Ada Apa dengan Qatar?
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
Senior Advisor, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
BERITA dikucilkannya Qatar oleh tujuh negara yang tergabung di Dewan Kerja Sama untuk negara Arab di Teluk (Gulf Cooperation Council) telah mengejutkan banyak pihak. Namun, fenomena itu sebetulnya tidak mengherankan. Politik Timur Tengah yang tidak stabil selalu akan membuka peluang lahirnya ketegangan-ketegangan baru seperti yang dialami oleh Qatar.
Tidak ada yang dapat menjamin ketegangan semacam ini tidak akan terjadi di masa depan. Oleh sebab itu, kita tidak perlu panik atau bertanya-tanya apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan krisis yang terjadi kecuali mengkhawatirkan nasib WNI yang bekerja di wilayah tersebut.
Selain itu, pemutusan hubungan diplomatik oleh Arab Saudi, sebagai negara yang mengambil inisiatif pertama kali untuk mengucilkan Qatar, bukanlah yang pertama terjadi. Arab Saudi pernah memanggil pulang duta besarnya dari Doha pada tahun 2002 karena stasiun televisi milik pemerintah Qatar, Al-Jazeera, mengadakan talkshow dengan mengundang warga Saudi yang kritis terhadap pihak keluarga kerajaan.
Saudi baru mengirimkan kembali duta besarnya pada 2007 setelah mendapat jaminan bahwa Qatar, khususnya Al-Jazeera, tidak lagi mengkritik atau menyinggung keluarga kerajaan yang memimpin Arab Saudi.
Saya melihat hubungan Qatar dengan negara-negara lain yang tergabung di GCC dapat diumpamakan seperti hubungan kakak-beradik di dalam sebuah keluarga. Arab Saudi sebagai saudara yang dituakan di Timur Tengah, hidup berdampingan dengan adik-adiknya yang memiliki kepentingan ekonomi dan politiknya masing-masing.
Salah satu adik yang mungkin terlalu menonjol dan berusaha untuk keluar dari bayang-bayang kakaknya adalah Qatar. Qatar yang 50 tahun lalu masih negara paling miskin di kawasan tersebut, menjadi negara terkaya setelah menemukan cadangan gas dan pada 2006 bisa menggantikan posisi Indonesia sebagai pengekspor gas LNG terbesar di dunia.
Alasan Qatar untuk tampil beda dan kadang-kadang memiliki pendapat berbeda dari kakak-kakaknya, terutama Arab Saudi, tidak lepas dari kelemahan geografis negara tersebut di antara negara-negara lain di Timur Tengah. Qatar (luasnya 11.571 km2) memiliki wilayah yang lebih luas dari Bahrain (765 km2).
Luasnya kira-kira dua kali luas Jakarta. Ia terjepit di antara Arab Saudi dan Iran yang tidak hanya besarnya paling luas di antara negara-negara Timur Tengah, tetapi juga saling bertolak belakang di bidang pandangan politik.
Qatar menyadari bahwa posisinya sangat rentan. Ia tidak mungkin memusuhi Iran, tetapi juga tidak bisa terlalu dekat dengan Arab Saudi. Oleh sebab itu, Qatar mengembangkan open door policy yaitu sebuah kebijakan politik luar negeri yang memihak ke semua pihak, playing all fields (Nuruzzuman 2015a).
Pendekatan memihak ke semua pihak berbeda dengan pendekatan tidak memihak. Pendekatan tidak memihak cenderung lebih pasif dan baru terlibat ketika diundang.
Sementara pendekatan memihak ke semua pihak mensyaratkan partisipasi aktif Qatar dalam membangun relasi dan hubungan baik kepada para sekutu di Timur Tengah sekaligus dengan musuh-musuh mereka.
Qatar aktif dan berperan di dalam GCC bersama Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Arab Saudi, Oman, Qatar, Yaman, dan tetapi juga akrab dengan Ikhwanul Muslimin (IM) yang masuk dalam daftar organisasi teroris di Arab Saudi dan Bahrain. Qatar juga menjalin hubungan dengan Kubu Houthi yang beraliran Syiah dan saat ini masih berperang dengan Kubu Hadi yang didukung GCC.
Qatar juga pernah membangun hubungan baik dengan Israel, namun juga menyediakan tempat di Doha bagi Hamas, musuh abadi Israel dari Palestina. Qatar menjalin kerja sama yang erat dengan Iran terutama dalam proyek eksplorasi minyak bumi dan gas, tetapi juga menyediakan The Al-Udeid Air Base untuk kepentingan militer Amerika Serikat di Timur Tengah.
Hubungan-hubungan itu membuat pengaruh Qatar dapat semakin meluas tidak hanya di wilayah Timur Tengah tetapi juga dalam panggung Internasional.
Qatar memanfaatkan modal hubungan baik ke semua pihak itu dengan berperan aktif sebagai mediator dalam beberapa konflik (kamrava 2011: Barakat 2014; Nuruzzaman 2015b). Qatar misalnya menjadi mediator antara pemerintah Yaman dan pemberontak Houthi (2008).
Qatar juga menjadi penghubung komunikasi di Libanon antara pemerintah yang beraliran Suni dan kelompok oposisi Hizbullah yang beraliran Syiah (2008). Qatar memfasilitasi gencatan senjata antara pemerintah Sudah dan Kelompok pemberontak Darfur (2010) yang kemudian diperbarui dengan kesepakatan baru di tahun 2011.
Qatar juga memfasilitasi negosiasi antara kelompok yang berselisih paham dan senjata di Palestina antara Fatah dan Hamas. Qatar bahkan pernah memfasilitasi pembicaraan antaran Taliban, Afganistan dan AS. Sebuah prestasi yang mengangkat derajat Qatar di mata Internasional.
Meski demikian, Qatar juga tidak selalu berperan menjadi teman semua pihak dan mediator perdamaian di beberapa kasus. Perubahan peran itu terutama dalam sikap Qatar dalam gerakan Arab Springs di beberapa negara. Contohnya, Qatar memusuhi rezim Khadafi dan mendukung kelompok oposisi yang melawan Khadafi.
Dukungan itu terutama dalam bantuan keuangan, pelatihan, ekonomi dan senjata kepada kelompok oposisi yang melawan pemerintahan Khadafi di tahun 2011. Qatar yang adalah negara kecil memimpin koalisi Liga Arab untuk menaklukkan pemerintahan resmi di Libya.
Salah satu perubahan sikap Qatar yang menuai kecaman dari negara-negara Teluk adalah ketika Qatar membela Ikhwanul Muslimin (IM) dan mengecam penggulingan kekuasaan Mursi oleh Abd El-Fattah El-Sisi dari militer (2013). Bagi Arab Saudi dan negara-negara kerajaan lain di Timur Tengah, IM adalah organisasi yang mengancam politik dinasti yang sudah bertahun-tahun berkuasa. Siapa yang mendukung IM artinya juga menentang kekuasaan yang berkuasa di Timur Tengah.
Qatar juga menolak untuk berpihak kepada pemerintahan Suriah yang dipimpin oleh Bashar al-Assad dan lebih mendukung para pemberontak. Qatar tidak secara langsung menyerang Al-Assad tetapi menyediakan jutaan dolar AS uang dan senjata kepada para pemberontak. Qatar juga membantu mengorganisir kelompok pemberontak dan oposisi bersatu dalam Syrian National Council (SNC) dan mengganti posisi Suriah di Liga Arab.
Meski demikian, organisasi payung ini juga tidak efektif dalam proses negosiasi dengan pemerintah Suriah karena kurangnya dukungan dari Arab Saudi dan negara Teluk lainnya. Alasan kurangnya dukungan kemungkinan karena kecurigaan Arab Saudi dan UEA bahwa di dalam SNC terdapat unsur-unsur IM yang dikhawatirkan akan menguat apabila mereka dapat masuk dalam pemerintahan transisi di Suriah (Kristian Coates Ulrichsen 2014).
Ini juga adalah salah satu faktor mengapa negosiasi di antara kelompok pemberontak dan antara kelompok pemberontak terhadap pemerintah Suriah selalu gagal.
Beberapa analis (Khatib 2013; Kristian Coates Ulrichsen 2014, Barakat 2012) menyimpulkan untuk sementara ini bahwa perubahan peran dari kebijakan yang memihak semua pihak menjadi partisan membuat citra Qatar yang sebelumnya dikenal sebagai pihak yang terlihat “netral” menjadi diragukan.
Meskipun banyak negara yang tidak suka atau kesal dengan sikap Qatar yang memihak semua pihak, mereka tidak merasa terancam karena meyakini bahwa Qatar tidak akan melakukan lebih dari pada perannya sebagai mediator. Keyakinan itu mulai goyah ketika Qatar banyak membina hubungan dengan kelompok-kelompok oposisi yang berpotensi menuntut “demokrasi” di negara-negara Timur tengah seperti di Tunisia, Mesir, Yordania, Irak.
Oleh karena itu, saya melihat pengucilan Qatar oleh tujuh negara harus kita lihat sebagai upaya mereka untuk “mendisiplinkan” Qatar agar tidak terlalu jauh melangkah dan bermain dalam politik internasional. Blokade ekonomi dan pemutusan hubungan diplomatik juga kita bisa tangkap sebagai pesan bahwa Qatar tidak akan dapat hidup tanpa dukungan dari negara-negara sekitar terutama Arab Saudi, UEA, dan Bahrain yang berbatasan langsung dengan Qatar.
Walaupun ada keterlibatan Iran dan Turki yang menggalang solidaritas untuk Qatar, dua negara yang sebetulnya saling bermusuhan, jalan keluar dari pengucilan ini bergantung pada Qatar itu sendiri. Apakah Qatar akan kembali menjalankan dan membatasi perannya sebagai mediator dengan kebijakan open-policy-nya atau tetap akan aktif memperluas dan memperdalam pengaruhnya di kalangan oposisi, terutama mendorong menguatnya IM di negara-negara di Timur Tengah?
Menurut hemat saya, dengan situasi ini, kita perlu bijak menunggu negara-negara yang berselisih untuk mencari titik temu di antara mereka sendiri dan belum perlu mengambil langkah khusus untuk merespons isu Qatar. Kunci penyelesaiannya ada di Qatar dan negara-negara yang mengelilinginya. Ini justru perkembangan menarik tentang dinamika perkembangan politik kawasan Timur Tengah.
Pengamat Hubungan Internasional
Senior Advisor, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
BERITA dikucilkannya Qatar oleh tujuh negara yang tergabung di Dewan Kerja Sama untuk negara Arab di Teluk (Gulf Cooperation Council) telah mengejutkan banyak pihak. Namun, fenomena itu sebetulnya tidak mengherankan. Politik Timur Tengah yang tidak stabil selalu akan membuka peluang lahirnya ketegangan-ketegangan baru seperti yang dialami oleh Qatar.
Tidak ada yang dapat menjamin ketegangan semacam ini tidak akan terjadi di masa depan. Oleh sebab itu, kita tidak perlu panik atau bertanya-tanya apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan krisis yang terjadi kecuali mengkhawatirkan nasib WNI yang bekerja di wilayah tersebut.
Selain itu, pemutusan hubungan diplomatik oleh Arab Saudi, sebagai negara yang mengambil inisiatif pertama kali untuk mengucilkan Qatar, bukanlah yang pertama terjadi. Arab Saudi pernah memanggil pulang duta besarnya dari Doha pada tahun 2002 karena stasiun televisi milik pemerintah Qatar, Al-Jazeera, mengadakan talkshow dengan mengundang warga Saudi yang kritis terhadap pihak keluarga kerajaan.
Saudi baru mengirimkan kembali duta besarnya pada 2007 setelah mendapat jaminan bahwa Qatar, khususnya Al-Jazeera, tidak lagi mengkritik atau menyinggung keluarga kerajaan yang memimpin Arab Saudi.
Saya melihat hubungan Qatar dengan negara-negara lain yang tergabung di GCC dapat diumpamakan seperti hubungan kakak-beradik di dalam sebuah keluarga. Arab Saudi sebagai saudara yang dituakan di Timur Tengah, hidup berdampingan dengan adik-adiknya yang memiliki kepentingan ekonomi dan politiknya masing-masing.
Salah satu adik yang mungkin terlalu menonjol dan berusaha untuk keluar dari bayang-bayang kakaknya adalah Qatar. Qatar yang 50 tahun lalu masih negara paling miskin di kawasan tersebut, menjadi negara terkaya setelah menemukan cadangan gas dan pada 2006 bisa menggantikan posisi Indonesia sebagai pengekspor gas LNG terbesar di dunia.
Alasan Qatar untuk tampil beda dan kadang-kadang memiliki pendapat berbeda dari kakak-kakaknya, terutama Arab Saudi, tidak lepas dari kelemahan geografis negara tersebut di antara negara-negara lain di Timur Tengah. Qatar (luasnya 11.571 km2) memiliki wilayah yang lebih luas dari Bahrain (765 km2).
Luasnya kira-kira dua kali luas Jakarta. Ia terjepit di antara Arab Saudi dan Iran yang tidak hanya besarnya paling luas di antara negara-negara Timur Tengah, tetapi juga saling bertolak belakang di bidang pandangan politik.
Qatar menyadari bahwa posisinya sangat rentan. Ia tidak mungkin memusuhi Iran, tetapi juga tidak bisa terlalu dekat dengan Arab Saudi. Oleh sebab itu, Qatar mengembangkan open door policy yaitu sebuah kebijakan politik luar negeri yang memihak ke semua pihak, playing all fields (Nuruzzuman 2015a).
Pendekatan memihak ke semua pihak berbeda dengan pendekatan tidak memihak. Pendekatan tidak memihak cenderung lebih pasif dan baru terlibat ketika diundang.
Sementara pendekatan memihak ke semua pihak mensyaratkan partisipasi aktif Qatar dalam membangun relasi dan hubungan baik kepada para sekutu di Timur Tengah sekaligus dengan musuh-musuh mereka.
Qatar aktif dan berperan di dalam GCC bersama Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Arab Saudi, Oman, Qatar, Yaman, dan tetapi juga akrab dengan Ikhwanul Muslimin (IM) yang masuk dalam daftar organisasi teroris di Arab Saudi dan Bahrain. Qatar juga menjalin hubungan dengan Kubu Houthi yang beraliran Syiah dan saat ini masih berperang dengan Kubu Hadi yang didukung GCC.
Qatar juga pernah membangun hubungan baik dengan Israel, namun juga menyediakan tempat di Doha bagi Hamas, musuh abadi Israel dari Palestina. Qatar menjalin kerja sama yang erat dengan Iran terutama dalam proyek eksplorasi minyak bumi dan gas, tetapi juga menyediakan The Al-Udeid Air Base untuk kepentingan militer Amerika Serikat di Timur Tengah.
Hubungan-hubungan itu membuat pengaruh Qatar dapat semakin meluas tidak hanya di wilayah Timur Tengah tetapi juga dalam panggung Internasional.
Qatar memanfaatkan modal hubungan baik ke semua pihak itu dengan berperan aktif sebagai mediator dalam beberapa konflik (kamrava 2011: Barakat 2014; Nuruzzaman 2015b). Qatar misalnya menjadi mediator antara pemerintah Yaman dan pemberontak Houthi (2008).
Qatar juga menjadi penghubung komunikasi di Libanon antara pemerintah yang beraliran Suni dan kelompok oposisi Hizbullah yang beraliran Syiah (2008). Qatar memfasilitasi gencatan senjata antara pemerintah Sudah dan Kelompok pemberontak Darfur (2010) yang kemudian diperbarui dengan kesepakatan baru di tahun 2011.
Qatar juga memfasilitasi negosiasi antara kelompok yang berselisih paham dan senjata di Palestina antara Fatah dan Hamas. Qatar bahkan pernah memfasilitasi pembicaraan antaran Taliban, Afganistan dan AS. Sebuah prestasi yang mengangkat derajat Qatar di mata Internasional.
Meski demikian, Qatar juga tidak selalu berperan menjadi teman semua pihak dan mediator perdamaian di beberapa kasus. Perubahan peran itu terutama dalam sikap Qatar dalam gerakan Arab Springs di beberapa negara. Contohnya, Qatar memusuhi rezim Khadafi dan mendukung kelompok oposisi yang melawan Khadafi.
Dukungan itu terutama dalam bantuan keuangan, pelatihan, ekonomi dan senjata kepada kelompok oposisi yang melawan pemerintahan Khadafi di tahun 2011. Qatar yang adalah negara kecil memimpin koalisi Liga Arab untuk menaklukkan pemerintahan resmi di Libya.
Salah satu perubahan sikap Qatar yang menuai kecaman dari negara-negara Teluk adalah ketika Qatar membela Ikhwanul Muslimin (IM) dan mengecam penggulingan kekuasaan Mursi oleh Abd El-Fattah El-Sisi dari militer (2013). Bagi Arab Saudi dan negara-negara kerajaan lain di Timur Tengah, IM adalah organisasi yang mengancam politik dinasti yang sudah bertahun-tahun berkuasa. Siapa yang mendukung IM artinya juga menentang kekuasaan yang berkuasa di Timur Tengah.
Qatar juga menolak untuk berpihak kepada pemerintahan Suriah yang dipimpin oleh Bashar al-Assad dan lebih mendukung para pemberontak. Qatar tidak secara langsung menyerang Al-Assad tetapi menyediakan jutaan dolar AS uang dan senjata kepada para pemberontak. Qatar juga membantu mengorganisir kelompok pemberontak dan oposisi bersatu dalam Syrian National Council (SNC) dan mengganti posisi Suriah di Liga Arab.
Meski demikian, organisasi payung ini juga tidak efektif dalam proses negosiasi dengan pemerintah Suriah karena kurangnya dukungan dari Arab Saudi dan negara Teluk lainnya. Alasan kurangnya dukungan kemungkinan karena kecurigaan Arab Saudi dan UEA bahwa di dalam SNC terdapat unsur-unsur IM yang dikhawatirkan akan menguat apabila mereka dapat masuk dalam pemerintahan transisi di Suriah (Kristian Coates Ulrichsen 2014).
Ini juga adalah salah satu faktor mengapa negosiasi di antara kelompok pemberontak dan antara kelompok pemberontak terhadap pemerintah Suriah selalu gagal.
Beberapa analis (Khatib 2013; Kristian Coates Ulrichsen 2014, Barakat 2012) menyimpulkan untuk sementara ini bahwa perubahan peran dari kebijakan yang memihak semua pihak menjadi partisan membuat citra Qatar yang sebelumnya dikenal sebagai pihak yang terlihat “netral” menjadi diragukan.
Meskipun banyak negara yang tidak suka atau kesal dengan sikap Qatar yang memihak semua pihak, mereka tidak merasa terancam karena meyakini bahwa Qatar tidak akan melakukan lebih dari pada perannya sebagai mediator. Keyakinan itu mulai goyah ketika Qatar banyak membina hubungan dengan kelompok-kelompok oposisi yang berpotensi menuntut “demokrasi” di negara-negara Timur tengah seperti di Tunisia, Mesir, Yordania, Irak.
Oleh karena itu, saya melihat pengucilan Qatar oleh tujuh negara harus kita lihat sebagai upaya mereka untuk “mendisiplinkan” Qatar agar tidak terlalu jauh melangkah dan bermain dalam politik internasional. Blokade ekonomi dan pemutusan hubungan diplomatik juga kita bisa tangkap sebagai pesan bahwa Qatar tidak akan dapat hidup tanpa dukungan dari negara-negara sekitar terutama Arab Saudi, UEA, dan Bahrain yang berbatasan langsung dengan Qatar.
Walaupun ada keterlibatan Iran dan Turki yang menggalang solidaritas untuk Qatar, dua negara yang sebetulnya saling bermusuhan, jalan keluar dari pengucilan ini bergantung pada Qatar itu sendiri. Apakah Qatar akan kembali menjalankan dan membatasi perannya sebagai mediator dengan kebijakan open-policy-nya atau tetap akan aktif memperluas dan memperdalam pengaruhnya di kalangan oposisi, terutama mendorong menguatnya IM di negara-negara di Timur Tengah?
Menurut hemat saya, dengan situasi ini, kita perlu bijak menunggu negara-negara yang berselisih untuk mencari titik temu di antara mereka sendiri dan belum perlu mengambil langkah khusus untuk merespons isu Qatar. Kunci penyelesaiannya ada di Qatar dan negara-negara yang mengelilinginya. Ini justru perkembangan menarik tentang dinamika perkembangan politik kawasan Timur Tengah.
(poe)