Salah Kalkulasi May

Selasa, 13 Juni 2017 - 08:39 WIB
Salah Kalkulasi May
Salah Kalkulasi May
A A A
Firman Noor
Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI,
Research Fellow pada IAIS,
University of Exeter

KETIKA April lalu Theresa May menawarkan snap election (pemilu lebih awal) kepada parlemen, banyak kalangan percaya dia ada dalam posisi yang amat kuat. Memimpin sekitar 20% di bulan itu dari pesaing terdekatnya Partai Buruh, May yakin akan gampang memenangi pemilu yang dapat memudahkannya, kemudian mengambil langkah-langkah spesifik dalam proses negosiasi antara Inggris dan Uni Eropa mengenai Brexit.

Namun dalam perkembangannya, partai-partai pesaing mampu melakukan perlawanan yang berarti. Hasilnya, setelah 50 hari kampanye, rakyat Inggris memutuskan Partai Konservatif tetap menjadi pemenang dengan memperoleh 318 kursi atau 49% dari total kursi, turun 2% dari pemilu sebelumnya. Disusul kemudian berturut-turut oleh Partai Buruh (262 kursi), Scottish National Party/SNP (35 kursi), Liberal Demokrat (12 kursi), Democratic Unionist Party/DUP (10 kursi), Sinn Fein (7 kursi), Plaid Cymru (4 kursi), Partai Hijau (1 kursi), dan Independen (1 kursi).

Berbeda dengan Konservatif yang mengalami penurunan sebesar 13 kursi, Partai Buruh mampu mendapat tambahan hingga 30 kursi. Partai yang terakhir berkuasa pada 2010 ini mampu mengatasi ketertinggalan dengan cepat dari jarak 20% di akhir April menjadi akhirnya hanya 8% kurang dari dua bulan kemudian.

Hasil cukup baik diperoleh Lib-Dem dan DUP setelah pada Pemilu 2015 keduanya hanya mampu memperoleh 8 kursi. Namun Lib-Dem mengalami kehilangan besar setelah Nick Clegg, mantan pemimpin partai, kalah dalam pemilihan di Sheffield Hallam. Sinn Feinn dan Plaid Cymru, yang merupakan partai besar di Irlandia Utara dan Wales, juga mengalami peningkatan suara meski tidak besar.

Jika ada partai populer lain yang kecewa pada pemilu kali ini selain Konservatif, tentu saja itu adalah SNP dan UKIP (United Kingdom Independence Party). Meski tetap menjadi partai terbesar di Skotlandia, SNP mengalami kegagalan dengan penurunan yang cukup tajam sekitar 21 kursi. Hasil pemilihan ini memberikan pesan jelas bahwa gagasan SNP untuk Referendum Kedua sebagai pintu masuk keluar dari Inggris Raya tidak diminati mayoritas masyarakat Skotlandia.

Adapun UKIP yang dikenal sebagai partai anti-imigran, sepeninggal Nigel Farage, menjadi amat limbung. Kehilangan tokoh sentral Farage telah membuat partai menjadi seolah mati suri dengan tidak mendapat satu kursi pun di parlemen. Bahkan pemimpin baru partai Paul Nuttall juga gagal melenggang ke Westminster. Tidak sedikit pendukung UKIP yang mengaku mengalihkan suaranya ke Konservatif.

Faktor Kebijakan atau Kepribadian?
Hasil pemilu banyak ditentukan faktor kepribadian kandidat atau program kebijakannya. Kedua faktor itu dalam pemilu kali ini memegang peran penting. Dalam hal jatuhnya suara Konservatif, faktor kebijakan partai ini yang belakangan makin tidak ramah bagi kebanyakan kalangan, terutama menengah dan bawah, memainkan peran yang signifikan.

Kebijakan itu termasuk pemotongan anggaran terkait perlindungan sosial (social care) dan terutama isu tentang Dementia Tax yang ditafsirkan publik sebagai potensi hilangnya tempat tinggal sebagai konsekuensi biaya perawatan atau kesehatan, khususnya bagi kalangan usia lanjut.

Selain itu citra May sendiri yang digambarkan oportunis, dari seorang penolak Brexit menjadi pendukung hard Brexit, juga membentuk sudut pandang yang negatif. Hanya saja Konservatif lagi-lagi tertolong dengan keberadaan kalangan grey voters yang secara umum adalah kalangan usia lanjut yang jumlahnya terus meningkat.

Sementara dalam konteks keberhasilan Partai Buruh, selain karena kebijakan partai yang nyata prorakyat, termasuk misalnya program menambah 30 miliar poundsterling untuk Pelayanan Kesehatan Nasional (NHS), juga lantaran citra moncer Corbyn sebagai figur yang konsisten memperjuangkan ide-ide alternatif untuk kepentingan orang kebanyakan.

Meski kerap idenya dianggap old fashion dan kekiri-kirian, sikap konsisten Corbyn sejak lebih dari dua dekade untuk terus memperjuangkan hal yang tidak umum itu mencuri banyak perhatian. Pembawaannya yang terbuka, gemar berdialog, dan ”ideologis” akhirnya banyak mendapat simpati, termasuk dari pihak yang dulu menentangnya.

Dukungan datang juga dari kalangan muda. Mayoritas kalangan ini menyatakan mendukung Corbyn yang dianggap sebagai sosok politikus yang mewakili kepentingan generasi muda dan tidak terpenjara oleh stigma ”politisi standar”.

Hung Parliament dan Konsekuensinya
Hasil pemilihan ini mengulang apa yang terjadi pada 2010 dengan terciptanya hung parliament. Ini terjadi karena tidak ada satu pun partai yang menjadi mayoritas di parlemen, yang dalam konteks politik Inggris ditandai dengan setidaknya memiliki 326 kursi di parlemen. Pada 2010 persoalan diselesaikan dengan terbentuknya pemerintahan koalisi Konservatif dan Lib-Dem.

Kali ini hampir pasti Konservatif akan melakukan hal yang sama dengan mengajak DUP, partai sayap kanan, dan penguasa di Irlandia Utara menjadi partner pemerintah. Kedua partai ini sedikit banyak memiliki banyak kesamaan pandangan, bahkan DUP kerap disebut sebagai ”Torrie Irlandia Utara”. Kedua partai juga telah sepakat untuk berkoalisi secara informal beberapa tahun lalu. Hampir dapat dipastikan May akan segera mendekati Arlene Foster, Ketua DUP, untuk membentuk pemerintahan.

Alternatif bagi pemerintahan Konservatif dukungan DUP ini adalah pemerintahan minoritas Partai Buruh. Ini terjadi manakala May akhirnya gagal membentuk pemerintahan dan Corbyn berhasil meyakinkan parlemen bahwa dia layak menggantikan May. Atas dasar restu mayoritas parlemen, Corbyn dapat menjadi perdana menteri.

Namun risiko dari pemerintahan minoritas ini adalah tidak mudah membuat kebijakan dan akan selalu bergantung pada dukungan partai-partai di luar pemerintahan. Lebih dari itu pemerintahan minoritas dapat sewaktu-waktu dijatuhkan oleh kekuatan mayoritas di parlemen melalui mosi tidak percaya, sebagaimana misalnya yang terjadi pada pemerintahan MacDonald pada 1924 yang hanya mampu bertahan 10 bulan.

Alternatif lain adalah koalisi pemerintahan partai Buruh, SNP, dan Lib-Dem. Namun ini tampaknya tidak akan terjadi mengingat sejak jauh hari Lib-Dem mendeklarasikan tidak akan bergabung dengan koalisi mana pun. Sementara itu Corbyn juga tidak terlalu berminat membentuk pemerintahan koalisi.

May sendiri bersikeras akan tetap memimpin partai dan pemerintahan. Hal ini telah juga dinyatakannya tak lama setelah hasil pemilu dapat dipastikan. Namun dengan segala kemungkinan di atas itu, maksud May untuk membentuk pemerintahan yang lebih kuat dan stabil melalui pemilu kali ini dapat dikatakan sama sekali tidak berhasil. Sebaliknya masa depan diri dan pemerintahannya menjadi meragukan.

Pertanyaan menggelitik adalah seandainya May kemudian dilengserkan oleh rekan-rekannya, seperti yang terjadi pada Thatcher, timbul pertanyaan siapa yang akan menggantikannya? Pilihan utama adalah pada tokoh karismatis Boris Johnson. Sayangnya Boris adalah tokoh antagonis bagi Uni Eropa.

Bisa jadi skenario untuk keluar dari Brexit secara smooth bakal berantakan dan Inggris akan semakin terkucil di Eropa, sesuatu yang pada umumnya masyarakat Inggris tidak kehendaki. Dengan kata lain, Boris juga bukan pilihan yang terbaik.

Pemilu kali ini juga tidak akan segera memberikan kabar menyenangkan bagi ekonomi Inggris mengingat pada dasarnya tidak ada satu pun pimpinan partai yang mampu meyakinkan pasar bahwa mereka memiliki resep ekonomi yang manjur atas Brexit dan segenap konsekuensinya.

Tidak salah jika kemudian dikatakan dari banyak sisi hasil pemilu kali ini jelas bukanlah sesuatu yang menggembirakan bagi rakyat Inggris, khususnya May, kecuali mungkin pendukung Crobyn, terutama kalangan muda yang telah menunjukkan bahwa suara mereka tidak dapat lagi diremehkan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7014 seconds (0.1#10.140)