Anies, Polusi, dan Kemacetan Jakarta

Senin, 08 Mei 2017 - 07:31 WIB
Anies, Polusi, dan Kemacetan Jakarta
Anies, Polusi, dan Kemacetan Jakarta
A A A
Hadi S Alikodra
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB

KETIKA perhatian masyarakat Indonesia terpaku pada riuhnya kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, ada berita lain yang luput dari perhatian. Padahal, berita itu menarik dan penting karena terkait dengan isu lingkungan hidup. Berita bagus itu, para mahasiswa Indonesia meraih kemenangan besar dalam merancang mobil hemat energi dan ramah lingkungan.

Mahasiswa Indonesia, yang tergabung dalam Tim Sadewa Universitas Indonesia, menyapu bersih peringkat lima besar dalam kategori mobil konsep urban yang menggunakan bahan bakar minyak premium. Mobil hemat energi karya mahasiswa Indonesia itu dikompetisikan dalam ajang Shell Eco-marathon Asia 2017, yang diadakan di Changi Exhibition Center, Singapura, Maret 2017.

Menurut dosen pendamping Tim Sadewa, Prof Bambang Sugiarto dari Fakultas Teknik UI, mobil rancangan mahasiswa itu menggunakan bahan aluminium agar bobotnya ringan. Mobil rancangan Tim Sadewa itu terbukti paling hemat energi sehingga berhasil meraih juara pertama. Hanya dengan bensin 1 liter mobil ini bisa menempuh perjalanan sejauh 375 km. Ini melebihi jarak Jakarta-Cirebon.

Mobil yang sangat hemat energi berarti membantu mengurangi level ”penggerusan” sumber daya alam (SDA) minyak bumi yang sudah semakin langka. Dari pengekspor minyak pada 1970-an, Indonesia sekarang sudah jadi net-importer minyak bumi. Berarti, pengembangan mobil hemat energi yang ramah lingkungan secara tidak langsung ikut mendukung upaya konservasi SDA. Di sisi lain, mobil yang minim mengonsumsi bahan bakar minyak berarti minim pula emisi polusinya.

Polusi Udara
Pada 2015 Bloomberg (bloomberg.com) memublikasikan hasil penelitian tentang polusi udara dan dampak buruknya pada kesehatan manusia. Dari riset itu diketahui polusi udara di Indonesia menempati posisi kedelapan paling mematikan di dunia, dengan angka kematian rata-rata 50.000 jiwa tiap tahun.
Berdasarkan laporan Bloomberg, angka kematian akibat polusi udara sudah amat tinggi dan terus meningkat. Pada 2010, sekitar 3,3 juta orang di seluruh dunia meninggal, hanya karena menghirup debu-debu kecil yang beterbangan di udara. Jumlah korban ini diprediksi akan berlipat ganda pada 2050.

Adapun tujuh negara yang lebih buruk polusi udaranya ketimbang Indonesia adalah China, India, Pakistan, Bangladesh, Nigeria, Rusia, dan Amerika Serikat. Kondisi Indonesia jauh lebih baik dari China, yang rerata tiap tahun sekitar 1,3 juta jiwa meninggal akibat polusi udara. Sebaliknya, negara yang lebih baik kondisi polusi udaranya dari Indonesia adalah Ukraina, Vietnam, Mesir, Jerman, Turki, Iran, dan Jepang.

Polusi udara terus memekat. Menurut data yang dilansir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada September 2016, sekitar 92% penduduk dunia menghirup udara dengan kualitas buruk atau di bawah ambang batas sehat. Polusi udara adalah salah satu pembunuh terbesar di planet bumi, dengan korban meninggal mencapai 6 juta orang per tahun. Di Indonesia, menurut laporan WHO, korban polusi udara mencapai 61.000 orang tiap tahun.

Hampir 90% kasus kematian akibat polusi udara terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Sekitar 94% kematian terjadi karena penyakit tak menular seperti jantung, stroke, penyakit paru kronis, dan kanker paru. Polusi udara juga meningkatkan risiko infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Data juga menunjukkan dampak kematian akibat polusi banyak terdapat di negara Asia, termasuk China, Malaysia, dan Vietnam.

Sumber polusi udara, antara lain, moda transportasi yang tidak efisien, asap rumah tangga dan pembakaran sampah, pembangkit listrik tenaga batubara, hingga aktivitas industri. Namun, tidak semua polusi udara berasal dari aktivitas manusia. Ada juga kualitas udara buruk karena debu, terutama di wilayah-wilayah yang dekat dengan gurun. Dari semua itu, polusi terbesar berasal dari kendaraan bermotor. Dan polusi ini, bisa dikendalikan manusia melalui teknologi dan kebijakan hijau (green policy).

Kembali pada masalah polusi di Jakarta? Bisakah dikurangi? Jawabnya bisa, asal mau dan berusaha. Dalam kampanye Anies Baswedan menyatakan akan melakukan integrasi transportasi di Ibu Kota. Angkot akan masuk di perumahan, kemudian stasiunnya berada dekat pangkalan feeder untuk Transjakarta. Orang hanya butuh uang Rp5.000 untuk ongkos semua moda angkutan, dari angkot, kemudian feeder, lalu bus besar Transjakarta. Anies juga berjanji akan mengintegrasikan moda angkutan Transjakarta dengan kereta api Commuter Line.

Kemacetan
Persoalannya, apakah integrasi semua moda angkutan itu akan nyaman dan memenuhi kebutuhan kelas menengah yang car minded? Belum tentu! Moda transportasi umum yang bersifat massal seperti Transjakarta dan Commuter Line masih jauh dari nyaman untuk kelas menengah ke atas. Karena itu, mereka masih tetap memakai mobil pribadi yang highly poluted emission. Barangkali itulah yang menyebabkan jumlah kendaraan seperti mobil dan motor terus meningkat di DKI dari tahun ke tahun.

Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, berdasarkan data BPS 2015, misalnya, ada 13.989.590 sepeda motor dan 3.266.009 mobil. Dari tahun-tahun sebelumnya, peningkatan jumlah kendaraan bermotor tersebut antara 6-7% per tahun. Bisa dibayangkan, betapa macetnya Jakarta tiap hari jika para komuter (pelaju kerja dari rumah ke kantor) naik kendaraan pribadi dari rumah ke tempat kerjanya.

Saat ini hampir tiap hari, terutama pada jam-jam berangkat dan pulang kantor, macetnya luar biasa. Dari Cawang ke Grogol, misalnya, pada jam sibuk ditempuh sekitar dua jam. Ini luar biasa lama. Padahal, jarak Cawang-Grogol tidak sampai 15 km. Dengan waktu tempuh seperti itu berapa pula polutan yang disemburkan kendaraan bermotor?

Untuk mengatasi polusi dan kemacetan tersebut Pemda DKI harus membangun moda transportasi massal sebanyak mungkin di setiap jurusan (tujuan) antarpermukiman, antarpasar, antargedung perkantoran, dan antartempat kerja. Penduduk DKI pun bisa ”dipaksa” naik transportasi massal dengan menerapkan ongkos parkir yang mahal.

Di Jepang, misalnya, salah satu keengganan warga Tokyo membawa mobil pribadi adalah karena ongkos parkirnya yang sangat mahal. Di pusat keramaian Shinjuku, Tokyo, misalnya, ongkos parkir bisa mencapai Rp250.000 tiap jam. Dengan ongkos parkir sebesar itu, warga pun enggan memakai mobil pribadi.
Dampaknya, transportasi massal, terutama kereta api, menjadi andalan warga Tokyo. Bukan hanya pegawai biasa yang naik kereta api ke tempat kerja, tapi juga orang setingkat direktur jenderal pajak dan direktur Toyota Corporation mau naik kereta api.

Dengan menerapkan pola transportasi massal yang baik, lalu menerapkan ongkos parkir yang mahal, dan memberi insentif untuk kendaraan berenergi listrik yang ramah lingkungan, niscaya polusi dan kemacetan di DKI akan berkurang. Kita tunggu langkah gubernur baru, Anies Baswedan, untuk mengatur strategi dan kemudian menerapkannya.

Last but not least, penghijauan di setiap jengkal tanah Jakarta akan turut meredam polusi udara. Di kota-kota besar dunia, hutan bisa diciptakan di atap-atap gedung bertingkat dan taman-taman kota, kenapa tidak di Jakarta? Sudah saatnya, untuk meredam polusi udara Pemda DKI membuat kebijakan memperbanyak hutan kota. Pendeknya, Jakarta tidak hanya terkenal dengan hutan betonnya, tapi juga terkenal dengan hutan kotanya. Bravo Anies!
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6353 seconds (0.1#10.140)