Urbanisasi dan Kedaulatan Pangan

Rabu, 05 Juli 2017 - 09:15 WIB
Urbanisasi dan Kedaulatan...
Urbanisasi dan Kedaulatan Pangan
A A A
Posman Sibuea
Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara, Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Di tengah upaya pemerintah membangun kedaulatan pangan yang kuat, diperkirakan jutaan orang dari desa berimigrasi ke sejumlah kota besar di Tanah Air setelah Lebaran. Mereka meninggalkan desa-sentra pembangunan kedaulatan pangan- karena sektor pertanian sulit diandalkan untuk sandaran hidup. Perpindahan mereka, lazim disebut urbanisasi, sejalan dengan peribahasa ada gula ada semut. Ketika kehidupan kian pahit di desa, se­balik­nya, kota menjanjikan yang lebih manis, maka dipastikan kota banjir "semut" pendatang baru dari desa.

Padahal, masyarakat berharap menjelang tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK arus urbanisasi harus berkurang secara signifikan. Saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi-JK menjanjikan kepada rakyat peningkatan kesejahteraan lewat program menarik seperti Poros Maritim, Nawacita, dan Trisakti.

Dari sembilan butir Nawacita, setidaknya empat butir bersentuhan langsung dengan politik kedaulatan pangan. Yakni butir 3: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa; butir 5: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; butir 6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bang­kit; juga butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan ekonomi domestik.

Belum Berhasil
Program membangun dari pinggiran, dari daerah dan desa, belum menunjukkan hasil sesuai harapan. Hal ini diperlihatkan oleh masih tingginya laju migrasi penduduk dari desa ke kota. Padahal, pemerintah telah menggelontorkan banyak dana untuk menggerakkan mesin pembangunan daerah. Dana transfer daerah ditambah dana desa, total mencapai Rp770 triliun dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rp2.000 triliun.

Urbanisasi yang menjadi masalah klasik tahunan untuk kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan penyelesai­annya belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya, yakni kemiskinan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan besarnya kesenjangan tingkat pendapatan antara warga desa dan kota mendorong arus urbanisasi semakin sulit dibendung dan jumlah kaum urban bertambah secara signifikan setiap tahun.

Jumlah warga miskin dan berpotensi untuk miskin di Indonesia masih tetap tinggi meski pemerintah acap menyebut angka kemiskinan menurun setiap tahun. Sekadar menyebut contoh, 2015, angka kemiskinan menurun menjadi 28,51 juta jiwa dari 31,02 juta jiwa pada 2010. Dari segi jumlah, penduduk kategori miskin berkurang dengan garis kemiskinan (pengeluaran per orang per bulan) sebesar Rp259.520.

Kinerja pemerintahan Jokowi-JK dalam memerangi kemiskinan memang tergolong kurang dahsyat. Dalam dua tahun terakhir, mereka belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Saat Kabinet Kerja mengawali roda pemerintahannya pada 2014, angka kemiskinan nasional bertengger pada posisi 27,72 juta jiwa. Padahal, kemampuan anggaran negara sangat besar untuk memberi energi pengurangan angka kemiskinan.

Rapor merah pemerintah Indonesia dalam mengurangi jumlah kemiskinan dan mengatrol tingkat pendapatan masyarakat desa semakin terang benderang jika disandingkan dengan prestasi negara lain. Tiongkok, sebagai serpihan contoh, pemerintahnya mempunyai rekam jejak yang baik dalam penurunan angka kemiskinan. Data Bank Dunia (2005) menunjukkan penduduk Tiongkok dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari sebesar 36,3%. Sementara di Indonesia, yang memulai pembangunan ekonomi lebih awal, ternyata pada 2014 jumlah penduduk dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari masih 50,9%.

Lantas pertanyaannya, pelajaran apa yang patut dipetik dari keberhasilan pemerintah Tiongkok mengurangi laju kemiskinan penduduknya? Jurus jitu pemerintah Negara Tirai Bambu ini dalam memerangi kemiskinan adalah dengan menggenjot percepatan pembangunan pertanian dan kedaulatan pangan yang melibat­kan penduduk miskin di perdesaan.

Kembali ke Desa
Seiring dengan itu, pemerintahan Jokowi harus segera melakukan koreksi kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan lewat jurus baru kebangkitan pertanian pangan. Data terkini dari BPS menyebutkan bahwa kontribusi makanan terhadap garis kemiskinan masih amat besar. Sekitar tiga perempat pengeluaran orang miskin masih dialokasikan untuk pembelian makanan. Implikasinya, jika masyarakat miskin bisa memproduksi sendiri kebutuhan pangan keluarga, sudah pasti mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, jika harus membeli, apalagi sumbernya dari impor, mereka akan mengalami proses pemiskinan yang lebih buruk di tengah inflasi tinggi yang didorong kian mahalnya harga bahan makanan.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, inflasi bahan makanan relatif sangat tinggi. Warga miskin, meski hampir 65% tinggal di desa, sebagian besar me­reka adalah buruh tani yang sayangnya memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan membeli. Ironis! Bermukim di sentra-sentra pertanian, namun untuk memenuhi kebutuhan pangan, mereka tidak mandiri.

Pertanyaannya, adakah yang salah dengan pembangunan pertanian kita? Mengapa kebijakan pembangunan pertanian tetap memiskinkan petani di desa? Di tengah usia kemerdekaan sudah 72 tahun, pemerintah masih gagal menyejahterakan petani dan mereka harus bereksodus ke kota untuk mengais rezeki. Dalam periode sepuluh tahun belakangan ini, jumlah petani gurem berkurang hampir 5,0 juta rumah tangga (BPS, 2013). Mereka keluar dari sektor pertanian karena terpaksa mengingat pertanian tak lagi menjanjikan perbaikan penghidupan. Petani kecil di desa termarginalisasi, digilas roda pembangunan hedonis kapitalistik. Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis, yakni ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat makin rapuh.

Petani semakin dimiskinkan oleh regulasi pemerintah yang permisif dengan pangan impor. Pangan produk petani lokal kalah bersaing dengan berbagai pangan impor seperti buah, beras, jagung, bawang, dan berbagai pangan impor lainnya. Kita terjebak dalam ruang dan sistem pangan impor yang amat mahal. Hampir 75% dari kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor dan devisa negara terkuras ratusan triliun rupiah setiap tahun untuk mengimpor kebutuhan dasar ini. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun sejumlah pabrik pupuk dan industri benih unggul di Tanah Air. Kita hidup di negeri yang konon dipuja-puji subur dan makmur, namun belum berdaulat di bidang pangan.

Oleh karena itu "Gerakan Kembali ke Desa" sebagai wujud kebangkitan pertanian, patut menjadi kampanye nasional untuk mendorong percepatan pembangunan desa berbasis kedaulatan pangan. Gerakan ini harus terus disuarakan ke seluruh provinsi dan kabupaten sebagai model pembangunan berbasis kerakyatan. Gerakan ini harus diiringi dengan sinergi kebijakan yang diformat secara komprehensif dan terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.

Lewat dana desa yang relatif besar jika digunakan secara efektif, gerakan ini akan berhasil. Sektor pertanian dari hulu ke hilir akan mampu menyediakan lapangan kerja baru di perdesaan. Sejarah akan mencatat bahwa langkah konkret pemerintahan Jokowi membangun pertanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan akan sukses mengerem laju urbanisasi.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5266 seconds (0.1#10.140)