Berharap Sensitivitas Pemerintah
A
A
A
TANPA perlu belajar politik secara mendalam ataupun memiliki jam terbang di dunia politik yang tinggi, siapa pun pasti akan tahu bahwa ketegangan sehubungan dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 tidak akan langsung usai. Ekses-ekses persaingan masih sangat terasa dan beberapa luka sakit hati masih menganga.
Yang dibutuhkan saat ini adalah langkah yang menyembuhkan, bukan justru kian melukai. Tentunya dalam melangkah, pemerintah harus sensitif.
Dalam pilgub kemarin ada dua faktor utama yang terpolarisasi dengan sangat keras. Faktor pertama adalah pertarungan elektoral antara ketiga pasangan yang akhirnya mengerucut ke Anies-Sandi melawan Ahok-Djarot. Faktor kedua adalah tuduhan penistaan agama yang dilakukan Ahok yang familier kita kenal dengan skandal Al-Maidah 51.
Untuk faktor pertama, membuat pertarungan kedua pihak berlalu memang tidak mudah. Apalagi jika kita berkaca pada pertarungan elektoral pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 antara Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun dengan berjalannya pembangunan dan pembuktian janji, tensi akan kian kendur.
Adapun faktor kedua ini harus mendapatkan perhatian serius. Pemerintah harus mengambil beberapa langkah atas pertimbangan yang sensitif karena suasana seperti ini akan sangat merugikan bangsa dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Ada beberapa langkah yang bisa diambil.
Pertama, memberikan ruang bagi proses hukum agar berjalan sesuai dengan relnya. Proses persidangan terhadap Ahok bisa dinilai cukup baik sekalipun tekanan dari luar ruang sidang sangatlah intens.
Sekarang kalau merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Ahok sebagai terpidana memiliki hak-hak hukum. Kita bisa lihat hak-haknya inilah yang sedang diusahakan oleh pendukungnya, baik itu banding maupun penangguhan penahanan. Dari segi hukum itu sah-sah saja.
Namun sungguh tidak elok jika pemerintah melalui para pimpinan lembaga tinggi negara seperti menunjukkan keberpihakannya secara terbuka. Tengok saja Menteri Hukum dan HAM yang menemui Ahok di Rumah Tahanan Cipinang setelah Ahok divonis oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dalam tensi yang sedang tinggi, pejabat sekelas Menteri Hukum dan HAM menemui Ahok di penjara tentu akan dengan mudah ditafsirkan macam-macam. Biarlah Ahok mengurus hak-haknya sebagai terpidana, kalau sekadar menjenguk tentu banyak waktu lain untuk menjenguk.
Kedua, minimalisasi berbagai komentar yang kontraproduktif. Mungkin ada kalanya pepatah “diam itu emas” menjadi obat terbaik dalam suasana yang serba-tidak mengenakkan ini. Para pejabat dan elite politik ada kalanya perlu irit bicara dan momen ini salah satunya. Jangan sampai berbagai komentar yang muncul justru memperkeruh suasana.
Para elite politik serta para pejabat negara harus sadar bahwa yang namanya rakyat ini datang dari berbagai latar belakang sosial. Jangan paksakan rakyat untuk mengerti semua hal secara sama.
Ketiga, persibuk diri dengan program-program yang produktif. Kita tahu bahwa banyak sekali sektor yang sedang berjalan di bawah standar di negeri ini.
Pemerintah kalau memang ingin merengkuh kembali kepercayaan rakyat harus menempatkan diri dalam usaha serius memajukan negeri ini. Berbagai target pembangunan harus dikejar dan ketika akhirnya terkejar tentu dengan sendirinya mengembalikan kepercayaan rakyat.
Keempat, menjadi penengah antarkelompok yang selama ini hubungannya merenggang. Pada masa-masa seperti inilah peran pemerintah sebagai penengah sangat diperlukan.
Pemerintah adalah penengah masalah di masyarakat yang harusnya paling kompeten. Ketika misalnya dalam masalah Ahok ini ada beberapa kelompok yang bersitegang, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pribadi yang terbuka bisa mengundang mereka untuk berdialog. Bisa saja misalnya dengan mengundang beberapa kelompok untuk dialog sambil makan siang di Istana.
Semoga pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bisa arif menyelesaikan masalah yang kita rasakan ini.
Yang dibutuhkan saat ini adalah langkah yang menyembuhkan, bukan justru kian melukai. Tentunya dalam melangkah, pemerintah harus sensitif.
Dalam pilgub kemarin ada dua faktor utama yang terpolarisasi dengan sangat keras. Faktor pertama adalah pertarungan elektoral antara ketiga pasangan yang akhirnya mengerucut ke Anies-Sandi melawan Ahok-Djarot. Faktor kedua adalah tuduhan penistaan agama yang dilakukan Ahok yang familier kita kenal dengan skandal Al-Maidah 51.
Untuk faktor pertama, membuat pertarungan kedua pihak berlalu memang tidak mudah. Apalagi jika kita berkaca pada pertarungan elektoral pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 antara Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Namun dengan berjalannya pembangunan dan pembuktian janji, tensi akan kian kendur.
Adapun faktor kedua ini harus mendapatkan perhatian serius. Pemerintah harus mengambil beberapa langkah atas pertimbangan yang sensitif karena suasana seperti ini akan sangat merugikan bangsa dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Ada beberapa langkah yang bisa diambil.
Pertama, memberikan ruang bagi proses hukum agar berjalan sesuai dengan relnya. Proses persidangan terhadap Ahok bisa dinilai cukup baik sekalipun tekanan dari luar ruang sidang sangatlah intens.
Sekarang kalau merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Ahok sebagai terpidana memiliki hak-hak hukum. Kita bisa lihat hak-haknya inilah yang sedang diusahakan oleh pendukungnya, baik itu banding maupun penangguhan penahanan. Dari segi hukum itu sah-sah saja.
Namun sungguh tidak elok jika pemerintah melalui para pimpinan lembaga tinggi negara seperti menunjukkan keberpihakannya secara terbuka. Tengok saja Menteri Hukum dan HAM yang menemui Ahok di Rumah Tahanan Cipinang setelah Ahok divonis oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dalam tensi yang sedang tinggi, pejabat sekelas Menteri Hukum dan HAM menemui Ahok di penjara tentu akan dengan mudah ditafsirkan macam-macam. Biarlah Ahok mengurus hak-haknya sebagai terpidana, kalau sekadar menjenguk tentu banyak waktu lain untuk menjenguk.
Kedua, minimalisasi berbagai komentar yang kontraproduktif. Mungkin ada kalanya pepatah “diam itu emas” menjadi obat terbaik dalam suasana yang serba-tidak mengenakkan ini. Para pejabat dan elite politik ada kalanya perlu irit bicara dan momen ini salah satunya. Jangan sampai berbagai komentar yang muncul justru memperkeruh suasana.
Para elite politik serta para pejabat negara harus sadar bahwa yang namanya rakyat ini datang dari berbagai latar belakang sosial. Jangan paksakan rakyat untuk mengerti semua hal secara sama.
Ketiga, persibuk diri dengan program-program yang produktif. Kita tahu bahwa banyak sekali sektor yang sedang berjalan di bawah standar di negeri ini.
Pemerintah kalau memang ingin merengkuh kembali kepercayaan rakyat harus menempatkan diri dalam usaha serius memajukan negeri ini. Berbagai target pembangunan harus dikejar dan ketika akhirnya terkejar tentu dengan sendirinya mengembalikan kepercayaan rakyat.
Keempat, menjadi penengah antarkelompok yang selama ini hubungannya merenggang. Pada masa-masa seperti inilah peran pemerintah sebagai penengah sangat diperlukan.
Pemerintah adalah penengah masalah di masyarakat yang harusnya paling kompeten. Ketika misalnya dalam masalah Ahok ini ada beberapa kelompok yang bersitegang, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pribadi yang terbuka bisa mengundang mereka untuk berdialog. Bisa saja misalnya dengan mengundang beberapa kelompok untuk dialog sambil makan siang di Istana.
Semoga pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bisa arif menyelesaikan masalah yang kita rasakan ini.
(poe)