Puasa dan Pancasila
A
A
A
Andi Faisal Bakti
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, dan Pengurus Pusat ICMI
Ramadan kembali menyapa. Ramadan kali ini hadir berdekatan dengan hari lahir Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni. Di kalangan umat muslim, Ramadan diyakini sebagai bulan di mana rahmat dan berkah melimpah. Di bulan ini, umat Islam diwajibkan berpuasa guna mencapai tujuan mulia, yakni mencapai derajat takwa kepada Allah.
Dengan berpuasa, ada dua dimensi yang dapat terjalin. Pertama, dimensi vertikal, yaitu pengabdian manusia kepada Sang Maha Pencipta (Al-Khaliq). Kedua, dimensi horizontal, yakni hubungan yang terbangun dengan baik antara sesama ciptaan Tuhan (makhluk).
Lima Prinsip Pancasila
Di dalam konteks kehidupan kebangsaan, puasa merupakan ritus yang selaras dengan falsafah Pancasila, karena di dalamnya tak lepas dari aspek teologis dan humanitas. Lebih jauh, puasa dapat menjadi katalisator pembelajaran dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.
Jika dikaitkan dengan spirit Ramadan, sesungguhnya antara puasa dan Pancasila mempunyai keterhubungan. Kohesivitas ini setidaknya tertuang ke dalam lima prinsip Pancasila.
Pertama, puasa merupakan pancaran dari keinsafan manusia di dalam menjalankan ajaran Tuhan.
Pancasila mengamanatkan kepada manusia Indonesia agar memegang teguh agama dan melaksanakan ajarannya secara sadar dan penuh keikhlasan. Adanya laku keimanan ini menandakan telah terbukanya jiwa manusia Pancasilais. Dari situ tampak bahwa sesungguhnya laku keimanan melalui ibadah puasa ialah pengukuhan kesadaran yang dalam akan kehadiran Tuhan.
Kesadaran inilah yang melandasi ketakwaan dan membimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik dan terpuji. Terlebih lagi puasa merupakan ibadah yang khusus antara Tuhan dan hamba-Nya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih.
Seorang yang menahan dirinya sebulan penuh puasa tidak mengharapkan apa-apa kecuali rida Allah sehingga seseorang yang berpuasa akan merasa malu kepada Allah untuk melanggar larangan-laranganNya. Ia malu jika melakukan tindakan seperti korupsi, membunuh, memerkosa, menipu, menghasut, memfitnah, dan praktik-praktik keji lainnya.
Kedua, puasa mencerminkan hubungan kemanusiaan yang egaliter. Ketika berpuasa, kita tidak sekadar merasakan rasa lapar dan dahaga, namun juga turut menyelami menjadi orang yang benar-benar papa. Dengan demikian, puasa bukan sekadar ritus menahan haus dan lapar semata. Tetapi, lebih dari itu, ia hadir untuk membentuk manusia yang peka terhadap realitas sosial.
Nurcholish Madjid (1993) pernah mencatat bahwa etika sosial yang paling utama dalam ajaran agama, yaitu egalitarianisme, paham yang berupaya menempatkan manusia pada posisi yang setara. Ia tidak boleh dibedakan dalam harkat dan martabatnya.
Terlebih lagi dalam alam demokrasi yang sudah sangat terbuka seperti saat ini hendaknya penindasan manusia dalam bentuk yang tradisional maupun modern harus dihilangkan. Di samping itu, menebarkan cinta kasih kepada sesama umat manusia adalah sebuah tindakan yang bernilai kemanusiaan tinggi karena setiap manusia mendambakan kedamaian di dalam hidupnya.
Ketiga, puasa dapat memancarkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini misalnya dapat kita saksikan dan rasakan saat adanya momen sahur dan berbuka puasa bersama yang dilakukan, baik dalam lingkup keluarga, pertemanan, kelompok masyarakat, maupun pada tingkat kelembagaan.
Memang tak dapat dimungkiri bahwa dengan beragamnya pembelahan sosial yang sangat plural di masyarakat, rentan terjadinya konflik. Namun, hal itu tidak akan menjadi runcing manakala yang dicari adalah simpul persamaan dan bukan perbedaan sehingga satu sama lain saling mengenal dan dapat menjaring persatuan nasional.
Realitas kekinian yang menjadi ujian bangsa ini seperti adanya ujaran kebencian, permusuhan, aksi kekerasan, dan gesekan sesama anak bangsa setelah pilkada dan pemilu, dalam momentum Ramadan ini sepatutnya diakhiri. Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika Indonesia harus pecah dan runtuh hanya karena masalah-masalah politik temporer.
Sejarawan terkemuka Kuntowijoyo di dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam (1997) pernah mengungkapkan, agar persatuan dapat tercipta, Pancasila harus dimasyarakatkan sebagai common denominator (rujukan bersama) tidak hanya untuk Islam, namun semua agama, ras, suku, dan kelompok kepentingan. Semua agama perlu menatap Pancasila sebagai suatu objektivikasi ajaran agama sebagai rujukan bersama.
Keempat, puasa dapat menghadirkan nilai-nilai kebijaksanaan yang bisa diimplementasikan dalam menangani persoalan-persoalan masyarakat dan kebangsaan. Jika selama ini realitas sosial politik banyak disesaki oleh kegaduhan sikap egosentrisme, puasa dapat menjadi alarm untuk menyelesaikannya dengan cara-cara beradab berdasarkan musyawarah.
Demokrasi permusyawaratan yang bersifat egaliter dan inklusif kerap kali terpinggirkan oleh pengadopsian nilai-nilai demokrasi liberal, yang membuat banyak pihak tidak memiliki akses di dalam proses pengambilan keputusan, sehingga hasil yang dilahirkan sering kali tak paripurna. Maka dari itu, peran elite di sini penting untuk menjadi teladan bagi masyarakat dalam memberi jalan keluar (solusi) ketimbang debat kusir yang bersifat retorisartifisial.
Kelima, puasa dapat menjadi pancaran keadilan sosial. Hal ini tercermin dari adanya ritus menunaikan zakat fitrah di bulan puasa dan Ramadan. Sikap filantropis ini merupakan pengejawantahan nilai-nilai Pancasila yang mencerminkan keadilan dan kesejahteraan. Zakat fitrah sebenarnya merupakan bentuk peringatan simbolik tentang kewajiban bagi anggota masyarakat untuk berbagi kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung, dalam hal ini fakir miskin (duafa).
Dari segi jumlah dan jenisnya sendiri, zakat fitrah mungkin tidaklah begitu berarti bagi kalangan yang ekonominya berkecukupan. Tetapi, lebih dari itu, yang lebih asasi dari zakat fitrah adalah lambang keadilan dan solidaritas sosial. Dalam bahasa lain, zakat fitrah adalah lambang tanggung jawab kemasyarakatan kita yang dituai dari proses ibadah puasa.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, sila kelima Pancasila perihal keadilan sosial kerap kali dilupakan sebagai pedoman dalam pembangunan sosial ekonomi nasional. Akibatnya, kesenjangan sosial ekonomi semakin lebar. Puasa hendaknya mampu menumbuhkan rasa solidaritas dan empati kita kepada masyarakat yang kurang beruntung.
Tidakkah kita ingat, ketika bangsa ini sedang berjuang melawan penindasan dan penjajahan pada masa lalu, solidaritaslah yang mampu menjadi obat mujarab bagi terbuka luasnya gerbang kemerdekaan.
Akhirnya, Ramadan dan ritus puasa hendaknya tidak sekadar menjadi ritual tahunan, tapi lebih dari itu, dapat menjadi momen refleksi untuk memperkuat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Sebagai bangsa yang besar, kita hendaknya memiliki jiwa yang besar, terutama dalam menghadapi persoalan kebangsaan. Untuk itu, mari kita secara konsisten terus menyemai keteladanan perilaku, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan kebangsaan sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, dan Pengurus Pusat ICMI
Ramadan kembali menyapa. Ramadan kali ini hadir berdekatan dengan hari lahir Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni. Di kalangan umat muslim, Ramadan diyakini sebagai bulan di mana rahmat dan berkah melimpah. Di bulan ini, umat Islam diwajibkan berpuasa guna mencapai tujuan mulia, yakni mencapai derajat takwa kepada Allah.
Dengan berpuasa, ada dua dimensi yang dapat terjalin. Pertama, dimensi vertikal, yaitu pengabdian manusia kepada Sang Maha Pencipta (Al-Khaliq). Kedua, dimensi horizontal, yakni hubungan yang terbangun dengan baik antara sesama ciptaan Tuhan (makhluk).
Lima Prinsip Pancasila
Di dalam konteks kehidupan kebangsaan, puasa merupakan ritus yang selaras dengan falsafah Pancasila, karena di dalamnya tak lepas dari aspek teologis dan humanitas. Lebih jauh, puasa dapat menjadi katalisator pembelajaran dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila.
Jika dikaitkan dengan spirit Ramadan, sesungguhnya antara puasa dan Pancasila mempunyai keterhubungan. Kohesivitas ini setidaknya tertuang ke dalam lima prinsip Pancasila.
Pertama, puasa merupakan pancaran dari keinsafan manusia di dalam menjalankan ajaran Tuhan.
Pancasila mengamanatkan kepada manusia Indonesia agar memegang teguh agama dan melaksanakan ajarannya secara sadar dan penuh keikhlasan. Adanya laku keimanan ini menandakan telah terbukanya jiwa manusia Pancasilais. Dari situ tampak bahwa sesungguhnya laku keimanan melalui ibadah puasa ialah pengukuhan kesadaran yang dalam akan kehadiran Tuhan.
Kesadaran inilah yang melandasi ketakwaan dan membimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik dan terpuji. Terlebih lagi puasa merupakan ibadah yang khusus antara Tuhan dan hamba-Nya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih.
Seorang yang menahan dirinya sebulan penuh puasa tidak mengharapkan apa-apa kecuali rida Allah sehingga seseorang yang berpuasa akan merasa malu kepada Allah untuk melanggar larangan-laranganNya. Ia malu jika melakukan tindakan seperti korupsi, membunuh, memerkosa, menipu, menghasut, memfitnah, dan praktik-praktik keji lainnya.
Kedua, puasa mencerminkan hubungan kemanusiaan yang egaliter. Ketika berpuasa, kita tidak sekadar merasakan rasa lapar dan dahaga, namun juga turut menyelami menjadi orang yang benar-benar papa. Dengan demikian, puasa bukan sekadar ritus menahan haus dan lapar semata. Tetapi, lebih dari itu, ia hadir untuk membentuk manusia yang peka terhadap realitas sosial.
Nurcholish Madjid (1993) pernah mencatat bahwa etika sosial yang paling utama dalam ajaran agama, yaitu egalitarianisme, paham yang berupaya menempatkan manusia pada posisi yang setara. Ia tidak boleh dibedakan dalam harkat dan martabatnya.
Terlebih lagi dalam alam demokrasi yang sudah sangat terbuka seperti saat ini hendaknya penindasan manusia dalam bentuk yang tradisional maupun modern harus dihilangkan. Di samping itu, menebarkan cinta kasih kepada sesama umat manusia adalah sebuah tindakan yang bernilai kemanusiaan tinggi karena setiap manusia mendambakan kedamaian di dalam hidupnya.
Ketiga, puasa dapat memancarkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini misalnya dapat kita saksikan dan rasakan saat adanya momen sahur dan berbuka puasa bersama yang dilakukan, baik dalam lingkup keluarga, pertemanan, kelompok masyarakat, maupun pada tingkat kelembagaan.
Memang tak dapat dimungkiri bahwa dengan beragamnya pembelahan sosial yang sangat plural di masyarakat, rentan terjadinya konflik. Namun, hal itu tidak akan menjadi runcing manakala yang dicari adalah simpul persamaan dan bukan perbedaan sehingga satu sama lain saling mengenal dan dapat menjaring persatuan nasional.
Realitas kekinian yang menjadi ujian bangsa ini seperti adanya ujaran kebencian, permusuhan, aksi kekerasan, dan gesekan sesama anak bangsa setelah pilkada dan pemilu, dalam momentum Ramadan ini sepatutnya diakhiri. Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika Indonesia harus pecah dan runtuh hanya karena masalah-masalah politik temporer.
Sejarawan terkemuka Kuntowijoyo di dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam (1997) pernah mengungkapkan, agar persatuan dapat tercipta, Pancasila harus dimasyarakatkan sebagai common denominator (rujukan bersama) tidak hanya untuk Islam, namun semua agama, ras, suku, dan kelompok kepentingan. Semua agama perlu menatap Pancasila sebagai suatu objektivikasi ajaran agama sebagai rujukan bersama.
Keempat, puasa dapat menghadirkan nilai-nilai kebijaksanaan yang bisa diimplementasikan dalam menangani persoalan-persoalan masyarakat dan kebangsaan. Jika selama ini realitas sosial politik banyak disesaki oleh kegaduhan sikap egosentrisme, puasa dapat menjadi alarm untuk menyelesaikannya dengan cara-cara beradab berdasarkan musyawarah.
Demokrasi permusyawaratan yang bersifat egaliter dan inklusif kerap kali terpinggirkan oleh pengadopsian nilai-nilai demokrasi liberal, yang membuat banyak pihak tidak memiliki akses di dalam proses pengambilan keputusan, sehingga hasil yang dilahirkan sering kali tak paripurna. Maka dari itu, peran elite di sini penting untuk menjadi teladan bagi masyarakat dalam memberi jalan keluar (solusi) ketimbang debat kusir yang bersifat retorisartifisial.
Kelima, puasa dapat menjadi pancaran keadilan sosial. Hal ini tercermin dari adanya ritus menunaikan zakat fitrah di bulan puasa dan Ramadan. Sikap filantropis ini merupakan pengejawantahan nilai-nilai Pancasila yang mencerminkan keadilan dan kesejahteraan. Zakat fitrah sebenarnya merupakan bentuk peringatan simbolik tentang kewajiban bagi anggota masyarakat untuk berbagi kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung, dalam hal ini fakir miskin (duafa).
Dari segi jumlah dan jenisnya sendiri, zakat fitrah mungkin tidaklah begitu berarti bagi kalangan yang ekonominya berkecukupan. Tetapi, lebih dari itu, yang lebih asasi dari zakat fitrah adalah lambang keadilan dan solidaritas sosial. Dalam bahasa lain, zakat fitrah adalah lambang tanggung jawab kemasyarakatan kita yang dituai dari proses ibadah puasa.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, sila kelima Pancasila perihal keadilan sosial kerap kali dilupakan sebagai pedoman dalam pembangunan sosial ekonomi nasional. Akibatnya, kesenjangan sosial ekonomi semakin lebar. Puasa hendaknya mampu menumbuhkan rasa solidaritas dan empati kita kepada masyarakat yang kurang beruntung.
Tidakkah kita ingat, ketika bangsa ini sedang berjuang melawan penindasan dan penjajahan pada masa lalu, solidaritaslah yang mampu menjadi obat mujarab bagi terbuka luasnya gerbang kemerdekaan.
Akhirnya, Ramadan dan ritus puasa hendaknya tidak sekadar menjadi ritual tahunan, tapi lebih dari itu, dapat menjadi momen refleksi untuk memperkuat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Sebagai bangsa yang besar, kita hendaknya memiliki jiwa yang besar, terutama dalam menghadapi persoalan kebangsaan. Untuk itu, mari kita secara konsisten terus menyemai keteladanan perilaku, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan kebangsaan sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
(maf)