Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia
A
A
A
FRANS H WINARTA
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN)/ Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
”KEPADA seluruh masyarakat, seluruh rakyat di seluruh pelosok Tanah Air, saya sampaikan agar semuanya tetap tenang dan menjaga persatuan. Tetapi kita semua juga tetap harus waspada dan bersatu melawan terorisme ini.”
Pernyataan yang tegas dan jelas dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo terhadap aksi pengeboman yang terjadi di Kampung Melayu, Mei 2017, serta aksi teror yang terjadi pada hari raya Idul Fitri di Mapolda Sumatera Utara, Medan.
Terorisme terjadi lagi setelah tahun lalu Indonesia dikejutkan dengan aksi pengeboman yang menggemparkan di Sarinah, Jakarta Pusat. Beberapa waktu yang lalu juga terjadi beberapa serangan terorisme di seluruh dunia, termasuk di Manchester, Inggris.
Terorisme berasal dari bahasa Latin ”terrere” yang berarti membuat takut atau menakut-nakuti. Saat ini, terorisme adalah tantangan utama yang sedang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Kemunculan paham tersebut dipicu oleh paham fanatik, paham radikal, dan paham ekstrem yang dianut oleh sekelompok orang tertentu, dengan motif dan tujuan tertentu.
Di Indonesia, isu yang sedang dihadapi adalah terorisme yang dipicu karena radikalisme agama, seperti yang dinyatakan oleh beberapa akademisi di Indonesia. Aksi teror bom di berbagai daerah di Indonesia sendiri terjadi sejak 1980-an dan menjadi semakin sering terjadi pada 2000-an ke atas.
Resolusi Majelis Umum PBB 49/60 tanggal 9 Desember 1994 menegaskan bahwa terorisme sebagai tindakan pidana yang dimaksudkan untuk memprovokasi suatu keadaan teror di masyarakat umum, sekelompok orang atau orang tertentu untuk tujuan politik dalam keadaan apa pun, tidak bisa dibenarkan, apa pun pertimbangan politik, filosofis, ideologis, ras, etnis, agama, atau lainnya yang mungkin digunakan untuk membenarkannya.
Di Indonesia, banyak faktor yang memicu radikalisme agama menjadi terorisme, antara lain persoalan ekonomi, sosial, politik, persoalan perbedaan ide, serta prinsip yang dapat berujung kepada paham yang anti-Pancasila. Radikalisme agama akan terus tumbuh subur di Indonesia jika negara tidak berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah dan menindak orang-orang dengan paham radikal menggunakan teror bom dan kekerasan yang memorak-porandakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Teror bom yang terjadi di Indonesia dapat dikategorikan oleh Statuta Roma sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dengan cirinya yang meluas (widespread) dan sistematik serta ditujukan terhadap penduduk sipil.
Teror bom tersebut menimbulkan banyak korban meninggal dan luka-luka, serta kesedihan bagi semua orang, khususnya keluarga yang ditinggalkan oleh korban terorisme tersebut. Meski begitu, terorisme tetap ada dan menjadi beban yang harus dihadapi diselesaikan oleh negara-negara di seluruh dunia karena akar dari terorisme belum dapat diatasi dengan maksimal.
Bahkan seperti yang kita ketahui dari media cetak dan elektronik, negara tetangga kita, Filipina, sudah menjadi sasarannya. Sekelompok teroris datang dan mengobrak-abrik kedamaian di Kota Marawi.
Indonesia harus segera bertindak untuk mencegah berpindahnya sel-sel pendukung terorisme tersebut ke negara ini. Ladang pertempuran sudah berpindah ke Asia Tenggara sehingga langkah-langkah strategis harus dilakukan oleh Polri dan TNI untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi di negara ini.
Upaya yang Sebaiknya Dilakukan
Banyak upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi persoalan terorisme dengan segala kompleksitasnya di Indonesia. Upaya-upaya ini harus dilakukan dengan pola pendekatan yang holistik yang mencakup pengamatan badan intelijen, penanganan oleh Polri dan TNI, pertahanan dan keamanan oleh TNI, serta dukungan total dari rakyat.
Sementara terkait dengan upaya pencegahan, salah satunya RUU Anti-Terorisme mendesak untuk segera disahkan, tapi harus tetap berpijak kepada due process of law yang mengutamakan prinsip fair trial. RUU Anti-Terorisme diisukan berkiblat kepada Internal Security Act /ISA (UU Keamanan Dalam Negeri) tahun 1960 yang dimiliki oleh Singapura.
Namun perlu diketahui, banyak operasi penegakan hukum yang berujung kepada penahanan sewenang-wenang terhadap banyak orang hingga pada 1980-an di Singapura atas dasar ISA.
Selama bertahun-tahun sejak 1960, ISA disalahgunakan untuk mengakomodasi kepentingan politik semata, seperti memberangus disiden (lawan politik).
Namun selama belasan tahun terakhir, upaya pencegahan terorisme melalui ISA sedikitnya berhasil dilakukan untuk melawan jaringan terorisme yang masuk ke negara tersebut. Walaupun begitu, banyak pihak yang tidak setuju dengan ISA dan mengusulkan untuk digantikan dengan UU Anti-Terorisme yang baru.
Di Indonesia, ketentuan mengenai penahanan tanpa proses peradilan (detention without trial) harus dipikirkan secara matang karena akan menimbulkan persoalan baru lainnya. Apakah sebaiknya RUU Anti-Terorisme tetap mengakomodasi ketentuan tersebut? Hak asasi manusia sebaiknya tidak dipertentangkan dengan hak negara (nationnations right). Keduanya harus berjalan bersama dalam mencegah dan menanggulangi terorisme di negara ini. Karena tujuan utamanya adalah memberikan akses kepada penegak hukum untuk bertindak sebelum teror tersebut terjadi dan memakan korban lebih banyak lagi.
Kemudian, yang perlu digalakkan oleh pemerintah adalah kecintaan rakyat terhadap falsafah bangsa ini, yaitu Pancasila. Proses deradikalisasi terhadap para terduga radikalis, ekstremis, dan teroris dengan doktrin-doktrin yang berujung kepada penolakan Pancasila sebagai ideologi bangsa juga diperlukan untuk mencegah paham anti-Pancasila menyebar dan terpatri ke dalam masyarakat.
Di sisi lain, TNI diharapkan dapat bersinergi dengan Polri dalam menjaga keutuhan NKRI, seperti yang diamanatkan oleh UU TNI. Hal ini dilakukan dengan cara memperkuat pertahanan di perbatasan negara dalam rangka melindungi keamanan nasional negara.
Upaya pencegahan terorisme merupakan hal yang perlu diprioritaskan dalam RUU Anti-Terorisme. Pencegahan ini penting dilakukan oleh penegak hukum sebelum teror terjadi sehingga kerusakan besar dapat dihindari. Tak lupa, perlu ada ketentuan pidana mengenai WNI yang pergi ke negara lain untuk menjalani pelatihan perang ataupun rekrutmen lain terkait terorisme.
Selain itu, upaya penindakan juga harus bisa dilakukan terhadap orang-orang yang kembali ke Tanah Air setelah pergi ke negara-negara konflik yang sudah terbukti menjadi pusat berbagai aktivitas jaringan terorisme internasional. Ini berarti UU Anti-Terorisme nantinya harus didukung pula oleh UU Imigrasi yang sekarang belum dapat dimaksimalkan.
Mengenai mekanisme penanganan pendanaan, pencucian uang, serta pembekuan seketika (freezing without delay) aset-aset teroris juga harus diatur secara detail. Apalagi ketentuan hukum mengenai pembekuan seketika (freezing without delay) aset teroris belum terpenuhi karena undang-undang menyatakan pembekuan aset teroris harus dilakukan melalui pengadilan.
Mekanisme ini harus didukung oleh Kemenlu RI, Kepolisian RI, BNPT, dan PPATK, serta lembaga terkait lain. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah yang dibantu oleh banyak pihak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme di negara ini.
Berbagai macam aksi teror, termasuk teror bom yang terjadi di negara ini, harus segera berakhir dan tidak boleh dibiarkan terjadi lagi aksi teror yang mengerikan serta menimbulkan kerusakan dan kesedihan di tengah masyarakat.
Republik Indonesia diharapkan memimpin negara-negara ASEAN dalam memerangi terorisme serta dapat bahu membahu menanggulangi teror tersebut. Misalnya dengan melalui cara kerja sama antar-institusi kepolisian atau militer dengan negara-negara ASEAN ataupun dengan mengirimkan bantuan militer dalam bentuk pelatihan militer serta bantuan kesehatan dan logistik kepada negara yang membutuhkan, contohnya Filipina.
Terorisme, apa pun latar belakangnya, motifnya adalah untuk menimbulkan kepanikan, ketakutan, dan kehancuran di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Namun, ingatlah apa yang diucapkan oleh Dalai Lama: ”Love and compassion are necessities, not luxuries. Without them humanity cannot survive.”
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN)/ Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
”KEPADA seluruh masyarakat, seluruh rakyat di seluruh pelosok Tanah Air, saya sampaikan agar semuanya tetap tenang dan menjaga persatuan. Tetapi kita semua juga tetap harus waspada dan bersatu melawan terorisme ini.”
Pernyataan yang tegas dan jelas dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo terhadap aksi pengeboman yang terjadi di Kampung Melayu, Mei 2017, serta aksi teror yang terjadi pada hari raya Idul Fitri di Mapolda Sumatera Utara, Medan.
Terorisme terjadi lagi setelah tahun lalu Indonesia dikejutkan dengan aksi pengeboman yang menggemparkan di Sarinah, Jakarta Pusat. Beberapa waktu yang lalu juga terjadi beberapa serangan terorisme di seluruh dunia, termasuk di Manchester, Inggris.
Terorisme berasal dari bahasa Latin ”terrere” yang berarti membuat takut atau menakut-nakuti. Saat ini, terorisme adalah tantangan utama yang sedang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Kemunculan paham tersebut dipicu oleh paham fanatik, paham radikal, dan paham ekstrem yang dianut oleh sekelompok orang tertentu, dengan motif dan tujuan tertentu.
Di Indonesia, isu yang sedang dihadapi adalah terorisme yang dipicu karena radikalisme agama, seperti yang dinyatakan oleh beberapa akademisi di Indonesia. Aksi teror bom di berbagai daerah di Indonesia sendiri terjadi sejak 1980-an dan menjadi semakin sering terjadi pada 2000-an ke atas.
Resolusi Majelis Umum PBB 49/60 tanggal 9 Desember 1994 menegaskan bahwa terorisme sebagai tindakan pidana yang dimaksudkan untuk memprovokasi suatu keadaan teror di masyarakat umum, sekelompok orang atau orang tertentu untuk tujuan politik dalam keadaan apa pun, tidak bisa dibenarkan, apa pun pertimbangan politik, filosofis, ideologis, ras, etnis, agama, atau lainnya yang mungkin digunakan untuk membenarkannya.
Di Indonesia, banyak faktor yang memicu radikalisme agama menjadi terorisme, antara lain persoalan ekonomi, sosial, politik, persoalan perbedaan ide, serta prinsip yang dapat berujung kepada paham yang anti-Pancasila. Radikalisme agama akan terus tumbuh subur di Indonesia jika negara tidak berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah dan menindak orang-orang dengan paham radikal menggunakan teror bom dan kekerasan yang memorak-porandakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Teror bom yang terjadi di Indonesia dapat dikategorikan oleh Statuta Roma sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dengan cirinya yang meluas (widespread) dan sistematik serta ditujukan terhadap penduduk sipil.
Teror bom tersebut menimbulkan banyak korban meninggal dan luka-luka, serta kesedihan bagi semua orang, khususnya keluarga yang ditinggalkan oleh korban terorisme tersebut. Meski begitu, terorisme tetap ada dan menjadi beban yang harus dihadapi diselesaikan oleh negara-negara di seluruh dunia karena akar dari terorisme belum dapat diatasi dengan maksimal.
Bahkan seperti yang kita ketahui dari media cetak dan elektronik, negara tetangga kita, Filipina, sudah menjadi sasarannya. Sekelompok teroris datang dan mengobrak-abrik kedamaian di Kota Marawi.
Indonesia harus segera bertindak untuk mencegah berpindahnya sel-sel pendukung terorisme tersebut ke negara ini. Ladang pertempuran sudah berpindah ke Asia Tenggara sehingga langkah-langkah strategis harus dilakukan oleh Polri dan TNI untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi di negara ini.
Upaya yang Sebaiknya Dilakukan
Banyak upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi persoalan terorisme dengan segala kompleksitasnya di Indonesia. Upaya-upaya ini harus dilakukan dengan pola pendekatan yang holistik yang mencakup pengamatan badan intelijen, penanganan oleh Polri dan TNI, pertahanan dan keamanan oleh TNI, serta dukungan total dari rakyat.
Sementara terkait dengan upaya pencegahan, salah satunya RUU Anti-Terorisme mendesak untuk segera disahkan, tapi harus tetap berpijak kepada due process of law yang mengutamakan prinsip fair trial. RUU Anti-Terorisme diisukan berkiblat kepada Internal Security Act /ISA (UU Keamanan Dalam Negeri) tahun 1960 yang dimiliki oleh Singapura.
Namun perlu diketahui, banyak operasi penegakan hukum yang berujung kepada penahanan sewenang-wenang terhadap banyak orang hingga pada 1980-an di Singapura atas dasar ISA.
Selama bertahun-tahun sejak 1960, ISA disalahgunakan untuk mengakomodasi kepentingan politik semata, seperti memberangus disiden (lawan politik).
Namun selama belasan tahun terakhir, upaya pencegahan terorisme melalui ISA sedikitnya berhasil dilakukan untuk melawan jaringan terorisme yang masuk ke negara tersebut. Walaupun begitu, banyak pihak yang tidak setuju dengan ISA dan mengusulkan untuk digantikan dengan UU Anti-Terorisme yang baru.
Di Indonesia, ketentuan mengenai penahanan tanpa proses peradilan (detention without trial) harus dipikirkan secara matang karena akan menimbulkan persoalan baru lainnya. Apakah sebaiknya RUU Anti-Terorisme tetap mengakomodasi ketentuan tersebut? Hak asasi manusia sebaiknya tidak dipertentangkan dengan hak negara (nationnations right). Keduanya harus berjalan bersama dalam mencegah dan menanggulangi terorisme di negara ini. Karena tujuan utamanya adalah memberikan akses kepada penegak hukum untuk bertindak sebelum teror tersebut terjadi dan memakan korban lebih banyak lagi.
Kemudian, yang perlu digalakkan oleh pemerintah adalah kecintaan rakyat terhadap falsafah bangsa ini, yaitu Pancasila. Proses deradikalisasi terhadap para terduga radikalis, ekstremis, dan teroris dengan doktrin-doktrin yang berujung kepada penolakan Pancasila sebagai ideologi bangsa juga diperlukan untuk mencegah paham anti-Pancasila menyebar dan terpatri ke dalam masyarakat.
Di sisi lain, TNI diharapkan dapat bersinergi dengan Polri dalam menjaga keutuhan NKRI, seperti yang diamanatkan oleh UU TNI. Hal ini dilakukan dengan cara memperkuat pertahanan di perbatasan negara dalam rangka melindungi keamanan nasional negara.
Upaya pencegahan terorisme merupakan hal yang perlu diprioritaskan dalam RUU Anti-Terorisme. Pencegahan ini penting dilakukan oleh penegak hukum sebelum teror terjadi sehingga kerusakan besar dapat dihindari. Tak lupa, perlu ada ketentuan pidana mengenai WNI yang pergi ke negara lain untuk menjalani pelatihan perang ataupun rekrutmen lain terkait terorisme.
Selain itu, upaya penindakan juga harus bisa dilakukan terhadap orang-orang yang kembali ke Tanah Air setelah pergi ke negara-negara konflik yang sudah terbukti menjadi pusat berbagai aktivitas jaringan terorisme internasional. Ini berarti UU Anti-Terorisme nantinya harus didukung pula oleh UU Imigrasi yang sekarang belum dapat dimaksimalkan.
Mengenai mekanisme penanganan pendanaan, pencucian uang, serta pembekuan seketika (freezing without delay) aset-aset teroris juga harus diatur secara detail. Apalagi ketentuan hukum mengenai pembekuan seketika (freezing without delay) aset teroris belum terpenuhi karena undang-undang menyatakan pembekuan aset teroris harus dilakukan melalui pengadilan.
Mekanisme ini harus didukung oleh Kemenlu RI, Kepolisian RI, BNPT, dan PPATK, serta lembaga terkait lain. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah yang dibantu oleh banyak pihak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme di negara ini.
Berbagai macam aksi teror, termasuk teror bom yang terjadi di negara ini, harus segera berakhir dan tidak boleh dibiarkan terjadi lagi aksi teror yang mengerikan serta menimbulkan kerusakan dan kesedihan di tengah masyarakat.
Republik Indonesia diharapkan memimpin negara-negara ASEAN dalam memerangi terorisme serta dapat bahu membahu menanggulangi teror tersebut. Misalnya dengan melalui cara kerja sama antar-institusi kepolisian atau militer dengan negara-negara ASEAN ataupun dengan mengirimkan bantuan militer dalam bentuk pelatihan militer serta bantuan kesehatan dan logistik kepada negara yang membutuhkan, contohnya Filipina.
Terorisme, apa pun latar belakangnya, motifnya adalah untuk menimbulkan kepanikan, ketakutan, dan kehancuran di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Namun, ingatlah apa yang diucapkan oleh Dalai Lama: ”Love and compassion are necessities, not luxuries. Without them humanity cannot survive.”
(dam)