AS dan Kesepakatan Paris
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Senior Advisor, Atma Jaya Public Policy Institute
@dinnawisnu
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan secara eksplisit akan keluar dari Kesepakatan Paris, Rabu dan Minggu lalu. Keputusan ini mungkin tidak lagi mengejutkan.
Garis politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan AS (American First) telah menghasilkan keputusan-keputusan kontroversial di tingkat internasional sebelumnya, seperti penarikan diri dari kesepakatan TPP (Trans Pacific Partnership) dan mengurangi keeratan hubungan dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization).
Keputusan ini memang di satu sisi akan mengurangi moralitas negara-negara maju dan berkembang untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik, namun di sisi lain juga memberikan kesempatan lebih besar bagi China untuk mengambil kekosongan kepemimpinan untuk melawan perubahan iklim.
Trump tidak menjelaskan bagaimana bentuk dan proses penarikan diri dari Kesepakatan Paris tersebut. Apakah sama sekali keluar dan bergabung dengan Suriah dan Nikaragua sebagai negara-negara yang tidak terlibat dalam Kesepakatan Paris atau menegosiasikan kembali syarat dan ketentuan yang telah disepakati.
Suriah tidak berpartisipasi di dalam Kesepakatan Paris karena masih terjebak dalam konflik yang tak berkesudahan sementara Nikaragua menolak untuk bergabung karena merasa negara-negara maju belum berkorban banyak untuk mencapai melawan perubahan iklim.
Saya rasa kita dapat melihat apakah pernyataan Trump ini benar-benar serius akan dijalankan atau sekadar gertak sambal untuk merenegosiasi ulang kepentingan AS di Kesepakatan Paris tersebut dalam jalan yang diambilnya untuk keluar. Ada dua jalan Trump dapat keluar dari Kesepakatan Paris.
Pertama adalah mengikuti prosedur untuk menunggu empat tahun baru bisa keluar dari kesepakatan. Kesepakatan Paris mengatur bahwa sebuah negara hanya dapat mengundurkan diri dari kesepakatan setelah tiga tahun Kesepakatan Paris itu diimplementasikan.
Kesepakatan Paris sendiri efektif berjalan sejak 4 November 2016 dan artinya AS harus menunggu sampai November 2019. AS juga tidak bisa segera keluar karena ada kewajiban satu tahun masa transisi, yang artinya menunggu sampai 2020, sementara pemilihan Presiden AS akan terjadi pada tanggal 3 November 2020. Artinya keputusan AS benar-benar keluar akan sangat tergantung siapa presiden yang akan terpilih di tahun 2020 dan ini tentu akan menjadi materi kampanye yang akan meramaikan bursa pemilihan presiden AS di masa mendatang.
Dalam masa itu, Trump mungkin akan melakukan serangkaian perundingan ulang dalam setiap berbagai kesempatan dalam konferensi lingkungan hidup untuk menyatakan posisi AS yang baru. AS menilai ada beberapa butir kesepakatan yang merugikan kepentingan ekonomi AS, setidaknya beberapa hal yang disebutkan Presiden Trump dalam pidato mengenai keputusan untuk undur dari Kesepakatan Paris.
Misalnya ia menuduh bahwa Kesepakatan Paris memberikan kesempatan bagi China untuk membangun ratusan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sementara tidak untuk AS. Dalam kenyataannya, China telah membatalkan pembangunan 103 pembangkit listrik tahun ini.
Di sisi lain, kesepakatan itu sendiri bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Artinya tidak ada yang melarang AS untuk membangun industri batu baranya demikian pula negara lain.
Jalan kedua yang tersedia bagi Trump untuk benar-benar keluar dari Kesepakatan Paris adalah sekaligus keluar dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC adalah organisasi yang memiliki keanggotaan hampir universal. Organisasi ini menyediakan kerangka kerja yang menjadi dasar kerja sama internasional untuk memerangi perubahan iklim.
Dasar ini yang mendorong Protokol Kyoto dan Kesepakatan Paris 2015. Pasal 28 Kesepakatan Paris disebutkan bahwa setiap negara yang meninggalkan UNFCCC dianggap juga telah ditarik dari Kesepakatan Paris.
Apabila langkah kedua ini yang akan diambil segera oleh Trump dapat menjadi sinyal bahwa Trump memang betul-betul serius dengan ancamannya. Meskipun harus menjalani satu tahun transisi, dia tidak harus menunggu sampai tahun 2020.
Jika AS keluar dari Kesepakatan Paris maka Eropa dan negara-negara berkembang lain tidak memiliki harapan lagi selain menoleh ke China untuk memimpin perang melawan perubahan iklim. Posisi China menjadi penting karena menjadi negara penghasil emisi karbon dioksida lima terbesar di dunia menurut Global Carbon Project. Posisi tersebut diikuti berturut-turut oleh AS, India, Rusia, dan Jepang.
Posisi itu dapat berubah apabila diukur dari pendapatan per kapita. Peter Singer dalam Project Syndicate 2017 mengatakan bahwa AS yang jumlah penduduknya adalah 5% dari total populasi dunia menghasilkan emisi sebesar 15% dari total keseluruhan emisi karbon dunia, sementara India yang penduduknya 17% dari populasi dunia hanya menghasilkan 6% produksi emisi karbon dunia. Fakta ini juga membantah pernyataan Trump bahwa AS dirugikan dan negara lain diuntungkan dari Kesepakatan Paris.
Banyak pihak mengharapkan China tidak menyurutkan komitmennya untuk memerangi perubahan iklim dan juga beberapa negara lain yang telah menyepakati peta jalan untuk mengurangi emisi. Di tingkat politik internasional, negara-negara maju yang selama ini terdepan dalam mengadvokasi pengurangan emisi karbon mau tidak mau harus berhadapan atau bekerja sama China yang memiliki politik luar negeri nonintervensi atau tidak mau tunduk dengan tekanan pihak lain termasuk dalam perjanjian atau kesepakatan internasional.
Bukan saja China, India dan Rusia adalah termasuk negara-negara yang harus diajak lebih erat bekerja sama padahal dalam masalah politik lain, khususnya masalah di Timur Tengah dan terorisme, posisi kebijakan yang mereka pilih kerap bertolak belakang.
Dengan kata lain, saya menyimpulkan bahwa keputusan Trump untuk menarik diri dari Kesepakatan Paris mungkin akan mendatangkan kekhawatiran surutnya upaya untuk melawan perubahan iklim. Di sisi lain, ada kesempatan terbuka bagi negara-negara yang selama ini sulit bekerja sama dalam masalah politik internasional untuk mulai membangun sikap saling percaya melalui usaha bersama melawan perubahan iklim.
Indonesia mungkin juga dapat mulai mempersiapkan skenario lain untuk mengantisipasi kekosongan inisiatif AS yang secara konkret adalah berkurangnya dana bantuan untuk program-program lingkungan hidup.
Pengamat Hubungan Internasional
Senior Advisor, Atma Jaya Public Policy Institute
@dinnawisnu
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan secara eksplisit akan keluar dari Kesepakatan Paris, Rabu dan Minggu lalu. Keputusan ini mungkin tidak lagi mengejutkan.
Garis politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan AS (American First) telah menghasilkan keputusan-keputusan kontroversial di tingkat internasional sebelumnya, seperti penarikan diri dari kesepakatan TPP (Trans Pacific Partnership) dan mengurangi keeratan hubungan dalam NATO (North Atlantic Treaty Organization).
Keputusan ini memang di satu sisi akan mengurangi moralitas negara-negara maju dan berkembang untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik, namun di sisi lain juga memberikan kesempatan lebih besar bagi China untuk mengambil kekosongan kepemimpinan untuk melawan perubahan iklim.
Trump tidak menjelaskan bagaimana bentuk dan proses penarikan diri dari Kesepakatan Paris tersebut. Apakah sama sekali keluar dan bergabung dengan Suriah dan Nikaragua sebagai negara-negara yang tidak terlibat dalam Kesepakatan Paris atau menegosiasikan kembali syarat dan ketentuan yang telah disepakati.
Suriah tidak berpartisipasi di dalam Kesepakatan Paris karena masih terjebak dalam konflik yang tak berkesudahan sementara Nikaragua menolak untuk bergabung karena merasa negara-negara maju belum berkorban banyak untuk mencapai melawan perubahan iklim.
Saya rasa kita dapat melihat apakah pernyataan Trump ini benar-benar serius akan dijalankan atau sekadar gertak sambal untuk merenegosiasi ulang kepentingan AS di Kesepakatan Paris tersebut dalam jalan yang diambilnya untuk keluar. Ada dua jalan Trump dapat keluar dari Kesepakatan Paris.
Pertama adalah mengikuti prosedur untuk menunggu empat tahun baru bisa keluar dari kesepakatan. Kesepakatan Paris mengatur bahwa sebuah negara hanya dapat mengundurkan diri dari kesepakatan setelah tiga tahun Kesepakatan Paris itu diimplementasikan.
Kesepakatan Paris sendiri efektif berjalan sejak 4 November 2016 dan artinya AS harus menunggu sampai November 2019. AS juga tidak bisa segera keluar karena ada kewajiban satu tahun masa transisi, yang artinya menunggu sampai 2020, sementara pemilihan Presiden AS akan terjadi pada tanggal 3 November 2020. Artinya keputusan AS benar-benar keluar akan sangat tergantung siapa presiden yang akan terpilih di tahun 2020 dan ini tentu akan menjadi materi kampanye yang akan meramaikan bursa pemilihan presiden AS di masa mendatang.
Dalam masa itu, Trump mungkin akan melakukan serangkaian perundingan ulang dalam setiap berbagai kesempatan dalam konferensi lingkungan hidup untuk menyatakan posisi AS yang baru. AS menilai ada beberapa butir kesepakatan yang merugikan kepentingan ekonomi AS, setidaknya beberapa hal yang disebutkan Presiden Trump dalam pidato mengenai keputusan untuk undur dari Kesepakatan Paris.
Misalnya ia menuduh bahwa Kesepakatan Paris memberikan kesempatan bagi China untuk membangun ratusan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sementara tidak untuk AS. Dalam kenyataannya, China telah membatalkan pembangunan 103 pembangkit listrik tahun ini.
Di sisi lain, kesepakatan itu sendiri bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Artinya tidak ada yang melarang AS untuk membangun industri batu baranya demikian pula negara lain.
Jalan kedua yang tersedia bagi Trump untuk benar-benar keluar dari Kesepakatan Paris adalah sekaligus keluar dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC adalah organisasi yang memiliki keanggotaan hampir universal. Organisasi ini menyediakan kerangka kerja yang menjadi dasar kerja sama internasional untuk memerangi perubahan iklim.
Dasar ini yang mendorong Protokol Kyoto dan Kesepakatan Paris 2015. Pasal 28 Kesepakatan Paris disebutkan bahwa setiap negara yang meninggalkan UNFCCC dianggap juga telah ditarik dari Kesepakatan Paris.
Apabila langkah kedua ini yang akan diambil segera oleh Trump dapat menjadi sinyal bahwa Trump memang betul-betul serius dengan ancamannya. Meskipun harus menjalani satu tahun transisi, dia tidak harus menunggu sampai tahun 2020.
Jika AS keluar dari Kesepakatan Paris maka Eropa dan negara-negara berkembang lain tidak memiliki harapan lagi selain menoleh ke China untuk memimpin perang melawan perubahan iklim. Posisi China menjadi penting karena menjadi negara penghasil emisi karbon dioksida lima terbesar di dunia menurut Global Carbon Project. Posisi tersebut diikuti berturut-turut oleh AS, India, Rusia, dan Jepang.
Posisi itu dapat berubah apabila diukur dari pendapatan per kapita. Peter Singer dalam Project Syndicate 2017 mengatakan bahwa AS yang jumlah penduduknya adalah 5% dari total populasi dunia menghasilkan emisi sebesar 15% dari total keseluruhan emisi karbon dunia, sementara India yang penduduknya 17% dari populasi dunia hanya menghasilkan 6% produksi emisi karbon dunia. Fakta ini juga membantah pernyataan Trump bahwa AS dirugikan dan negara lain diuntungkan dari Kesepakatan Paris.
Banyak pihak mengharapkan China tidak menyurutkan komitmennya untuk memerangi perubahan iklim dan juga beberapa negara lain yang telah menyepakati peta jalan untuk mengurangi emisi. Di tingkat politik internasional, negara-negara maju yang selama ini terdepan dalam mengadvokasi pengurangan emisi karbon mau tidak mau harus berhadapan atau bekerja sama China yang memiliki politik luar negeri nonintervensi atau tidak mau tunduk dengan tekanan pihak lain termasuk dalam perjanjian atau kesepakatan internasional.
Bukan saja China, India dan Rusia adalah termasuk negara-negara yang harus diajak lebih erat bekerja sama padahal dalam masalah politik lain, khususnya masalah di Timur Tengah dan terorisme, posisi kebijakan yang mereka pilih kerap bertolak belakang.
Dengan kata lain, saya menyimpulkan bahwa keputusan Trump untuk menarik diri dari Kesepakatan Paris mungkin akan mendatangkan kekhawatiran surutnya upaya untuk melawan perubahan iklim. Di sisi lain, ada kesempatan terbuka bagi negara-negara yang selama ini sulit bekerja sama dalam masalah politik internasional untuk mulai membangun sikap saling percaya melalui usaha bersama melawan perubahan iklim.
Indonesia mungkin juga dapat mulai mempersiapkan skenario lain untuk mengantisipasi kekosongan inisiatif AS yang secara konkret adalah berkurangnya dana bantuan untuk program-program lingkungan hidup.
(poe)