Konsistensi Rumah Murah

Selasa, 09 Mei 2017 - 08:12 WIB
Konsistensi Rumah Murah
Konsistensi Rumah Murah
A A A
DALAM dua pekan terakhir ini, komitmen pemerintah untuk mewujudkan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menghiasi pemberitaan di media massa. Bagaimana cara mendapatkan rumah murah tersebut?

Pertanyaan ini merebak setelah masyarakat melihat bukti bahwa pemerintah betul mewujudkan perumahan murah dengan down payment (DP) atau uang muka 1% dari harga rumah, sebagai bagian dari program sejuta rumah oleh pemerintah. Presiden telah meresmikan tiga lokasi sebagai kawasan rumah murah, yakni di wilayah Tangerang Selatan (Tangsel), Depok, Jawa Barat dan Cikarang Bekasi, Jawa Barat. Setelah itu menyusul ke berbagai wilayah seluruh Indonesia.

Wilayah Cikarang adalah lokasi terbaru perumahan murah yang diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari 8.749 unit rumah tapak dengan tipe 25/60 yang akan dibangun, sudah selesai 4.734 unit. Pemerintah mengklaim 3.162 unit sudah melakukan akad kredit dan sekitar 1.222 dalam proses akad kredit. Kini masih tersedia 4.365 unit yang akan dibangun.

Pada saat peresmian, Presiden Jokowi melakukan testimoni kepada masyarakat yang ada di lokasi atas kesanggupannya mengeksekusi rumah yang ditawarkan, baik terkait uang muka maupun cicilan rumah. Tiga warga dengan penghasilan rata-rata Rp3,5 juta per bulan yang ditanyai Presiden menyatakan sanggup beli rumah murah itu. Adapun harga rumah yang ditawarkan berkisar dari Rp112–141 juta per unit dengan DP 1% dan cicilan Rp750.000–900.000 per bulan.

Sebelumnya, Presiden Jokowi telah meresmikan proyek pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) untuk pekerja atau MBR di Tangsel. Rusunami yang diberi nama Loftvilles yang beralamat di Jalan Bukit Serua, Tangsel, Banten dipatok seharga Rp293 juta per unit dengan skema pembayaran yang sangat ringan, yakni uang muka sekitar 1% atau Rp2,9 juta dan cicilan Rp1,2 juta per bulan dengan tenor hingga 20 tahun. Untuk kawasan Depok, Jawa Barat, pemerintah menawarkan harga rumah Rp112 juta per unit dalam bentuk rumah tapak.

Soal program DP 1% tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan bagaimana hitung-hitungan pemerintah sehingga menghasilkan angka 1%. Wajar saja sebab selama ini salah satu kendala masyarakat, terutama kalangan MBR, untuk mewujudkan impian memiliki hunian terganjal pada DP atau uang muka.

Hasil survei sebuah situs properti mengungkapkan bahwa 49% pembeli rumah pertama butuh waktu setidaknya tiga tahun menabung untuk DP, selanjutnya tiga hingga lima tahun sekitar 17,7%, kemudian lebih dari lima tahun 17,14% dari total 4.200 responden. Dan, besaran DP menjadi faktor pertimbangan utama bagi masyarakat untuk menentukan jenis dan tipe huniannya.

Dari penjelasan pemerintah terungkap bahwa program DP 1% adalah bagian dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang didukung oleh Bank Tabungan Negara (BTN). Untuk menikmati fasilitas tersebut, pemerintah membagi dua MBR, yakni yang berpendapatan di bawah Rp4 juta per bulan dan di bawah Rp7 juta per bulan, dengan prioritas mereka yang belum punya rumah. Adapun bunga cicilan hanya 5% fixed hingga 20 tahun. Program ini sudah berjalan sejak 2015 lalu.

Langkah pemerintah mengatasi kebuntuan pembangunan perumahan terutama untuk masyarakat kelas bawah patut diapresiasi. Hanya, pemerintah harus diingatkan agar tetap konsisten untuk beberapa hal yang menyangkut kelangsungan program perumahan tersebut, di antaranya pemerintah harus memastikan kelancaran fasilitas bantuan berupa fasilitas subsidi bunga. Penyediaan perumahan murah sempat melambat karena proses pembayaran subsidi FLPP dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kepada BTN terlambat.

Lainnya, terkait ketersediaan sarana transportasi yang memadai. Persoalan sarana transportasi ini tak bisa diabaikan mengingat rata-rata lokasi perumahan untuk MBR kebanyakan sulit diakses oleh masyarakat. Untuk wilayah Jabodetabek, persoalan transportasi tersebut relatif lebih baik dibandingkan sejumlah wilayah lainnya di Indonesia.

Karena itu, sejumlah pengembang telah menyarankan kepada pemerintah untuk membuat zonasi jelas bagi perumahan MBR secara tegas. Selanjutnya, konsistensi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Sudah menjadi rahasia umum sering kali kebijakan pemerintah pusat tidak sejalan dengan daerah bahkan berseberangan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7831 seconds (0.1#10.140)