Ramadan: Sekolah Kemanusiaan

Senin, 29 Mei 2017 - 07:38 WIB
Ramadan: Sekolah Kemanusiaan
Ramadan: Sekolah Kemanusiaan
A A A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FTIK UIN Syarief Hidayatullah dan UMJ

RAMADAN merupakan bulan edukasi multidimensi. Ramadan itu ibarat sekolah kemanusiaan holistis integratif. Software Ramadan adalah program dan kurikulum yang akan diaktualisasikan dalam ibadah Ramadan dalam arti luas, sedangkan hardware-nya adalah bangunan fisik: ruang kelas, musala, masjid, perpustakaan, kantin, dan sarana-prasarana pendukung lainnya.

Peserta puasa adalah para pembelajar sekaligus guru yang harus berperan sebagai pendidik diri yang proaktif dan dinamis. Lingkungan mental spiritual dan sosial yang melingkupinya menjadi penyempurna sakralitas dan ritualitas sekolah Ramadan.

Sebagai sebuah sekolah, para pembelajar (shaimin) tidak boleh ”bolos berpuasa”, tetapi harus disiplin bangun pagi, menempa diri, dan membentuk karakter dalam sekolah kemanusiaan. Saat berada di sekolah, para pembelajar harus jujur dan mandiri, menjadikan diri sendiri sebagai pembelajar dan sumber belajar dari ”paket kurikulum Ramadan” seperti: menahan diri tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan suami-istri di siang hari, tidak merokok, tidak menggunjing, tidak mudah marah, tidak arogan, tidak bertindak semena-mena, termasuk tidak korupsi.

Puasa korupsi termasuk pelajaran wajib yang harus ditaati. Puasa korupsi tidak boleh hanya berlangsung di bulan suci, lalu kumat lagi selepas Ramadan. Puasa korupsi harus sukses sepanjang masa. Karena tujuan utama berpuasa adalah menjadi lulusan Ramadan yang bertakwa sejati, berkesadaran tinggi (high awareness), berkarakter positif, dan berintegritas moral mulia.

Tujuan puasa sebagai proses humanisasi idealnya memotivasi shaimin untuk berhati mulia, bersikap jujur, berpikir positif, dan bertindak penuh kearifan, mengedepankan etika dan estetika dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan rela menunda kesenangan dan kenikmatan duniawi demi tujuan masa depan.

Kurikulum Ramadan
Paket kurikulum Ramadan tidak hanya dipelajari siang hari. Pada malam hari, pelajaran penting Ramadan tidak boleh diabaikan. Menyegerakan berbuka (takjil) saat mendengar azan Magrib merupakan anjuran.

Membendung nafsu makan yang berlebihan dan ”balas dendam” akibat lapar dan haus saat berbuka juga harus dikendalikan, sehingga kualitas ibadah Ramadan tidak sebatas ”puasa perut dan di bawah perut”, atau shaum al-‘awam. Melalui sekolah Ramadan, umat Islam harus melakukan transformasi dari ”puasa perut”, puasa nafsu syahwat, menjadi puasa hati dan pikiran, puasa mental-spiritual, puasa lahir batin, sehingga shaimin dapat merasakan nikmat, berkah, bahagia, dan indahnya sekolah kemanusiaan Ramadan.

Sekolah Ramadan itu sekolah hati, sikap, pikiran, dan perbuatan. Proses penempaan diri shaimin berfungsi membebaskan mereka dari sifat-sifat kebinatangan: rakus, tamak, dengki, munafik, sombong, zalim, dan sebagainya.

Menyekolahkan hati dan pikiran dengan penyadaran mental spiritual membuat kualitas kemanusiaan ”naik derajat” dengan cara menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan: kasih sayang, empati, pemaaf, bermurah hati, berbagi, dan sebagainya.

Sekolah Ramadan merupakan momentum untuk melakukan pembebasan diri dari segala bentuk watak tercela dan perilaku hewani, menuju integritas pribadi yang humanis.
Kurikulum Ramadan pada malam hari harus ditekuni.

Salat tarawih, tadarus Alquran, zikir, istigfar, hingga iktikaf perlu dihabituasi, tidak hanya membuat masjid dan musala ramai dan penuh jamaah di minggu pertama, tapi penuh dinamika dan budaya islami selama Ramadan. Kurikulum Ramadan harus diinternalisasikan dalam ”server kemanusiaan” kita, sehingga ketekunan, ketaatan, dan kekhusyukan dalam beribadah membuahkan akhlak mulia yang penuh kasih sayang, damai, dan toleransi. Nuansa kebersamaan dari salat berjamaah di masjid, seperti salat tarawih, idealnya melahirkan sikap persatuan, kesatuan, kebersamaan, kekeluargaan, kerukunan, dan perdamaian dengan sesama.

Kurikulum Ramadan dalam ranah sosial, seperti anjuran memperbanyak sedekah, berempati kepada fakir miskin, dan membayar zakat fitri dan zakat harta, mendidik shaimin memiliki empati dan etos berbagi kepada sesama. Makna sosial Ramadan tidak lengkap tanpa ada proses transformasi sosial dari manusia egois menuju manusia humanis yang memiliki solidaritas sosial dan kesetiakawanan yang tinggi.

Sekolah yang Mencerdaskan
Sekolah Ramadan adalah sekolah kemanusiaan yang mencerdaskan. Sekolah ini tidak hanya untuk para shaimin, tetapi juga harus berdampak positif bagi pengembangan nilai-nilai sosial kemanusiaan universal. Limpahan keberkahan rezeki di bulan suci bukan hanya untuk para shaimin, tapi mesti berdampak positif bagi para pelaku ekonomi lintas suku bangsa, lintas budaya, dan lintas agama.

Sekolah kemanusiaan ini menjadi motor penggerak yang memberdayakan ekonomi umat dan bangsa, sehingga dengan optimalisasi fungsi zakat, infak, dan sedekah (ZIS) umat dan bangsa menjadi lebih makmur, adil, dan sejahtera.

Sekolah Ramadan itu mencerdaskan shaimin dengan melatih dan melejitkan multikecerdasan mereka: kecerdasan intelektual, emosional, ekonomi, ekologi, spiritual, dan sosial. Etos ”iqra’” (membaca, belajar, meneliti, dan menulis) harus menjadi budaya akademik yang membuahkan produktivitas keilmuan dan wawasan pengetahuan yang luas dan luwes. Jika selama Ramadan, Rasulullah mengikuti ”sekolah literasi dan membaca” Alquran di bawah bimbingan Jibril AS secara langsung, maka keteladanan budaya membaca itu patut diikuti dan ditindaklanjuti shaimin sepanjang hayat, karena etos literasi dan iqra’ sejatinya merupakan pilar utama peradaban Indonesia yang berkemajuan.

Sekolah Ramadan juga meningkatkan kecerdasan emosional shaimin melalui latihan menjadi penyabar, pemaaf, penyayang, dan pengendali atau manajer diri sendiri yang handal. Ketika merasa lapar, dahaga, menghadapi aneka godaan hidup lainnya, shaimin diedukasi untuk menyelami hakikat ”menahan diri” (shiyam).

Menunggu azan Magrib tiba boleh jadi merupakan pembelajaran berharga untuk bisa bersabar dan memiliki self control yang prima, sehingga proses pencerdasan emosi itu dapat membuahkan nilai-nilai kejujuran: jujur kepada diri sendiri, kepada sesama, dan terutama kepada Tuhan.

Bersekolah Ramadan dapat pula melejitkan kecerdasan spiritual. Nuansa pendekatan diri kepada Tuhan melalui aneka ritualitas siang dan malam Ramadan, utamanya istigfar dan doa, menjadikan shaimin berlomba-lomba meraih ampunan Allah. Proses iktikaf, terutama di 10 hari terakhir Ramadan, merupakan bentuk penyucian diri (tazkiyatun nafs) yang menyempurnakan spiritualitas Ramadan.

Sekolah Ramadan juga mengembangkan kecerdasan sosial, dengan mendidik dan membiasakan shaimin untuk gemar berjamaah. Dapat dibayangkan, semarak berjamaah di masjid tentu tidak seperti di bulan suci ini. Ramadan membelajarkan kepekaan sosial yang tinggi.

Karena sedekah (harta, ilmu, tenaga dan pikiran) yang terbaik adalah sedekah Ramadan. Pelajaran bersedekah ini perlu dipupuk dan dikembangkan pasca Ramadan agar solidaritas dan soliditas sosial tetap terjaga.

Paul C. Bragg dan Patricia Bragg dalam bukunya, The Miracle of Fasting: Proven Throughout History of Phisical, Mental & Spiritual Rejuvenation (2014), menegaskan bahwa puasa merupakan ibadah sekaligus terapi paling menyehatkan bagi tubuh manusia. Secara medis, puasa dapat membersihkan dan mendetoksifikasi racun dan ”sampah makanan” dalam tubuh.

Melalui puasa, sel-sel dan hormon dalam tubuh diremajakan; energi fisik, mental, dan spiritual dibugarkan dan dilipatgandakan. Puasa ibarat sekolah militer di mana pembelajar ”berperang” melawan musuh yang ada dalam diri sendiri (hawa nafsu, godaan setan, energi negatif). Selain itu, puasa menumbuhkan inner spiritual harmony (harmoni spiritual dalam diri), sehingga dapat membentengi diri dari berbuat jahat dan maksiat.

Karena itu, orang yang berpuasa itu memiliki jiwa pejuang dan pemenang; sanggup menghadapi aneka ujian kehidupan dan sanggup melawan musuh dalam diri sendiri. Dengan kata lain, orang yang sukses berpuasa sejatinya sukses memenangi segala bentuk ujian dan godaan dalam kehidupan ini.

Sekolah Ramadan yang diakhiri dengan ”wisuda” Idul Fitri, juga harus dimaknai sebagai momentum kemenangan mental, spiritual, sosial, dan moral dalam rangka memerdekakan diri dari segala penyakit hati yang tercela dan korup; sekaligus memerdekakan bangsa ini dari segala bentuk mafia, persekongkolan jahat, dan intervensi asing yang sarat dengan kepentingan liberalisme dan kapitalisme global.

Dengan demikian, dari sekolah kemanusiaan Ramadan, para shaimin meraih kemenangan sejati dalam jihad melawan hawa nafsu dan sifat-sifat buruk dengan kembali kepada fitrah kemanusiaan yang suci dan luhur: fitrah mencintai dan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan: kejujuran, kebenaran, kedamaian, kebersamaan, kearifan, toleransi, dan keadilan sosial bagi semua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sekolah Ramadan dengan totalitas puasa yang dijalani: puasa perut, puasa pancaindra, puasa anggota badan, puasa hati, dan puasa pikiran dari hal-hal negatif harus membuahkan integritas dan mentalitas manusia bertakwa sejati.

Manusia bertakwa sejati pasti memiliki kesadaran tinggi untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan kepada sesamanya, jujur, setia kawan, empati, rendah hati, memaafkan, toleran, penuh kasih sayang, dengan menunda kesenangan sementara menuju kemenangan, kebahagiaan, dan kemuliaan hidup jangka panjang.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0742 seconds (0.1#10.140)