Papua semakin terbiasa mengonsumsi nasi. Padahal pangan pokok asalnya adalah sagu dan ubi jalar.

Pada era reformasi, ada jatah raskin dengan harga sangat murah bagi masyarakat yang kesulitan membeli beras. Ketika didera kesulitan ekonomi, mereka tidak melirik lagi umbi-umbian yang seharusnya dikonsumsi untuk menganekaragamkan konsumsi pangan pokok karena raskin lebih mudah diperoleh. Nasib umbi-umbian semakin terabaikan sebagai pangan potensial pengganti beras.

Bagaimana dengan konsumsi aneka ragam pangan lain? Kalau menggunakan standar WHO, konsumsi sayur dan buah yang dianjurkan adalah 400 gram per kapita per hari. Kenyataannya, kita baru bisa mengonsumsi 110 gram per hari dan diperkirakan lebih dari 95% populasi dewasa Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhannya akan sayur dan buah. Ini benar-benar suatu ironi.

Untuk konsumsi lauk-pauk atau pangan hewani nasibnya setali tiga uang. Bangsa kita masih sangat sedikit porsi konsumsinya. Kita makan daging sapi 1,75 kg/kapita/tahun (Malaysia 15,0 kg), telur 8,9 kg per kapita per tahun (Malaysia 19,4 kg), dan konsumsi susu 13,5 liter/kapita/tahun (Malaysia 53,6 liter; India 48,6 liter; dan Singapura 46,1 liter). Konsumsi ikan diprediksi terus meningkat, tetapi masih kalah jauh dibandingkan dengan Jepang.

Apa dampak gizi ketika suatu bangsa kurang mengonsumsi pangan hewani? Stunting atau lahirnya generasi pendek ada­lah problem nyata yang kini dihadapi Indonesia. Sekitar 37% balita Indonesia mengalami stunting. Ini berarti 4 di antara 10 anak bernasib pendek.

Studi di Bangalore, India, mengung­kap­kan bahwa anak stunting akan mempunyai masalah pada pemusatan perhatian, memori, dan pembelajaran. Selain itu, anak stunting juga mempunyai ukuran lingkar kepala yang lebih kecil. Padahal lingkar kepala merupakan prediktor kuat nilai IQ pada saat anak berusia tujuh tahun. Mau dibawa kemana generasi muda Indonesia?

Bangsa-bangsa yang semakin maju pada umumnya mengonsumsi lebih banyak pangan hewani sebagai sumber protein berkualitas. Pangan hewani secara hukum ekonomi disebut sebagai komoditi atau barang yang elastis. Artinya kenaikan pendapatan suatu masyarakat akan mendorong peningkatan konsumsi pangan hewani tersebut.

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa ketika konsumsi masyarakatnya semakin beragam, maka tekanan terhadap beras juga semakin menurun. Sebagai contoh bangsa Korea mengonsumsi beras hanya 40kg/ kapita/tahun, Jepang 50 kg, Malaysia 80 kg, dan Indonesia paling tinggi 115 kg atau bahkan ada yang menyebutkan 139 kg.

Dalam pesan gizi seimbang versi 2014 telah dimunculkan peringatan untuk membatasi makanan asin, manis, dan berlemak. Ketiga jenis makanan ini bila tidak diwaspadai bisa menjadi bom waktu masalah kesehatan masyarakat akibat merebaknya berbagai penyakit kronis.

Berbagai makanan modern yang diimpor dari negara Barat serta aneka ragam snack yang digemari anak-anak sering kali kaya gula, garam, dan lemak. Orang tua dituntut mendidik anak-anaknya agar melakukan pilihan pangan dengan bijak. Konsumsi makanan bukan melulu persoalan selera, tapi ada hal lebih penting, yaitu risikonya bagi kesehatan.

Pendidikan gizi memang seyogianya diawali di rumah. Dengan men­dorong timbulnya Kadarzi (Keluarga Sadar Gizi), maka akan semakin banyak lahir generasi berkualitas.

Hal penting lainnya dalam implementasi gizi seimbang adalah membiasakan sarapan pagi. Sejumlah 44,6% anak-anak Indonesia sarapan dengan kualitas gizi rendah. Kelengkapan sarapan sebagaimana tercermin dalam Empat Sehat Lima Sempurna nyaris tidak terwujud sama sekali.

Bahkan banyak anak Indonesia hanya sarapan penuh karbohidrat (nasi, bihun, bakwan, kerupuk, dll). Sarapan yang diharapkan bisa menyumbang kebutuhan gizi 25-30% hanya bisa dilaksanakan oleh 10,6% anak Indonesia.

Peneliti dari Harvard School of Public Health (Brown et al. 2008) mengungkapkan dampak buruk tidak sarapan, seperti menurunkan daya konsentrasi, meningkatnya prevalensi kegemukan, dan menggagalkan kebiasaan gizi seimbang untuk meraih prestasi optimal.

Keadaan lapar ketika anak berangkat sekolah memunculkan tendensi: anak menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya, bermasalah dengan guru, atau tidak mau menaati peraturan (Kleinman et al. 1998).

Konsumen Indonesia umumnya mengabaikan label gizi pada makanan kemasan. Ini berbeda dengan konsumen di negara maju yang sudah memperhatikan kandungan kalori, informasi lemak trans, kandungan garam, dan lainnya. Kita baru sebatas sadar akan tanggal kedaluwarsa.

Padahal implementasi gizi seimbang menekankan pentingnya membaca label gizi sehingga kita mengetahui apa yang sesungguhnya kita makan. Di Australia, konon makanan kemasan sudah diberi tanda tick (V) untuk menunjukkan makanan yang bersahabat atau tidak bersahabat dengan penyakit kronis.

Barang kali Pemerintah Indonesia sudah harus memikirkan agar mengedukasi konsumen dengan pemberian label gizi dan tanda yang memudahkan konsumen memilih makanan sehat. Pola makan sehat perlu didukung gaya hidup sehat antara lain dengan aktif berolahraga (pesan terakhir dalam pedoman gizi seimbang).

Olahraga adalah upaya penting menekan kegemukan, menormalkan kolesterol, gula darah, dan tekanan darah. Dengan prevalensi kegemukan pria dewasa 19,7% dan wanita dewasa 32,9% (Ris­kesdas 2013), maka jelas bahwa aktif bergerak dan rutin berolahraga menjadi tuntutan hidup yang harus dipenuhi.

Jajaran kesehatan perlu menyosialisasikan gizi seimbang melalui iklan layanan masyarakat di media cetak, elektronik, dan media sosial. Sebab kalau tidak, pedoman ini hanya akan menjadi macan kertas yang tidak pernah diterapkan masyarakat karena masyarakat tidak pernah tahu apa makna sesungguhnya dari gizi seimbang. Jangan salahkan masyarakat kalau mereka lebih mengenal Empat Sehat Lima Sempurna yang hingga kini masih terpatri di ingatan kita semua.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4117 seconds (0.1#10.140)