PDIP: Gagasan Bung Karno Representasi Perpaduan Islam dan Nasionalis

Rabu, 21 Juni 2017 - 22:14 WIB
PDIP: Gagasan Bung Karno...
PDIP: Gagasan Bung Karno Representasi Perpaduan Islam dan Nasionalis
A A A
JAKARTA - Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) MPR menggelar Haul Bung Karno ke-47 sekaligus peluncuran buku berjudul Bung Karno, Islam Dan Pancasila, karya Ahmad Basarah.

Haul dan peluncuran buku dilakukan tepat pada hari wafat Bung Karno, 21 Juni. Basarah selaku Ketua Fraksi PDIP di MPR dan sekaligus penulis buku mengatakan, setidaknya ada tiga peristiwa penting dalam bulan Juni ini bagi Bung Karno.

Pertama, hari kelahiran Bung Karno tanggal 6 Juni 1901. Kedua, Hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 dan ketiga, 21 Juni 1970 Bung Karno wafat.

"Oleh karena itu, dalam internal keluarga besar PDIP kami selalu memperingati bulan Juni ini sebagai Bulan Bung Karno," kata Basarah dalam sambutan acara Haul dan Peluncuran Buku Bung Karno, Islam Dan Pancasila,diselenggarakan di Gedung Nusantara IV Kompleks MPR/DPR, Rabu (21/6/2017).

Hadir sejumlah tokoh dalam acara itu diantaranya Ketua Umum PDIP yang juga Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPD Oesman Sapta Odang, Ketua MK Arief Hidayat, Menko PMK Puan Maharani, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menkumham Yasonna H laoly. Hadir juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan jajaran pimpinan Fraksi PDIP.

Basarah menyampaikan 47 tahun lalu Bung Karno wafat karena penyakit yang dideritanya sebagai akibat tekanan psikis dan politik oleh penguasa pada waktu itu. Bung Karno wafat dalam status sebagai tahanan politik setelah diisolasi dari dunia luar di Wisma Yaso Jakarta.

“Bung Karno pergi meninggalkan kita semua dengan membawa beban yang amat berat bagi diri dan keluarga serta pengikut-pengikutnya karena telah dituduh berkhianat kepada bangsa dan negara yang beliau dirikan sendiri bersama tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya," ujarnya.

Setelah melewati masa yang panjang selama 45 tahun, kata Basarah, barulah Pemerintah Republik Indonesia mengakui kekeliruanya telah menuduh Bung Karno berkhianat kepada bangsa dan negaranya.

Koreksi terhadap keputusan politik negara yang keliru melalui TAP MPRS XXXIII tahun 1967 itu, akhirnya dilakukan melalui penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno dengan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2012 tanggal 7 November 2012.

Sementara terkait dengan buku yang ditulisnya dengan judul Bung Karno, Islam dan Pancasila, Basarah menjelaskan buku tersebut berisi tentang sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan Bung Karno, khususnya pemikiran tentang Islam dan Nasionalisme serta keterkaitannya dengan proses sejarah, eksistensi dan kedudukan hukum Pancasila dalam sistem hukum nasional serta penggunaan Pancasila sebagai tolok ukur dalam pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar NKRI 1945 di Mahkamah Konstitusi.

“Pilihan judul buku yang bertajuk Bung Karno, Islam dan Pancasila juga sengaja kami pilih untuk menggambarkan secara umum substansi materi buku tersebut. Uraian tentang dimensi keislaman Bung Karno kami ulas dalam rangka meletakkan kembali secara proporsional tentang jati diri, perkembangan pemikiran, orientasi, sikap serta warisan-warisan keislaman Bung Karno yang selama ini banyak tidak diketahui dengan baik oleh masyarakat Indonesia,” tuturnya.

Basarah menyampaikan, materi tentang dimensi keislaman Bung Karno juga sengaja dijadikan judul buku dimaksudkan sebagai jawaban atas berbagai tuduhan yang hingga saat ini masih sering dilontarkan beberapa pihak yang mempropagandakan Bung Karno sebagai seorang sekuler atau antiagama, bahkan seorang komunis.

“Pendapat bahwa Bung Karno adalah seorang santri memang sangat tepat. Karena terbentuknya konstruksi pemikiran awal kenegaraan Bung Karno justru dibentuk oleh pemikiran Islam,” ujarnya.

Momentum itu diperoleh ketika ayah Bung Karno, Raden Sukemi Sosrodihardjo menitipkan Soekarno remaja pada usia 16 tahun di rumah seorang tokoh Islam besar pada masa itu dan pendiri organisasi Sarikat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto di Kelurahan Peneleh, kecamatan Genteng, Kota Surabaya.

Di Pondokan HOS Tjokroaminoto itu, kata dia, Bung Karno rajin berdiskusi dan membaca buku-buku tentang Islam dan berdiskusi, bukan hanya dengan HOS Tjokroaminoto tetapi juga dengan tokoh-tokoh Islam pejuang kemerdekaan lainnya yang sering berkunjung ke rumah HOS Tjokroaminoto.

Kemudian, lanjut Basarah, saat Bung Karno dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Ende Flores tahun 1934-1938, Bung Karno melengkapi dahaga keislamannya dengan membaca buku-buku tentang Islam serta berkorespondensi dengan Ahmad Hassan, tokoh Persis dari Bandung.

Bahkan ketika Belanda mengasingkan Bung Karno ke Bengkulu, Bung Karno diangkat menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu tahun1938-1943.

Dengan pisau analisa pemikirannya itu kemudian Bung Karno melakukan penggalian terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Hasil penggalian terhadap nilai-nilai asli kepribadian bangsa Indonesia itulah yang kemudian dikonseptualisasikan dan dipersembahkan sebagai mutiara terpendam kepada bangsa dan negara Indonesia.

"Mutiara terpendam" itu kemudian dipidatokannya pada saat sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 yang agendanya membahas dasar negara Indonesia merdeka dan Bung Karno memberi nama lima dasar falsafah Indonesia merdeka itu dengan nama Pancasila.

Basarah menyampaikan, mengacu apa yang menjadi gagasan Bung Karno, golongan Islam dan golongan nasionalisme ibarat dua rel kereta api yang harus berdampingan dengan kokoh dan seimbang. Jika salah satu relnya patah, kata dia, bukan hanya kereta api yang berada di atasnya tidak dapat mengantarkan penumpangnya sampai ke tujuan.

Akibat fatalnya, kata dia, kereta api itu akan terjungkal dan mencelakakan para penumpang yang ada di dalamnya. "Kalau Islam dan nasionalisme dipisahkan atau diadu-domba maka hancurlah Indonesia," tutur Wakil Sekretaris Jenderal PDIP ini.

Oleh karena itu, Basarah menambahkan, bangsa Indonesia patut bersyukur karena telah diwariskan oleh para pendiri negara sebuah dasar dan ideologi negara yang kualitasnya telah melampaui ideologi bangsa-bangsa lain di dunia.

"Pancasila lebih baik dari manifesto komunis karena punya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila lebih baik dari paham liberalisme/kapitalisme karena punya sila Keadilan Sosial dan Pancasila juga lebih baik dari sistem khilafah karena punya sila Persatuan Indonesia," tutur Basarah.

Ketua MPR Zulkifli Hasan mengapresiasi karya Basarah yang dianggapnya sebagai salah satu karya yang bisa menjadi panduan dalam membumikan Pancasila.

Apresiasi senada juga disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua MK Arief Hidayat saat didaulat memberikan sambutan.

Arief menyebut buku karya Basarah yang merupakan hasil penelitian untuk program doktornya merupakan salah satu yang terbaik
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5372 seconds (0.1#10.140)