Membangun Konseling Keluarga

Selasa, 16 Mei 2017 - 09:02 WIB
Membangun Konseling...
Membangun Konseling Keluarga
A A A
Rita Pranawati
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dosen FISIP UHAMKA

OPINI "Ayah-Bunda Menculik Ananda" yang ditulis Reza Indragiri Amriel menarik untuk dikaji lebih lanjut. Reza menulis bahwa kasus penculikan anak oleh orang tua mereka sendiri kini sedang marak.

Maka perlu upaya untuk menjembatani agar orang tua dan anak tidak terpisah akibat perceraian. Tentu semua itu bermuara pada pemenuhan hak-hak anak.

Reza juga menulis dengan mengambil aturan dari beberapa negara, bahwa penculik anak oleh siapa pun dikenai hukuman pidana serta denda. Denda ini lagi-lagi sebagai bentuk perlindungan anak atas ketidaknyamanan yang dilakukan orang tua mereka sendiri.

Dalam proses perlindungan anak, melindungi mereka dari hal-hal yang tidak menyenangkan menjadi sebuah keniscayaan. Pasalnya anak mudah stres dan menyimpan memori panjang atas apa yang terjadi saat usia emas.

Perlakukan khusus kepada anak agar terhindar dari segala ketidaknyamanan menjadi tanggung jawab bersama, khususnya pasangan suami dan istri yang telah bercerai.

Perceraian yang meninggalkan anak sudah selayaknya tidak menjadi masalah. Apalagi perebutan hak asuh anak. Mantan suami dan istri perlu berembuk untuk keberlangsungan hidup sang anak. Mereka perlu menekan ego masing-masing agar anak tidak menjadi korban "kebodohan" orang tua.

Melepaskan Ego

Oleh karena itu perlu dibuat family counseling atau konseling keluarga. Konseling keluarga adalah seperangkat nilai yang ditaati orang tua sebagai "jaminan" perlindungan terhadap hak-hak anak.

Beberapa hal dapat dilakukan dalam program ini. Pertama, para pasangan yang akan bercerai mengukur apakah benar-benar merasa bisa bersatu kembali atau tidak. Jika mereka tidak yakin dengan pilihan untuk bersatu kembali, konflik yang mungkin melatarbelakangi perceraian perlu dicukupkan pada urusan pribadi mereka.

Artinya masalah, konflik, dan/atau ketidakpercayaan adalah urusan dua pribadi yang pernah memadu kasih. Mereka tidak perlu melibatkan urusan itu pada proses pengasuhan anak.

Anak tetaplah anak mereka berdua. Mereka tidak bisa lepas dari tanggung jawab moral itu. Oleh karenanya proses pengasuhan harus didasarkan pada sikap dan prinsip menyelamatkan dan mempersiapkan masa depan yang baik bagi anak.

Melepaskan ego sektoral yang selama ini menjadi penyebab perceraian menjadi hal utama. Memperpanjang masalah dan ego hanya akan merugikan hubungan antarkedua keluarga dan tentunya kondisi psikis anak.

Namun jika mereka hendak rujuk, perlu dipastikan bahwa masalah serupa tidak terulang. Artinya permusuhan dan/atau pelibatan proses berkeluarga yang di dalamnya ada anak tidak boleh terpantik dan muncul dalam mengarungi kehidupan "kedua". Sekali lagi mereka perlu meyakinkan jalan perpisahan dan/atau pertemuan kembali tetap berada pada proses jaminan dan pengasuhan yang baik bagi anak.

Kedua, mereka perlu meyakini keputusannya apakah benar-benar akan bercerai atau tidak. Mereka perlu menyadari pilihannya dan tahu dampaknya. Pilihan bercerai yang kemudian saling membongkar aib masing-masing hanya akan semakin menambah permusuhan yang tidak akan berujung.

Dampak perceraian pasti akan melukai kedua keluarga yang dahulu pernah membangun sebuah capaian cinta. Saat perceraian dipilih, suami dan istri perlu memosisikan diri sebagai pribadi yang "merdeka" satu sama lain, tetapi tetap punya tanggung jawab moral dan material mengasuh anak. Mereka tidak diperkenankan melakukan tindak kekerasan terhadap anak seperti menculik dan/atau memaksakan kehendak untuk bertemu dengan buah hati.

Proses pertemuan dengan anak perlu diatur dengan kepala dingin dan hati yang tenang. Saat itu dilakukan, pertemuan antara orang tua dan anak akan berlangsung penuh makna. Sang anak pun akan memiliki memori yang baik pada proses hidupnya.

Mereka tidak akan minder saat di sekolah atau lingkungan masyarakat. Pasalnya, walaupun orang tuanya sudah bercerai, mereka tetap dapat menjalin komunikasi yang baik.

Potret ini pernah dilakukan -- dan sampai sekarang masih baik -- oleh pasangan suami istri yang telah bercerai. Karena mereka punya pandangan yang sama terhadap pola pengasuhan anak, mereka tetap dapat mendidik anak-anaknya dengan baik.

Mantan istri sering kali datang ke rumah mantan suami yang telah memiliki istri baru untuk bertemu dan melakukan komunikasi langsung dengan anak. Sang istri juga tak segan mengantarkan anaknya pergi ke sekolah dan menjemputnya.

Memang tentu proses ini tidak semudah yang dilihat. Namun kisah nyata di atas dapat menjadi inspirasi bagi siapa pun untuk tetap berkomitmen menjaga dan melindungi anak agar mereka menemukan sosok ibu dan ayah yang bertanggung jawab walaupun mereka telah bercerai.

Kasus penculikan anak yang dilakukan ayah dan bunda sebagaimana diurai Reza menunjukkan betapa kematangan dan kedewasaan orang tua belum tumbuh. Mereka masih terpasung oleh kungkungan nafsu sehingga yang menjadi korban adalah anak.

Anak Materi

Lebih lanjut kasus penculikan anak yang dilakukan orang terdekat menunjukkan bahwa pemahaman tentang anak masih terbatas pada anak materi. Artinya anak hanya dipahami sebagai sosok yang dapat mewariskan semangat ayah dan ibu, yang perlu dibentuk dari salah satu pihak. Anak pun hanya dimaknai sebagai barang yang dapat dipindahtangankan kapan saja sesuai dengan kemauan orang tua.

Konsepsi tersebut tentu melukai fisik dan psikis anak. Anak bukanlah barang yang dapat dipindahtangankan dengan cara-cara kekerasan. Anak adalah anugerah Tuhan sebagai medium pembelajaran bagi semua demi mempersiapkan generasi yang tangguh.

Saat konsepsi itu telah tertanam dalam benak orang tua yang telah bercerai, tidak akan ada lagi cerita penculikan anak orang ayah dan atau bunda. Cukuplah ayah dan bunda menjadi pendidik bagi mereka walaupun kini kedua insan yang pernah memadu cinta itu memiliki kehidupan/keluarga sendiri.

Pada akhirnya negara harus hadir menyelenggarakan konseling keluarga agar dalam situasi orang tua berkonflik sekalipun anak dalam situasi aman. Hal ini karena potret penculikan anak yang dilakukan orang tua perlu dipahami sebagai bentuk ketidakmatangan orang tua dalam bertindak. Mereka pun belum paham efek dari perceraian yang dipilih sebagai jalan keluar.

Ayah dan bunda perlu kembali menengok sejarah baik yang pernah mereka torehkan. Mereka perlu menekan ego agar tumbuh kembang dan masa depan anak tetap baik dan unggul berkat sentuhan kedua tangan mereka.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0625 seconds (0.1#10.140)