Gejolak Harga Pangan Menjelang Lebaran
A
A
A
Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga
MEMASUKI bulan puasa dan Lebaran, hampir bisa dipastikan harga komoditas pangan akan merayap naik. Pola kenaikan harga pangan ini selalu berulang terjadi setiap tahunnya dan menyasar hampir seluruh bahan pangan strategis yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari. Harga sejumlah komoditas pangan ini akan semakin melambung tinggi ketika mendekati Lebaran.
Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan saat bulan puasa dan menjelang Lebaran ini terjadi bukan semata karena ulah pedagang yang ingin mengeruk keuntungan lebih pada momen khusus ini, melainkan juga karena dipicu kenaikan di jalur distribusi dan logistik. Kenaikan harga pangan adalah efek domino akibat terjadinya pergerakan permintaan pasar yang kemudian memicu rentetan hukum pasar: permintaan naik, maka harga pun otomatis akan naik.
Dalam kalkulasi umum, jika kenaikan harga komoditas pangan pada bulan puasa dan menjelang Lebaran masih berkisar kurang lebih 20%, hal tersebut masih dianggap normal.
Tetapi lain soal ketika kenaikan harga pangan mencapai angka lebih dari 20%, bahkan seperti tahun lalu ketika kenaikan harga pangan sempat mencapai 40% hingga 50%. Harga pangan yang melonjak hingga 40% lebih tentu menyebabkan pos pengeluaran masyarakat pada bulan puasa dan menjelang Lebaran naik drastis.
Konsumsi Meningkat
Meskipun selama bulan puasa dan menjelang Lebaran, pemerintah selalu melakukan operasi pasar, mengeluarkan stok dari Bulog untuk didistribusikan ke pasar, dan mengembangkan berbagai langkah intervensi untuk mencegah serta mengendalikan agar harga pangan tidak melonjak, berbagai upaya yang dilakukan umumnya tidak terlalu berdampak signifikan. Di pasar, kenaikan harga komoditas seolah tetap tak terbendung karena dipengaruhi berbagai faktor.
Pertama, berbeda dengan hakikat puasa saat masyarakat muslim seharusnya lebih menahan diri dan mengurangi hawa nafsu untuk terus mengonsumsi, dalam kenyataan selama bulan puasa, biasanya konsumsi dan belanja masyarakat justru meningkat. Di pasaran, komoditas yang laris manis bukan hanya pakaian untuk persiapan Lebaran keluarga, sering kali juga sejumlah komoditas pangan sehari-hari.
Di berbagai keluarga, sudah lazim terjadi selama bulan puasa, konsumsi yang disediakan untuk berbuka dan sahur biasanya justru lebih banyak daripada hari-hari biasa. Studi yang pernah saya lakukan tentang pola konsumsi masyarakat (2016) menemukan, selama bulan puasa, pos pengeluaran keluarga untuk pangan umumnya justru naik sekitar 25% hingga 100% alias dua kali lipat dari kebiasaan pada hari-hari biasa.
Naluri seorang ibu yang ingin menjaga dan menjamin kesehatan keluarganya, adalah salah satu penyebab kenapa konsumsi masyarakat selama bulan puasa justru meningkat.
Kedua, karena ulah para spekulan dan pedagang di pasar yang berkeinginan memperoleh keuntungan besar pada hari-hari tertentu yang hanya mereka nikmati setahun sekali ini. Kepentingan para spekulan dan pedagang yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo cepat, sering menjadi pemicu utama terjadinya kenaikan harga pangan di pasaran.
Hasrat dan psikologis masyarakat yang dipenuhi rasa gembira dan ucapan syukur, ditambah dorongan emosi untuk berbelanja lebih selama bulan Ramadan yang tidak bisa dijelaskan secara rasional, pada akhirnya ditangkap sebagai peluang yang menguntungkan oleh para spekulan.
Ketiga, karena perbedaan ketersediaan stok pangan di berbagai daerah yang belum didukung pola distribusi yang memadai. Bukan tidak mungkin terjadi, di sebuah daerah, stok pangan berlimpah, sedangkan stok pangan di daerah yang lain justru mengalami kelangkaan karena tidak lepas dari buruknya infrastruktur yang mengakibatkan distribusi pangan terganggu.
Dengan adanya jalur tol laut yang telah dicanangkan pemerintah, di atas kertas seharusnya distribusi pangan ke berbagai daerah dapat lebih cepat dilakukan. Namun, masalahnya karena peta tentang ketersediaan pangan di berbagai daerah belum terdata dengan baik, maka sering terjadi upaya distribusi dan upaya untuk meredam terjadinya gejolak harga pangan menjadi terlambat.
Upaya Meredam
Untuk memastikan agar harga pangan di pasaran tidak bergejolak selama bulan Ramadan dan menjelang Lebaran, pemerintah telah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas kepada semua pihak yang mencoba “mengail di air keruh”. Bagi para spekulan, distributor dan tengkulak yang mencoba melakukan penimbunan stok pangan untuk dimainkan harganya, pemerintah telah bertekad untuk melakukan tindakan tegas, mulai dari penyegelan, penyitaan hingga membawa kasus itu ke ranah hukum untuk efek penjeraan.
Sejauh mana pendekatan yang mengancamkan sanksi kepada para spekulan ini bakal berhasil, tentu masih harus diuji oleh waktu. Menindak tegas semua pihak yang secara egois ingin memanipulasi momen bulan Ramadan untuk mengeruk keuntungan, memang sudah seharusnya dilakukan. Namun, untuk memastikan upaya yang dilakukan benar-benar efektif di lapangan, maka yang dibutuhkan sebetulnya tidak hanya langkah-langkah hukum.
Pendataan yang benar-benar lengkap mengenai jumlah stok dan pasokan pangan di berbagai daerah, mutlak dibutuhkan untuk menjamin langkah antisipasi dan distribusi penyediaan pangan bagi konsumsi masyarakat. Data ketersediaan pangan yang dinamis ini perlu dimiliki. Sebab dengan mengacu data itu akan dapat dikembangkan mekanisme distribusi pangan yang saling mengisi dan bertukar komoditas antardaerah satu dengan daerah yang lain.
Di tingkat pusat, pemerintah seyogianya tidak cukup berpuas diri hanya dengan keberhasilan mewujudkan swasembada pangan nasional. Pengertian swasembada pangan akan benar-benar membumi jika ketersediaan pangan secara nasional kemudian dapat didistribusikan secara merata ke berbagai daerah sesuai kebutuhan masyarakat setempat.
Dalam hal ini, kerja sama pemerintah pusat dan daerah mutlak diperlukan untuk memastikan pendataan ketersediaan pangan dapat terus di-update, dan kemudian dijadikan acuan untuk mengatur pola distribusi pangan mengantisipasi gejolak harga pangan di berbagai daerah. Jangan sampai terjadi setiap bulan puasa masyarakat harus mengeluarkan dana yang besar untuk memenuhi kebutuhan pangan karena menjadi objek permainan para spekulan yang tidak bertanggung jawab.
Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga
MEMASUKI bulan puasa dan Lebaran, hampir bisa dipastikan harga komoditas pangan akan merayap naik. Pola kenaikan harga pangan ini selalu berulang terjadi setiap tahunnya dan menyasar hampir seluruh bahan pangan strategis yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari. Harga sejumlah komoditas pangan ini akan semakin melambung tinggi ketika mendekati Lebaran.
Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan saat bulan puasa dan menjelang Lebaran ini terjadi bukan semata karena ulah pedagang yang ingin mengeruk keuntungan lebih pada momen khusus ini, melainkan juga karena dipicu kenaikan di jalur distribusi dan logistik. Kenaikan harga pangan adalah efek domino akibat terjadinya pergerakan permintaan pasar yang kemudian memicu rentetan hukum pasar: permintaan naik, maka harga pun otomatis akan naik.
Dalam kalkulasi umum, jika kenaikan harga komoditas pangan pada bulan puasa dan menjelang Lebaran masih berkisar kurang lebih 20%, hal tersebut masih dianggap normal.
Tetapi lain soal ketika kenaikan harga pangan mencapai angka lebih dari 20%, bahkan seperti tahun lalu ketika kenaikan harga pangan sempat mencapai 40% hingga 50%. Harga pangan yang melonjak hingga 40% lebih tentu menyebabkan pos pengeluaran masyarakat pada bulan puasa dan menjelang Lebaran naik drastis.
Konsumsi Meningkat
Meskipun selama bulan puasa dan menjelang Lebaran, pemerintah selalu melakukan operasi pasar, mengeluarkan stok dari Bulog untuk didistribusikan ke pasar, dan mengembangkan berbagai langkah intervensi untuk mencegah serta mengendalikan agar harga pangan tidak melonjak, berbagai upaya yang dilakukan umumnya tidak terlalu berdampak signifikan. Di pasar, kenaikan harga komoditas seolah tetap tak terbendung karena dipengaruhi berbagai faktor.
Pertama, berbeda dengan hakikat puasa saat masyarakat muslim seharusnya lebih menahan diri dan mengurangi hawa nafsu untuk terus mengonsumsi, dalam kenyataan selama bulan puasa, biasanya konsumsi dan belanja masyarakat justru meningkat. Di pasaran, komoditas yang laris manis bukan hanya pakaian untuk persiapan Lebaran keluarga, sering kali juga sejumlah komoditas pangan sehari-hari.
Di berbagai keluarga, sudah lazim terjadi selama bulan puasa, konsumsi yang disediakan untuk berbuka dan sahur biasanya justru lebih banyak daripada hari-hari biasa. Studi yang pernah saya lakukan tentang pola konsumsi masyarakat (2016) menemukan, selama bulan puasa, pos pengeluaran keluarga untuk pangan umumnya justru naik sekitar 25% hingga 100% alias dua kali lipat dari kebiasaan pada hari-hari biasa.
Naluri seorang ibu yang ingin menjaga dan menjamin kesehatan keluarganya, adalah salah satu penyebab kenapa konsumsi masyarakat selama bulan puasa justru meningkat.
Kedua, karena ulah para spekulan dan pedagang di pasar yang berkeinginan memperoleh keuntungan besar pada hari-hari tertentu yang hanya mereka nikmati setahun sekali ini. Kepentingan para spekulan dan pedagang yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam tempo cepat, sering menjadi pemicu utama terjadinya kenaikan harga pangan di pasaran.
Hasrat dan psikologis masyarakat yang dipenuhi rasa gembira dan ucapan syukur, ditambah dorongan emosi untuk berbelanja lebih selama bulan Ramadan yang tidak bisa dijelaskan secara rasional, pada akhirnya ditangkap sebagai peluang yang menguntungkan oleh para spekulan.
Ketiga, karena perbedaan ketersediaan stok pangan di berbagai daerah yang belum didukung pola distribusi yang memadai. Bukan tidak mungkin terjadi, di sebuah daerah, stok pangan berlimpah, sedangkan stok pangan di daerah yang lain justru mengalami kelangkaan karena tidak lepas dari buruknya infrastruktur yang mengakibatkan distribusi pangan terganggu.
Dengan adanya jalur tol laut yang telah dicanangkan pemerintah, di atas kertas seharusnya distribusi pangan ke berbagai daerah dapat lebih cepat dilakukan. Namun, masalahnya karena peta tentang ketersediaan pangan di berbagai daerah belum terdata dengan baik, maka sering terjadi upaya distribusi dan upaya untuk meredam terjadinya gejolak harga pangan menjadi terlambat.
Upaya Meredam
Untuk memastikan agar harga pangan di pasaran tidak bergejolak selama bulan Ramadan dan menjelang Lebaran, pemerintah telah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas kepada semua pihak yang mencoba “mengail di air keruh”. Bagi para spekulan, distributor dan tengkulak yang mencoba melakukan penimbunan stok pangan untuk dimainkan harganya, pemerintah telah bertekad untuk melakukan tindakan tegas, mulai dari penyegelan, penyitaan hingga membawa kasus itu ke ranah hukum untuk efek penjeraan.
Sejauh mana pendekatan yang mengancamkan sanksi kepada para spekulan ini bakal berhasil, tentu masih harus diuji oleh waktu. Menindak tegas semua pihak yang secara egois ingin memanipulasi momen bulan Ramadan untuk mengeruk keuntungan, memang sudah seharusnya dilakukan. Namun, untuk memastikan upaya yang dilakukan benar-benar efektif di lapangan, maka yang dibutuhkan sebetulnya tidak hanya langkah-langkah hukum.
Pendataan yang benar-benar lengkap mengenai jumlah stok dan pasokan pangan di berbagai daerah, mutlak dibutuhkan untuk menjamin langkah antisipasi dan distribusi penyediaan pangan bagi konsumsi masyarakat. Data ketersediaan pangan yang dinamis ini perlu dimiliki. Sebab dengan mengacu data itu akan dapat dikembangkan mekanisme distribusi pangan yang saling mengisi dan bertukar komoditas antardaerah satu dengan daerah yang lain.
Di tingkat pusat, pemerintah seyogianya tidak cukup berpuas diri hanya dengan keberhasilan mewujudkan swasembada pangan nasional. Pengertian swasembada pangan akan benar-benar membumi jika ketersediaan pangan secara nasional kemudian dapat didistribusikan secara merata ke berbagai daerah sesuai kebutuhan masyarakat setempat.
Dalam hal ini, kerja sama pemerintah pusat dan daerah mutlak diperlukan untuk memastikan pendataan ketersediaan pangan dapat terus di-update, dan kemudian dijadikan acuan untuk mengatur pola distribusi pangan mengantisipasi gejolak harga pangan di berbagai daerah. Jangan sampai terjadi setiap bulan puasa masyarakat harus mengeluarkan dana yang besar untuk memenuhi kebutuhan pangan karena menjadi objek permainan para spekulan yang tidak bertanggung jawab.
(poe)