Kampus dan Pembangunan Ekonomi
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PERJALANAN kehidupan kampus/perguruan tinggi di Indonesia memiliki keterkaitan kuat dengan proses pembangunan. Jika kita flashback sejenak dengan memori kebangkitan nasional, 20 Mei 1908 yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, didasari oleh berdirinya organisasi pergerakan pribumi pertama di Indonesia, Boedi Oetomo.
Boedi Oetomo terlahir atas prakarsa para penggiat/alumni The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), kampus untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia (Jakarta). Pendirian Boedi Oetomo kemudian mampu menginspirasi pembentukan kelompok-kelompok perjuangan pribumi lainnya.
Hal yang menarik di sini, gerakan kesadaran akan nasib kaum-kaum terjajah dan tertindas yang diinisiasi lulusan kampus, mampu mewarnai proses pembangunan dan kemerdekaan yang jauh lebih masif. Maka sewajarnya jika pusaka kemerdekaan ini mampu dibudidayakan secara kontinu oleh para penggiat kampus di masa kini.
Aktivitas kampus sangat dipengaruhi oleh konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, meliputi kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dari ketiga poin tersebut sudah tampak jelas, kontribusi perguruan tinggi sangat diharapkan terlibat aktif di dalam proses pembangunan nasional saat ini dan masa mendatang. Nah, sekarang mari kita cermati bagaimana perkembangan dunia kampus di era milenial saat ini.
Kampus sangat dicirikan secara mentereng oleh masyarakat sebagai gudang utama yang menyediakan inovasi. Sumber utamanya tentu berasal dari aktivitas penelitian yang umumnya mengkaji permasalahan dan jalan keluar (solusi) dalam setiap lapis kebijakan.
Sebagai contoh di Kota Malang, kini kita dapat menikmati aneka ragam keripik buah-buahan yang diproses melalui vacuum frying. Alat ini berhasil diciptakan oleh seorang akademisi dari Universitas Brawijaya yang dimanfaatkan UMKM untuk menciptakan produk-produk baru.
Inovasi-inovasi semacam inilah yang sangat diharapkan turut meningkatkan daya saing daerah dan nasional. Namun jika menilik kembali peringkat daya saing Indonesia secara makro, kita masih tercecer di deretan papan tengah dunia.
Kita cenderung masih di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang sangat loyal mendorong penemuan-penemuan penting yang mendukung daya saing negaranya. Berdasarkan jumlah publikasi ilmiah, negara kita menduduki peringkat keempat tertinggi di ASEAN.
Jumlah publikasi kita masih di kisaran 10.054 riset, di bawah Malaysia yang menghasilkan sekitar 25.000 riset per tahun, Singapura (18.000 riset), dan Thailand (12.000-13.000 riset).
Salah satu penghambatnya karena orientasi riset tidak didukung oleh kebijakan insentif yang mendorong (facilitative policy) masyarakat kampus berlomba membuat riset berkualitas. Sebagian lagi hasil riset juga kurang marketable karena cenderung sulit diterapkan.
Hasil-hasil dari riset tersebut seharusnya diimplementasikan ke masyarakat melalui kegiatan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, agar aktivitas sosial-ekonomi masyarakat berjalan jauh lebih efektif dan efisien.
Beberapa penemuan penting sudah diterapkan di sektor pertanian dan industri. Selain sebagai penopang pembangunan, kampus juga dijadikan sebagai ajang pencetak SDM unggulan bagi dunia kerja. Namun pada kenyataannya, output (lulusan) perguruan tinggi justru bertindak sebaliknya, dengan semakin berkontribusi terhadap peningkatan pengangguran terbuka di Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2016), lulusan program diploma dan sarjana yang terserap di dunia kerja sebanyak 14,57 juta orang yang setara dengan 12,24% dari total pekerja di Indonesia. Sementara yang gagal terserap alias menjadi pengangguran, jumlahnya mencapai 787.000 orang yang setara dengan 11,19% dari total pengangguran terbuka.
“Prestasi” ini menjadi sebuah tamparan tersendiri bagi kita semua karena trennya cenderung meningkat. Awal 2013, kontribusi kampus terhadap tingkat pengangguran baru di kisaran angka 8,59%. Jikalau proses pengelolaannya masih cenderung statis maka dapat diperkirakan kontribusinya akan terus meningkat, karena pemerintah sendiri juga semakin giat menambah kuota jumlah mahasiswa.
Menurut catatan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti), untuk saat ini jumlah perguruan tinggi sudah mencapai 3.221 unit di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk dengan 1.020 perguruan tinggi agama yang tersebar di seluruh provinsi.
Rata-rata lulusan perguruan tinggi di berbagai tingkatan sudah mencapai hingga 750.000 per tahun. Padahal, tingkat penyerapan tenaga kerja di Indonesia cenderung tidak progresif. Dari catatan BPS, jumlah penduduk yang bekerja antara Agustus 2015 terhadap Agustus 2016 (yoy) meningkat 3,59 juta orang dari semula 114,84 juta orang menjadi 118,41 juta orang.
Namun, tingkat penganggurannya hanya turun 530.000 (0,57%) dari sebelumnya 7,56 juta orang (6,18%) menjadi 7,03 juta orang (5,61%). Angka-angka tersebut sudah cukup menggambarkan sebuah tantangan terstruktur bagi pengelola perguruan tinggi di Indonesia. Karena kompetensi lulusannya harus betul-betul terkorelasi dengan kebutuhan dan persaingan dunia kerja di tingkat lokal dan internasional.
Hal yang tak kalah penting, lulusan perguruan tinggi sedianya juga harus membantu menggerakkan pertumbuhan lapangan kerja di Indonesia melalui karya-karya kewirausahaan. Mindset para mahasiswanya perlu “diintervensi” agar alokasi antara job seeker dan job creator bisa mengimbangi dinamika dunia kerja.
Apalagi, bonus demografi sudah menanti Indonesia dan perkirakan terjadi pada 2020 nanti. Output seperti inilah yang betul-betul diharapkan sebagai pengejawantahan karya pengabdian masyarakat yang paling ideal, ditambahkan juga dengan karya-karya inovatif yang mampu mendorong perekonomian agar semakin terbuka dan berjalan efisien.
Penulis menyusun beberapa pemikiran kritis, agar ke depannya kinerja layanan kampus dapat semakin berkembang dan bermanfaat.
Pertama, kampus perlu menjaga marwahnya sebagai pencetak SDM unggul dan penopang inovasi terapan bagi masyarakat. Jalan penghubungnya, kampus perlu lebih akurat menangkap kompetensi SDM dan inovasi yang dibutuhkan masyarakat.
Skema kerja sama kampus dengan sektor swasta perlu diperkuat. Bahkan untuk saat ini Kemenristek-Dikti telah memberikan kelonggaran bagi kampus yang berharap mendapat status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Salah satu keuntungannya dari adanya status PTNBH itu sendiri, konon diyakini mampu memberikan kebebasan para ilmuwan dalam melakukan dan menghasilkan sebuah temuan atau riset berbasis ilmiah.
Kedua, pengembangan melalui skema otonomi kampus perlu ditinjau ulang agar tidak disorientasi. Skema PTNBH sebenarnya mengajak para punggawa kampus untuk memulai jalan mandiri dan independen dalam hal pembiayaan hingga pengembangan kurikulum dan program studi.
Ketika pengelolaan kampus akan digarap dengan open resources, perlu ada jaminan yang utuh mengenai kesiapan para pengelolanya untuk bertindak transparan dan sustainable. Namun, berkaca dari beberapa kampus mancanegara lainnya, ada semacam kerancuan dan kerentanan mengenai hakikat perubahan sistem kelembagaan dalam skema PTNBH.
Pemberian otonomi justru menyebabkan benturan antarpersonel pengelola, apalagi jika unsur moral belum begitu kuat. Sehingga belum tentu skema PTNBH, ataupun skema lainnya melalui pembentukan satuan kerja (satker) dan badan layanan umum (BLU), menjamin layanan kampus menjadi semakin efektif dan efisien.
Kita perlu menegaskan kembali bahwa tujuan pembentukan kampus adalah menopang pembangunan. Fokus utama bagi kampus adalah tetap pada upaya bagaimana agar mampu menciptakan lulusan yang bisa memenuhi standar kebutuhan masyarakat.
Ketiga, pentingnya skema insentif fiskal kepada kampus-kampus berprestasi. Sebagai perbandingan, negara-negara di Eropa memberikan subsidi yang bejibun kepada kampus yang mampu menghasilkan pemenang hadiah Nobel (Nobel Prize).
Unsur invensi (pembaruan) dan inovasi terus terdorong karena disediakan penghargaan yang laik bagi para penemunya. Sementara di Amerika Serikat, kampus-kampus yang didesain sangat independen dan “privat” banyak menopang inovasi bagi sektor industri.
Model kerja sama seperti ini sangat dilegalkan dan menghadirkan level keuntungan yang setara (simbiosis mutualisme). Kampus-kampus di Indonesia dapat didorong untuk berperilaku yang sama agar pengembangannya semakin terarah.
Nilai keunggulannya, selain mendongkrak kualitas dan daya saing risetnya, SDM-nya (terutama dosen dan mahasiswa) bisa mengikuti perkembangan dinamis di dalam sektor industri dan tenaga kerja.
Keempat, unsur moral juga harus diperkuat melalui lembaga pendidikan. Contoh tindakan amoral yang pada akhirnya merongrong laju pembangunan ialah kasus korupsi dan tindakan yang cenderung destruktif terhadap kehidupan sosial.
Kita bisa melihat saat ini, lingkungan masyarakat yang menjadi domisili para mahasiswa justru berkontribusi terhadap tindakan destruktif sosial. Tindakan yang cenderung destruktif sosial akan berimbas negatif pada visi dan misi mahasiswa ke depannya terhadap upaya pembangunan bangsa.
Belum lagi dengan kultur apatis yang membuat peran mahasiswa menjadi kian lemah terhadap pengembangan kegiatan kemasyarakatan. Memang belum tentu penyakit sosial ini bersifat endemik kepada seluruh mahasiswa. Namun, gelagatnya semakin hari kian mengkhawatirkan.
Persoalan amoral akan melemahkan sendi-sendi perjuangan mahasiswa yang dahulunya diwariskan untuk dilestarikan. Lebih ironisnya lagi, menurut data Association of Fraud Examiners (ACFE; dalam KPK, 2015) sebanyak 75% pelaku fraud (termasuk tindak korupsi) di dunia merupakan lulusan perguruan tinggi.
Kondisi di Indonesia bahkan lebih gila lagi dengan kontribusi sebanyak 82%. KPK menjelaskan akar terjadinya korupsi di antaranya karena faktor politik, hukum, ekonomi, organisasi, krisis identitas dan orientasi kemanusiaan, kegagalan pendidikan, lemahnya kontrol dalam keluarga, aktualisasi agama terlalu normatif, serta terjadinya proses transaksional dalam aktivitas politik.
Dengan demikian, kita bisa melihat betapa penting peran kampus dalam pembangunan, khususnya bagi negara kita ini. Pendidikan merupakan unsur utama dalam mempersiapkan sumber daya andalan dalam menggapai Indonesia yang lebih baik dan mulia di masa mendatang, wallahu’alam.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
PERJALANAN kehidupan kampus/perguruan tinggi di Indonesia memiliki keterkaitan kuat dengan proses pembangunan. Jika kita flashback sejenak dengan memori kebangkitan nasional, 20 Mei 1908 yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, didasari oleh berdirinya organisasi pergerakan pribumi pertama di Indonesia, Boedi Oetomo.
Boedi Oetomo terlahir atas prakarsa para penggiat/alumni The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), kampus untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia (Jakarta). Pendirian Boedi Oetomo kemudian mampu menginspirasi pembentukan kelompok-kelompok perjuangan pribumi lainnya.
Hal yang menarik di sini, gerakan kesadaran akan nasib kaum-kaum terjajah dan tertindas yang diinisiasi lulusan kampus, mampu mewarnai proses pembangunan dan kemerdekaan yang jauh lebih masif. Maka sewajarnya jika pusaka kemerdekaan ini mampu dibudidayakan secara kontinu oleh para penggiat kampus di masa kini.
Aktivitas kampus sangat dipengaruhi oleh konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, meliputi kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dari ketiga poin tersebut sudah tampak jelas, kontribusi perguruan tinggi sangat diharapkan terlibat aktif di dalam proses pembangunan nasional saat ini dan masa mendatang. Nah, sekarang mari kita cermati bagaimana perkembangan dunia kampus di era milenial saat ini.
Kampus sangat dicirikan secara mentereng oleh masyarakat sebagai gudang utama yang menyediakan inovasi. Sumber utamanya tentu berasal dari aktivitas penelitian yang umumnya mengkaji permasalahan dan jalan keluar (solusi) dalam setiap lapis kebijakan.
Sebagai contoh di Kota Malang, kini kita dapat menikmati aneka ragam keripik buah-buahan yang diproses melalui vacuum frying. Alat ini berhasil diciptakan oleh seorang akademisi dari Universitas Brawijaya yang dimanfaatkan UMKM untuk menciptakan produk-produk baru.
Inovasi-inovasi semacam inilah yang sangat diharapkan turut meningkatkan daya saing daerah dan nasional. Namun jika menilik kembali peringkat daya saing Indonesia secara makro, kita masih tercecer di deretan papan tengah dunia.
Kita cenderung masih di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang sangat loyal mendorong penemuan-penemuan penting yang mendukung daya saing negaranya. Berdasarkan jumlah publikasi ilmiah, negara kita menduduki peringkat keempat tertinggi di ASEAN.
Jumlah publikasi kita masih di kisaran 10.054 riset, di bawah Malaysia yang menghasilkan sekitar 25.000 riset per tahun, Singapura (18.000 riset), dan Thailand (12.000-13.000 riset).
Salah satu penghambatnya karena orientasi riset tidak didukung oleh kebijakan insentif yang mendorong (facilitative policy) masyarakat kampus berlomba membuat riset berkualitas. Sebagian lagi hasil riset juga kurang marketable karena cenderung sulit diterapkan.
Hasil-hasil dari riset tersebut seharusnya diimplementasikan ke masyarakat melalui kegiatan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, agar aktivitas sosial-ekonomi masyarakat berjalan jauh lebih efektif dan efisien.
Beberapa penemuan penting sudah diterapkan di sektor pertanian dan industri. Selain sebagai penopang pembangunan, kampus juga dijadikan sebagai ajang pencetak SDM unggulan bagi dunia kerja. Namun pada kenyataannya, output (lulusan) perguruan tinggi justru bertindak sebaliknya, dengan semakin berkontribusi terhadap peningkatan pengangguran terbuka di Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2016), lulusan program diploma dan sarjana yang terserap di dunia kerja sebanyak 14,57 juta orang yang setara dengan 12,24% dari total pekerja di Indonesia. Sementara yang gagal terserap alias menjadi pengangguran, jumlahnya mencapai 787.000 orang yang setara dengan 11,19% dari total pengangguran terbuka.
“Prestasi” ini menjadi sebuah tamparan tersendiri bagi kita semua karena trennya cenderung meningkat. Awal 2013, kontribusi kampus terhadap tingkat pengangguran baru di kisaran angka 8,59%. Jikalau proses pengelolaannya masih cenderung statis maka dapat diperkirakan kontribusinya akan terus meningkat, karena pemerintah sendiri juga semakin giat menambah kuota jumlah mahasiswa.
Menurut catatan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti), untuk saat ini jumlah perguruan tinggi sudah mencapai 3.221 unit di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk dengan 1.020 perguruan tinggi agama yang tersebar di seluruh provinsi.
Rata-rata lulusan perguruan tinggi di berbagai tingkatan sudah mencapai hingga 750.000 per tahun. Padahal, tingkat penyerapan tenaga kerja di Indonesia cenderung tidak progresif. Dari catatan BPS, jumlah penduduk yang bekerja antara Agustus 2015 terhadap Agustus 2016 (yoy) meningkat 3,59 juta orang dari semula 114,84 juta orang menjadi 118,41 juta orang.
Namun, tingkat penganggurannya hanya turun 530.000 (0,57%) dari sebelumnya 7,56 juta orang (6,18%) menjadi 7,03 juta orang (5,61%). Angka-angka tersebut sudah cukup menggambarkan sebuah tantangan terstruktur bagi pengelola perguruan tinggi di Indonesia. Karena kompetensi lulusannya harus betul-betul terkorelasi dengan kebutuhan dan persaingan dunia kerja di tingkat lokal dan internasional.
Hal yang tak kalah penting, lulusan perguruan tinggi sedianya juga harus membantu menggerakkan pertumbuhan lapangan kerja di Indonesia melalui karya-karya kewirausahaan. Mindset para mahasiswanya perlu “diintervensi” agar alokasi antara job seeker dan job creator bisa mengimbangi dinamika dunia kerja.
Apalagi, bonus demografi sudah menanti Indonesia dan perkirakan terjadi pada 2020 nanti. Output seperti inilah yang betul-betul diharapkan sebagai pengejawantahan karya pengabdian masyarakat yang paling ideal, ditambahkan juga dengan karya-karya inovatif yang mampu mendorong perekonomian agar semakin terbuka dan berjalan efisien.
Penulis menyusun beberapa pemikiran kritis, agar ke depannya kinerja layanan kampus dapat semakin berkembang dan bermanfaat.
Pertama, kampus perlu menjaga marwahnya sebagai pencetak SDM unggul dan penopang inovasi terapan bagi masyarakat. Jalan penghubungnya, kampus perlu lebih akurat menangkap kompetensi SDM dan inovasi yang dibutuhkan masyarakat.
Skema kerja sama kampus dengan sektor swasta perlu diperkuat. Bahkan untuk saat ini Kemenristek-Dikti telah memberikan kelonggaran bagi kampus yang berharap mendapat status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Salah satu keuntungannya dari adanya status PTNBH itu sendiri, konon diyakini mampu memberikan kebebasan para ilmuwan dalam melakukan dan menghasilkan sebuah temuan atau riset berbasis ilmiah.
Kedua, pengembangan melalui skema otonomi kampus perlu ditinjau ulang agar tidak disorientasi. Skema PTNBH sebenarnya mengajak para punggawa kampus untuk memulai jalan mandiri dan independen dalam hal pembiayaan hingga pengembangan kurikulum dan program studi.
Ketika pengelolaan kampus akan digarap dengan open resources, perlu ada jaminan yang utuh mengenai kesiapan para pengelolanya untuk bertindak transparan dan sustainable. Namun, berkaca dari beberapa kampus mancanegara lainnya, ada semacam kerancuan dan kerentanan mengenai hakikat perubahan sistem kelembagaan dalam skema PTNBH.
Pemberian otonomi justru menyebabkan benturan antarpersonel pengelola, apalagi jika unsur moral belum begitu kuat. Sehingga belum tentu skema PTNBH, ataupun skema lainnya melalui pembentukan satuan kerja (satker) dan badan layanan umum (BLU), menjamin layanan kampus menjadi semakin efektif dan efisien.
Kita perlu menegaskan kembali bahwa tujuan pembentukan kampus adalah menopang pembangunan. Fokus utama bagi kampus adalah tetap pada upaya bagaimana agar mampu menciptakan lulusan yang bisa memenuhi standar kebutuhan masyarakat.
Ketiga, pentingnya skema insentif fiskal kepada kampus-kampus berprestasi. Sebagai perbandingan, negara-negara di Eropa memberikan subsidi yang bejibun kepada kampus yang mampu menghasilkan pemenang hadiah Nobel (Nobel Prize).
Unsur invensi (pembaruan) dan inovasi terus terdorong karena disediakan penghargaan yang laik bagi para penemunya. Sementara di Amerika Serikat, kampus-kampus yang didesain sangat independen dan “privat” banyak menopang inovasi bagi sektor industri.
Model kerja sama seperti ini sangat dilegalkan dan menghadirkan level keuntungan yang setara (simbiosis mutualisme). Kampus-kampus di Indonesia dapat didorong untuk berperilaku yang sama agar pengembangannya semakin terarah.
Nilai keunggulannya, selain mendongkrak kualitas dan daya saing risetnya, SDM-nya (terutama dosen dan mahasiswa) bisa mengikuti perkembangan dinamis di dalam sektor industri dan tenaga kerja.
Keempat, unsur moral juga harus diperkuat melalui lembaga pendidikan. Contoh tindakan amoral yang pada akhirnya merongrong laju pembangunan ialah kasus korupsi dan tindakan yang cenderung destruktif terhadap kehidupan sosial.
Kita bisa melihat saat ini, lingkungan masyarakat yang menjadi domisili para mahasiswa justru berkontribusi terhadap tindakan destruktif sosial. Tindakan yang cenderung destruktif sosial akan berimbas negatif pada visi dan misi mahasiswa ke depannya terhadap upaya pembangunan bangsa.
Belum lagi dengan kultur apatis yang membuat peran mahasiswa menjadi kian lemah terhadap pengembangan kegiatan kemasyarakatan. Memang belum tentu penyakit sosial ini bersifat endemik kepada seluruh mahasiswa. Namun, gelagatnya semakin hari kian mengkhawatirkan.
Persoalan amoral akan melemahkan sendi-sendi perjuangan mahasiswa yang dahulunya diwariskan untuk dilestarikan. Lebih ironisnya lagi, menurut data Association of Fraud Examiners (ACFE; dalam KPK, 2015) sebanyak 75% pelaku fraud (termasuk tindak korupsi) di dunia merupakan lulusan perguruan tinggi.
Kondisi di Indonesia bahkan lebih gila lagi dengan kontribusi sebanyak 82%. KPK menjelaskan akar terjadinya korupsi di antaranya karena faktor politik, hukum, ekonomi, organisasi, krisis identitas dan orientasi kemanusiaan, kegagalan pendidikan, lemahnya kontrol dalam keluarga, aktualisasi agama terlalu normatif, serta terjadinya proses transaksional dalam aktivitas politik.
Dengan demikian, kita bisa melihat betapa penting peran kampus dalam pembangunan, khususnya bagi negara kita ini. Pendidikan merupakan unsur utama dalam mempersiapkan sumber daya andalan dalam menggapai Indonesia yang lebih baik dan mulia di masa mendatang, wallahu’alam.
(poe)