May Be Thatcher

Kamis, 08 Juni 2017 - 08:59 WIB
May Be Thatcher
May Be Thatcher
A A A
Muhammad Takdir
Alumnus Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Swiss

JUDUL tulisan di atas sangat multi-interpretatif secara linguistik. Tetapi, hal itu sekadar untuk mengingatkan bahwa Theresa May yang akan dihadapi Jeremy Corbyn pada pemilihan umum 8 Juni 2017 bukanlah wanita lemah sebagaimana diyakini selama ini setelah May menerima tongkat kepemimpinan dari David Cameron.

Seperti kata koran-koran Amerika dan Jerman, May adalah ”the British Angela Merkel”, mengandaikannya dengan Kanselir Jerman yang dikenal keras dan tough. Mengapa harus jauh-jauh, boleh jadi Theresa May reinkarnasi legenda mantan PM Inggris yang lain, Margaret Thatcher.

Perdana Menteri Inggris Theresa May harus memanfaatkan seminggu terakhir ini untuk dapat mengalahkan Jeremy Corbyn, kandidat Partai Buruh yang jadi lawan politiknya. Sejumlah analis memperkirakan bahwa pemilu Inggris yang akan digelar pekan ini akan berlangsung ketat meskipun secara keseluruhan masih in favour pada keunggulan Theresa May.

Saat ini, tracking polls memang memperlihatkan angka-angka yang tidak menggembirakan bagi May, pemimpin partai penguasa, Konservatif. Perbedaan dukungan pada kedua partai utama antara Konservatif dan Buruh kian kecil.

Dalam polling yang terakhir dilakukan Harian The Telegraph, keunggulan sementara May menurun dari 17.8 poin menjadi di bawah 10 poin sejak pemilu diputuskan untuk dipercepat pada pertengahan April 2017.

May sedikit terbantu oleh insiden bom teroris di Kota Manchester akhir Mei 2017 yang memperlambat surge du­kungan bagi Jeremy Corbyn. PM Theresa May terlihat memberi respons cepat terhadap insiden tersebut. Konferensi persnya di depan Kantor PM Downing Street 10 menyiratkan sosok kuat May seperti Thatcher ketika menyatakan bahwa tindakan pengecut pelaku akan dibalas dengan sikap berani oleh penduduk Kota Manchester. May kemudian menunjukkan kepeduliannya dengan mengunjungi kota itu seperti George Bush mendatangi reruntuhan Twin Tower saat serangan 11 September dan melakukan pertemuan dengan Wali Kota Manchester Andy Burnham.

Ketika terpilih menggantikan David Cameron menyusul hasil Brexit yang pahit bagi Partai Konservatif pada Juni 2016, May menjadi wanita kedua setelah Margaret Thatcher yang menjabat PM dalam sejarah Inggris. May seketika dibandingkan dengan Thatcher, legenda wanita Inggris yang memimpin negara itu pada tahun 1979 sd 1990 dan dijuluki ”the Iron lady”. Terlalu dini memang membandingkan May dan Thatcher mengingat mantan Mendagri di bawah PM Cameron itu belum cukup setahun menjabat PM. Namun, dengan tantangan yang kini dihadapi Inggris, May bisa menjelma menjadi Thatcher versi baru progresif-konservatif.

Kemampuan May memelihara kapitalisasi politiknya selama enam tahun dalam urusan home affairs cukup membuktikan bahwa dia lawan yang terlalu tangguh bagi Corbyn.
Cukup untuk dicatat, posisi kekuasaan di Kementerian Dalam Negeri selalu menjadi ”political grave­yard ” akibat kegagalan maupun skandal bagi banyak politisi Inggris yang menjadi pendahulunya dalam portofolio tersebut.

May bertahan sebagai Mendagri paling lama pada jabatan itu dalam sejarah pemerintahan Inggris sepanjang kurun waktu hampir seabad. Banyak orang melihat kesamaan May dan Thatcher sebagai dua politisi yang memulai perjalanan karier politiknya dengan status veteran Partai Konservatif yang berpengalaman.

Walaupun sejujurnya, pengalaman May pada saat menduduki jabatan PM dinilai jauh lebih panjang daripada Thatcher mengingat tugas pemerintahannya di Kemendagri Inggris.
Dalam polling data yang dirilis YouGov Mei 2017, faktor ”inexperience ” masing-masing memperoleh hasil polling yang rendah (9/2). Sebaliknya pada bagian indeks kemampuan, baik May dan Thatcher memperoleh persentase penilaian yang sama meyakinkan sebagai ”capable leader ” (40/39).

Satu hal yang membuat May diperkirakan mampu bertahan dari gempuran lawan-lawan politiknya dari Partai Buruh adalah orientasinya tentang masa depan Inggris pasca-Brexit yang tidak bergeser dari prinsip ”free market over socialism”. Ini juga merupakan argumen Thatcher ketika meng­hadapi paralized Partai Buruh sebagai partai berkuasa yang membuat Inggris sedemi­kian terpuruk pada akhir dekade 1970-an se­hingga ter­paksa dengan rasa malu tinggi harus meminta bantuan pinjaman IMF.

Sarkasme masa depan Inggris ketika itu bahkan dapat dibaca dari sindiran Uni Soviet yang menyatakan tidak ingin meningkatkan perdagangannya dengan Inggris karena keterpurukannya. ”Your goods are unreliable, you’re always on strike, and you never deliver ” tuding Kremlin.

Inggris sebelum Thatcher adalah negara yang pesimistis, depresif, serta selalu merasa mudah terkalahkan. London kehilangan kepercayaan diri dan confidence karena reputasi mereka rusak oleh kelompok-kelompok buruh yang terus menggerogoti kebesaran the Great Britain. Semua kegiatan ekonomi seolah berhenti akibat imunitas perlawanan kelompok buruh terhadap ekspansi kapitalisme global yang saat itu demikian diacuhkan oleh Partai Buruh.

Dengan memberikan komparasi May dan Thatcher menjelang pemungutan suara di Inggris, kita menjadi percaya bahwa ulasan tentang wanita, kekuasaan, dan ”women in power” adalah realitas yang tidak dapat lagi kita sembunyikan di tengah dominasi politik mas­kulin yang semakin kehilangan aura di Inggris. Pasca-Thatcher, figur pria yang mendominasi Downing Street 10 dari John Major, Gordon Brown, Tony Blair, hingga David Cameron adalah penguasa maskulin yang kerap mewariskan Inggris berbagai persoalan di pengujung masa pemerintahan mereka. Terakhir, David Cameron memberikan shocking supprise yang pahit bagi masa depan Inggris di Eropa, Brexit!

Sebaliknya, Thatcher ketika meninggalkan panggung kekuasaan telah mewariskan Inggris yang optimistis, victorious, aktif, dan determinasi tinggi dalam semua urusan yang melibatkan Inggris Raya. Theresa May punya kesempatan untuk membuka kembali pathway yang ditinggalkan Thatcher, tetapi dirinya harus lebih dahulu memenangkan pertarungan dengan Jeremy Corbyn secara meyakinkan pada pemilu 8 Juni 2017 ini serta membuktikan bahwa ia dapat atau akan seperti Margaret Thatcher.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7290 seconds (0.1#10.140)