Urgensi Stabilisasi vs Distribusi
A
A
A
Dr Edy Purwo Saputro, SE, MSi
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo
Dua pekan menjelang Ramadan ternyata gejolak harga semakin tinggi dan diperparah oleh kenaikan tarif listrik. Ironisnya kasus ini bersamaan dengan peringatan Tahun Emas Bulog pada 10 Mei 2017 sehingga ini memberikan gambaran tantangan 50 tahun peran Bulog sejak dibentuk pada 10 Mei 1967, terutama mengacu pada peran pentingnya sesuai dengan Perpres No 48 Tahun 2016 tentang Peran Bulog atas Ketahanan Pangan. Fakta ini secara tidak langsung menunjukkan Bulog sebagai BUMN tidak hanya memberikan jaminan terhadap ketersediaan pangan secara mudah dan murah untuk rakyat, tetapi juga eksistensinya untuk mencari profit. Artinya stabilisasi dan distribusi pangan yang mudah dan murah secara tidak langsung juga berperan dalam pengendalian inflasi. Padahal laju inflasi dari sektor pangan cenderung menyumbang yang terbesar. Inflasi April 2017 mencapai 0,09% dan sumbangan bahan pangan mencapai 0,12%.
Fakta inflasi dari sektor pangan tentu tidak bisa terlepas dari akumulasi konsumsi yang terkait dengan jumlah penduduk, sementara di sisi lain ketergantungan terhadap pangan pokok seperti beras cenderung terus meningkat. Hal ini menjadi alasan terjadinya impor beras setiap tahun dan cenderung terus meningkat. Padahal legalitas impor beras harus menjadi penambah pasokan, bukan justru sebaliknya menjadi kebutuhan untuk mampu memenuhi tingginya ketergantungan pangan terhadap beras.
Impor beras periode Januari-Februari mencapai 14.473 ton senilai USD11,94 juta dan terbesar dari Pakistan 6.500 ton (USD2,19 juta). Oleh karena itu, beralasan jika diversifikasi pangan menjadi penting sehingga tidak tergantung pada satu pangan yang dominan, yaitu beras, sementara di sisi lain ketersediaan bahan pangan cenderung melimpah, misalnya singkong yang juga berkontribusi terhadap pemenuhan karbohidrat.
Konsistensi
Peran Bulog dalam konteks pengendalian inflasi dan problem inflasi tahunan Ramadan memberikan gambaran betapa bahan pangan adalah faktor mutlak yang harus disediakan negara. Hal ini menjadi acuan tentang urgensi peningkatan kesejahteraan petani meski di sisi lain kesejahteraan petani yang tergambar dari nilai tukar petani cenderung menurun. Konsekuensinya terjadi migrasi, yaitu tidak saja migrasi petani ke perkotaan, tetapi juga migrasi pekerjaan dari sektor pertanian ke nonpertanian, terutama sektor jasa dan sektor informal yang memberikan harapan hidup dan kesejahteraan lebih baik.
Persoalan migrasi tersebut bukan semata-mata disebabkan ketidakmampuan para petani dalam mengelola hasil pertaniannya. Namun fakta keterbatasan lahan, mahal dan langkanya pupuk, fenomena banjir dan bencana serta perkembangan permukiman dan perumahan, termasuk juga relokasi industri yang membutuhkan lahan, menjadi fakta semakin tergerusnya luas lahan pertanian.
Oleh karena itu, beralasan jika semakin banyak lahan pertanian yang beralih fungsi meski di sisi lain pemerintah juga sepakat untuk memetakan lahan hijau yang tidak bisa dialihfungsikan selain untuk pertanian. Namun dengan nilai jual dari aspek rupiah yang lebih menjanjikan, terjadilah peralihan fungsi pertanian ke nonpertanian. Bahkan cuaca yang tidak kondusif juga berperan mereduksi daya tarik sektor pertanian karena ketika musim hujan terjadi banjir, sedangkan saat musim kemarau cenderung paceklik.
Problem pelik ketersediaan pangan yang menjadi tugas berat Bulog mengacu pada 11 bahan pangan sesuai dengan arahan Perpres No 48 Tahun 2016, yaitu beras, jagung, kedelai, cabai, gula, minyak, terigu, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan telur ayam. Artinya kasus lonjakan harga dari ke-11 komoditas tersebut menjadi tantangan Bulog sehingga hal ini mengisyaratkan bahwa kasus cabai kemarin adalah persoalan yang tidak hanya dari aspek pasokan, tetapi juga distribusi. Belum reda kasus cabai, kini masyarakat juga resah dengan kasus bawang putih yang mencapai Rp50.000/kg, sementara menjelang Ramadan pasti juga akan terjadi lonjakan harga ayam ras dan telur ayam. Padahal fakta kenaikan harga daging sapi juga siap mereduksi daya beli masyarakat setiap Ramadan-Idul Fitri. Terkait hal ini, penegasan Presiden Jokowi dalam kasus daging sapi beberapa waktu lalu ternyata sulit direalisasi meski kisaran harganya dipatok Rp80.000/kg.
Kepentingan
Fluktuasi harga pangan setiap menjelang Ramadan-Idul Fitri secara tidak langsung menunjukkan adanya inkonsistensi penegasan pemerintah tentang jaminan ketersediaan dan pasokan bahan pangan. Artinya, meski pemerintah setiap tahun menegaskan jaminĀan bahan pangan, fakta menunjukkan lonjakan harga tetap terjadi dan ini bukan semata-mata disebabkan ketidaksinkronan permintaan-penawaran, tetapi juga dipicu faktor lain, termasuk misalnya kasus penimbunan oleh pedagang dan atau juga kartel demi meraih keuntungan sepihak. Fakta ini juga seharusnya menjadi problem yang harus dibereskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha agar tidak ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dengan merugikan pihak lain, terutama rakyat. Selain itu, pemerintah membentuk Satgas Pangan untuk memantau perkembangan harga dan juga mereduksi aksi spekulan, termasuk juga penindakan terhadap penimbun.
Fakta problem tahunan inflasi Ramadan dan kilas balik 50 tahun peran strategis Bulog tentu harus ada evaluasi agar ke depan peran Bulog tidak hanya memberikan kontribusi terhadap ketersediaan pangan yang mudah dan murah, tetapi juga implikasinya terhadap profit bagi negara. Artinya tidak ada alasan bagi Bulog untuk tidak memetakan berbagai soal yang ada, sebab tantangan ke depan semakin berat, bukan hanya untuk menjamin ketersediaan pangan yang mudah dan murah, tetapi juga konteks persaingan dan fluktuasi faktor makro.
Realitas ini sekaligus menegaskan bahwa jaminan pangan sekitar 250 juta rakyat saat ini tergantung pada peran Bulog, sementara prediksi jumlah penduduk tahun 2035 mencapai 350 juta jiwa yang tentunya membutuhkan peran nyata dari Bulog. Peran strategis Bulog tidak hanya menjamin ketersediaan pangan secara mudah dan murah tapi juga konsisten mendukung stabilisasi dan distribusi pangan agar tidak terbelit inflasi dari sektor pangan.
Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo
Dua pekan menjelang Ramadan ternyata gejolak harga semakin tinggi dan diperparah oleh kenaikan tarif listrik. Ironisnya kasus ini bersamaan dengan peringatan Tahun Emas Bulog pada 10 Mei 2017 sehingga ini memberikan gambaran tantangan 50 tahun peran Bulog sejak dibentuk pada 10 Mei 1967, terutama mengacu pada peran pentingnya sesuai dengan Perpres No 48 Tahun 2016 tentang Peran Bulog atas Ketahanan Pangan. Fakta ini secara tidak langsung menunjukkan Bulog sebagai BUMN tidak hanya memberikan jaminan terhadap ketersediaan pangan secara mudah dan murah untuk rakyat, tetapi juga eksistensinya untuk mencari profit. Artinya stabilisasi dan distribusi pangan yang mudah dan murah secara tidak langsung juga berperan dalam pengendalian inflasi. Padahal laju inflasi dari sektor pangan cenderung menyumbang yang terbesar. Inflasi April 2017 mencapai 0,09% dan sumbangan bahan pangan mencapai 0,12%.
Fakta inflasi dari sektor pangan tentu tidak bisa terlepas dari akumulasi konsumsi yang terkait dengan jumlah penduduk, sementara di sisi lain ketergantungan terhadap pangan pokok seperti beras cenderung terus meningkat. Hal ini menjadi alasan terjadinya impor beras setiap tahun dan cenderung terus meningkat. Padahal legalitas impor beras harus menjadi penambah pasokan, bukan justru sebaliknya menjadi kebutuhan untuk mampu memenuhi tingginya ketergantungan pangan terhadap beras.
Impor beras periode Januari-Februari mencapai 14.473 ton senilai USD11,94 juta dan terbesar dari Pakistan 6.500 ton (USD2,19 juta). Oleh karena itu, beralasan jika diversifikasi pangan menjadi penting sehingga tidak tergantung pada satu pangan yang dominan, yaitu beras, sementara di sisi lain ketersediaan bahan pangan cenderung melimpah, misalnya singkong yang juga berkontribusi terhadap pemenuhan karbohidrat.
Konsistensi
Peran Bulog dalam konteks pengendalian inflasi dan problem inflasi tahunan Ramadan memberikan gambaran betapa bahan pangan adalah faktor mutlak yang harus disediakan negara. Hal ini menjadi acuan tentang urgensi peningkatan kesejahteraan petani meski di sisi lain kesejahteraan petani yang tergambar dari nilai tukar petani cenderung menurun. Konsekuensinya terjadi migrasi, yaitu tidak saja migrasi petani ke perkotaan, tetapi juga migrasi pekerjaan dari sektor pertanian ke nonpertanian, terutama sektor jasa dan sektor informal yang memberikan harapan hidup dan kesejahteraan lebih baik.
Persoalan migrasi tersebut bukan semata-mata disebabkan ketidakmampuan para petani dalam mengelola hasil pertaniannya. Namun fakta keterbatasan lahan, mahal dan langkanya pupuk, fenomena banjir dan bencana serta perkembangan permukiman dan perumahan, termasuk juga relokasi industri yang membutuhkan lahan, menjadi fakta semakin tergerusnya luas lahan pertanian.
Oleh karena itu, beralasan jika semakin banyak lahan pertanian yang beralih fungsi meski di sisi lain pemerintah juga sepakat untuk memetakan lahan hijau yang tidak bisa dialihfungsikan selain untuk pertanian. Namun dengan nilai jual dari aspek rupiah yang lebih menjanjikan, terjadilah peralihan fungsi pertanian ke nonpertanian. Bahkan cuaca yang tidak kondusif juga berperan mereduksi daya tarik sektor pertanian karena ketika musim hujan terjadi banjir, sedangkan saat musim kemarau cenderung paceklik.
Problem pelik ketersediaan pangan yang menjadi tugas berat Bulog mengacu pada 11 bahan pangan sesuai dengan arahan Perpres No 48 Tahun 2016, yaitu beras, jagung, kedelai, cabai, gula, minyak, terigu, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan telur ayam. Artinya kasus lonjakan harga dari ke-11 komoditas tersebut menjadi tantangan Bulog sehingga hal ini mengisyaratkan bahwa kasus cabai kemarin adalah persoalan yang tidak hanya dari aspek pasokan, tetapi juga distribusi. Belum reda kasus cabai, kini masyarakat juga resah dengan kasus bawang putih yang mencapai Rp50.000/kg, sementara menjelang Ramadan pasti juga akan terjadi lonjakan harga ayam ras dan telur ayam. Padahal fakta kenaikan harga daging sapi juga siap mereduksi daya beli masyarakat setiap Ramadan-Idul Fitri. Terkait hal ini, penegasan Presiden Jokowi dalam kasus daging sapi beberapa waktu lalu ternyata sulit direalisasi meski kisaran harganya dipatok Rp80.000/kg.
Kepentingan
Fluktuasi harga pangan setiap menjelang Ramadan-Idul Fitri secara tidak langsung menunjukkan adanya inkonsistensi penegasan pemerintah tentang jaminan ketersediaan dan pasokan bahan pangan. Artinya, meski pemerintah setiap tahun menegaskan jaminĀan bahan pangan, fakta menunjukkan lonjakan harga tetap terjadi dan ini bukan semata-mata disebabkan ketidaksinkronan permintaan-penawaran, tetapi juga dipicu faktor lain, termasuk misalnya kasus penimbunan oleh pedagang dan atau juga kartel demi meraih keuntungan sepihak. Fakta ini juga seharusnya menjadi problem yang harus dibereskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha agar tidak ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dengan merugikan pihak lain, terutama rakyat. Selain itu, pemerintah membentuk Satgas Pangan untuk memantau perkembangan harga dan juga mereduksi aksi spekulan, termasuk juga penindakan terhadap penimbun.
Fakta problem tahunan inflasi Ramadan dan kilas balik 50 tahun peran strategis Bulog tentu harus ada evaluasi agar ke depan peran Bulog tidak hanya memberikan kontribusi terhadap ketersediaan pangan yang mudah dan murah, tetapi juga implikasinya terhadap profit bagi negara. Artinya tidak ada alasan bagi Bulog untuk tidak memetakan berbagai soal yang ada, sebab tantangan ke depan semakin berat, bukan hanya untuk menjamin ketersediaan pangan yang mudah dan murah, tetapi juga konteks persaingan dan fluktuasi faktor makro.
Realitas ini sekaligus menegaskan bahwa jaminan pangan sekitar 250 juta rakyat saat ini tergantung pada peran Bulog, sementara prediksi jumlah penduduk tahun 2035 mencapai 350 juta jiwa yang tentunya membutuhkan peran nyata dari Bulog. Peran strategis Bulog tidak hanya menjamin ketersediaan pangan secara mudah dan murah tapi juga konsisten mendukung stabilisasi dan distribusi pangan agar tidak terbelit inflasi dari sektor pangan.
(zik)