Memeriksa Hasrat Mudik

Jum'at, 23 Juni 2017 - 11:35 WIB
Memeriksa Hasrat Mudik
Memeriksa Hasrat Mudik
A A A
Ahmad Sahidah PhD
Dosen Senior Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia

PEMANDANGAN menjelang Lebaran mengulang kejadian serupa saban tahun, hiruk-pikuk orang berbondong-bondong ke kampung halaman dengan menggunakan pelbagai moda angkutan, baik darat, laut maupun udara. Media massa elektronik dan cetak akan merekam peristiwa ini sebagai hasrat orang kota kembali ke desa dengan berbagai kisah suka dan duka. Mereka ingin merasakan kembali masa kecil dan cerita memilukan yang menyertai perjalanan ke masa lalu.

Hasrat yang membuncah ini pun ditangkap oleh perusahaan, organisasi, dan partai politik. Acara mudik gratis pun ditawarkan. Tanpa ada pesan politik gamblang, lambang, benda, dan logo ditempel di badan angkutan adalah isyarat yang terang-benderang. Bagi penikmat, fasilitas ini adalah berkah tanpa terbebani utang budi, mengekor kehendak pemberi. Apa pun motifnya, tindakan filantropis ini penting untuk meneguhkan tanggung jawab sosial dari pelbagai pihak. Ia telah menggerakkan sekrup mesin ekonomi merata ke segala arah.

Namun sebagian besar yang lain memilih menggunakan kendaraan sendiri, baik mobil maupun motor. Bagi yang agak berduit, kendaraan roda empat bukan sekadar angkutan, tetapi juga gengsi dan prestasi. Demikian pula sepeda motor juga melambangkan citra tertentu bagi kelas bawah. Pendek kata, setiap pemudik akan menafsirkan peristiwa ini dengan pelbagai cara. Menunjukkan kesuksesan kepada keluarga dan tetangga, sebuah gejala fetisisme komoditas Karl Marx. Namun, lebih jauh, ada kerinduan yang juga penting ditimbang. Pesona kampung memaksa mereka untuk pulang.

Mudik adalah cara kita menemukan diri dalam solidaritas sosial. Setelah tinggal lama di kota yang terbelenggu dengan rutinitas, para pemudik ingin menemukan kembali makna hidup bersama orang lain, dalam banyak kesempatan dan tempat. Dulu mereka bertemu teman dan tetangga dalam kenduri, tahlilan, pesta, dan hari besar. Para pemudik mungkin ingin menyusuri kembali tempat-tempat mereka merenda kegiatan sehari-hari seperti sungai, sawah, lapangan umum. Mungkin mereka kecewa karena tanda-tanda itu telah tergerus oleh pembangunan, tetapi aroma masa kecil menyeruak sehingga kesenangan terkuak.

Tapi adakah mudik sekadar pengulangan yang dibarengi dengan ketidakefisienan? Analisis Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) menunjukkan bahwa besaran uang yang beredar selama sebulan pada mudik tahun 2016 berkisar Rp142 triliun. Sayangnya, betapapun duit ini menggerakkan nadi ekonomi desa, kebanyakan dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif. Demikian pula remitansi buruh migran menguap dengan konsumerisme dan demonstrasi gaya hidup urban yang tak menyentuh ke­bu­tuhan paling utama: pendidikan dan kesehatan.

Lagipula adakah pulang kampung bisa menghadirkan masa lalu? Ya, sebagai nostalgia ia menempel pada sejumlah situs dan kenangan. Namun dalam The Journals, 1843, Kierkegaard berkata bahwa it is perfectly true, as philosophers says, that life must be understood backwards; but they forget the other proposition, that it must be lived forwards. Jika kehidupan orang ramai perlu dibayangkan pada masa depan, adakah akumulasi biaya sosial dan ritual mudik tak pernah ditimbang untuk mena­han diri dengan menunda sejenak dari tradisi?

Lagipula sebagian pemudik yang telah lama hidup di kota beranak-pinak di tempat baru. Masa kecil anaknya adalah urban. Pelik, anak-anak itu juga mesti mudik untuk mengikuti orang tuanya yang hendak merawat masa lalunya. Demikian pula buruh migran yang menuruti kebiasaan ini harus merogoh kocek yang dalam, sementara kontrak mereka terbatas, sehingga tak bisa menyimpan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti rumah, alih-alih untuk investasi, seperti membuka usaha atau membeli sawah.

Justru jika mudik dilihat sebagai pengalihan dari kejenuhan di kota yang dibelenggu kecuekan, kepulangan semestinya menghadirkan keakraban dengan tetangga melalui silaturahmi. Namun, perlahan tapi pasti, kampung tak seperti dulu lagi. Rumah-rumah kini berpagar dengan fasilitas yang memungkinkan penghuninya mengeram di rumah seraya menutup pintu rapat-rapat. Berbeda dengan dulu, kediaman di­biar­kan terbuka dan tanpa dikelilingi pagar. Mesin pompa mematikan sumur, tempat warga menimba air seraya bercengkerama dengan jiran.

Belum lagi banyak budaya yang menyatukan warga perlahan tapi pasti musnah. Samman atau ruddat yang dulu mengumpulkan warga untuk berzikir seraya bergerak naik turun berirama tak lagi dilakukan. Teknologi media telah memaku warga untuk merawat hubungan dengan manusia melalui media sosial. Mereka berhibur dengan biaya mahal dengan tujuan mengunggah gambar swafoto. Tak pelak, kenikmatan tak lagi hadir secara nyata, sebab tujuannya hadir di dunia maya.

Lalu kalau banyak situs memori raib dan kehidupan kampung tak jauh berbeda dengan kota, adakah mudik masih bisa hadir secara murni? Kita khawatir manusia sejatinya lari dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menemukan ketenangan dan kesentosaan. Mereka yang tinggal di kota merasa kesunyian tinggal di desa, tapi pada waktu yang sama mereka menutup pintu rumahnya selama 24 jam seraya menghadirkan kesepian yang lain.

Untuk itu nilai Idul Fitri perlu disegarkan. Dengan makna hari berbuka dan janji perjumpaan dengan Tuhan, sejatinya menjadi manusia tak menyangkal kebutuhan lahiriah. Namun perjumpaan dengan Tuhan mewujud dengan iman, manakala keimanan itu diwujudkan secara konkret melalui hubungan baik dengan tetangga. Keadaan ini bisa direalisasi dengan berjamaah sebagai sarana untuk bertemu dengan jiran tanpa dibebani kepentingan. Dengan melakukan ini secara deontologis, hubungan manusia tak lagi dibelenggu oleh citraan yang menjadikan mereka berjarak secara psikologis karena perbedaan sosial dan status.

Sejauh ini hanya tempat ibadah yang membuat orang bisa duduk tepekur tanpa diganggu oleh telepon pintar. Di sana ia bisa menemukan dirinya dalam keheningan dan setelah itu bersua dengan tetangga, sebab individu bisa hidup dengan utuh bersama orang lain (mitzein). Jika pada bulan Ramadan umat bisa meluangkan waktu ke masjid, keberhasilan puasa bisa dilihat pada hal serupa di luar bulan yang suci ini.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5349 seconds (0.1#10.140)