Implementasi Program Lima Hari Sekolah

Selasa, 04 Juli 2017 - 10:08 WIB
Implementasi Program...
Implementasi Program Lima Hari Sekolah
A A A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel,
Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) akhirnya bersikap untuk menengahi kontroversi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23/2017 tentang Hari Sekolah. Jokowi menegaskan akan memperkuat Permendikbud 23/2017 dalam bentuk peraturan presiden (perpres) sebagai bagian program penguatan karakter bangsa melalui pendidikan.

Bagi kelompok yang setuju, penegasan Jokowi penting karena sejak awal Presiden memang tidak berniat untuk membatalkan permendikbud. Yang dilakukan Presiden justru memberikan payung hukum yang lebih kuat terhadap program penguatan karakter bagi peserta didik sebagaimana dimaksud Permendikbud 23/2017. Sementara mereka yang menolak berpandangan bahwa permendikbud telah dibatalkan Presiden melalui rencana penerbitan perpres.

Terlepas dari perbedaan persepsi kelompok yang pro dan kontra, Kemendikbud menegaskan untuk mengimplementasikan Permendikbud 23/2017 hingga menunggu perpres. Itu berarti program Lima Hari Sekolah (LHS) sebagaimana diatur dalam Permendikbud tentang Hari Sekolah akan dijalankan secara bertahap mulai tahun ajaran 2017-2018. Program LHS juga sejalan dengan hari kerja aparatur sipil negara (ASN/PNS).

Dalam sejumlah kesempatan, Mendikbud Muhadjir Effendy juga menegaskan bahwa program LHS sesungguhnya telah disetujui dalam rapat terbatas (ratas) yang diikuti menteri terkait. Ratas yang dilaksanakan pada 21 Februari 2017 itu bahkan dipimpin langsung Jokowi. Dengan begitu, Permendikbud tentang Hari Sekolah sejatinya merupakan tindak lanjut dari notulensi ratas.

Di samping mengatur hari sekolah, permendikbud juga menekankan pentingnya gerakan penguatan pendidikan karakter (PPK). Sejak 2016 Kemendikbud telah merancang program PPK untuk sejumlah sekolah sasaran (piloting). Gerakan PPK dirancang secara fleksibel melalui aktivitas di sekolah dan luar sekolah. Guru juga memiliki kebebasan untuk menanamkan nilai-nilai karakter melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.

Bagi sekolah yang belum siap mengimplementasikan permendikbud tidak perlu khawatir. Seperti dikemukakan dalam Permendikbud 23/2017, kebijakan lima hari sekolah dilakukan secara bertahap (Pasal 9 ayat 1). Sasaran tahap awal adalah sekolah negeri-swasta yang masuk kategori piloting. Strategi piloting untuk memastikan kesiapan ekosistem sekolah dan sarana prasarana. Jadi, tidak benar jika dikembangkan pemahaman bahwa semua sekolah wajib mengimplementasikan permendikbud.

Permendikbud juga menekankan pentingnya sinergi sekolah dengan keluarga dan masyarakat. Kolaborasi tripusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) penting untuk menginternalisasi nilai-nilai karakter peserta didik. Kemendikbud telah menetapkan lima nilai utama karakter yang harus dimiliki, yakni religius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong-royong. Kemendikbud memastikan gerakan PPK sejalan dengan filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar menekankan pentingnya harmonisasi empat dimensi pendidikan, yakni olah hati (etik), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi), dan olahraga (kinestetik).

Implementasi PPK dirancang berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat. Dengan cara ini, permendikbud menjadi payung hukum kerja sama sekolah dan masyarakat. Misalnya, untuk menanamkan nilai-nilai karakter religius pada peserta didik, sekolah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam penyelenggara kegiatan keagamaan. Dalam permendikbud ditegaskan bahwa kegiatan keagamaan yang dimaksud meliputi madrasah diniyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, karakterisasi, retreat, serta baca tulis Alquran dan kitab suci lain (Pasal 5 ayat 7). Berarti, permendikbud justru memperkuat posisi pendidikan keagamaan, termasuk madrasah diniyah (madin).

Permendikbud juga menegaskan bahwa durasi delapan jam di sekolah tidak harus dimaknai peserta didik selalu berada di kelas. Internalisasi nilai-nilai karakter dapat dilaksanakan di dalam sekolah maupun luar sekolah (Pasal 6 ayat 1). Ketentuan ini menjawab kekhawatiran sebagian pihak bahwa peserta didik akan jenuh berada di sekolah selama delapan jam. Dengan berseloroh, mendikbud mengatakan setan pun tidak kuat delapan jam di kelas. Apalagi, faktanya masih banyak sekolah belum memiliki sarana prasarana memadai.

Melalui permendikbud, tugas guru tersertifikasi juga lebih mudah dalam memenuhi kewajiban jam mengajar. Selama ini guru tersertifikasi berkewajiban untuk mengajar 24 jam tatap muka per minggu. Bagi guru tersertifikasi di sekolah berkategori menengah ke bawah, pemenuhan 24 jam sangat sulit. Itu karena jumlah rombongan belajar di setiap kelas terbatas. Dampaknya, banyak guru terpaksa mengajar di sekolah lain untuk memenuhi kewajiban. Itu dilakukan karena jika tidak memenuhi, tunjangan profesi pendidik (TPP) guru tidak terbayar.

Skema dalam permendikbud memungkinkan guru untuk memenuhi kewajiban 24 jam. Penghitungannya tidak hanya berdasar jam mengajar di kelas. Waktu guru mendampingi siswa di luar sekolah juga terhitung jam mengajar. Jika guru mendampingi siswa belajar di madin dan taman pendidikan Alquran (TPA), dapat dikonversi layaknya mengajar di kelas. Jika guru mendampingi peserta didik kursus sesuai minat dan bakat atau kegiatan seni-budaya dan olahraga, semua aktivitas dapat dihitung jam mengajar. Skema ini merupakan solusi sehingga guru jujur dengan pemenuhan 24 jam mengajar.

Selain mengajak siswa ke penggiat pendidikan di masyarakat, sekolah juga dapat menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan informal dan nonformal. Guru madin, TPA, kursus, penggiat seni-budaya, olahraga, dan bentuk pendidikan komunitas lain dapat diundang ke sekolah sebagai guru tamu. Dengan cara ini berarti ada kemitraan yang saling memperkuat antara sekolah dan penggiat pendidikan di masyarakat.

Untuk menyukseskan gerakan penguatan karakter melalui kemitraan dengan tripusat pendidikan, sekolah dapat mengalokasikan anggaran dari bantuan operasional sekolah (BOS). Pendanaan kegiatan juga dapat ditanggung bersama sekolah dan masyarakat, termasuk dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa penguatan karakter melalui program LHS akan memberangus berbagai jenis pendidikan yang dilaksanakan masyarakat.

Persoalan mendesak yang harus disiapkan Kemendikbud adalah petunjuk teknis (juknis) implementasi LHS. Jika Kemendikbud mengimplementasikan permendikbud mulai tahun ajaran baru secara bertahap untuk sekolah piloting , juknis harus segera diselesaikan. Semua kritik terhadap rencana implementasi Permendikbud tentang Hari Sekolah harus dilihat sebagai energi positif untuk mewujudkan generasi berkarakter.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0570 seconds (0.1#10.140)