Merawat Kebinekaan Indonesia

Sabtu, 06 Mei 2017 - 07:55 WIB
Merawat Kebinekaan Indonesia
Merawat Kebinekaan Indonesia
A A A
Dr Budiharjo MSi
Wakil Dekan II Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta

KEUTUHAN dan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara kian menghadapi tantangan yang berat. Persoalan politik dan sosial dewasa ini, bermain peran begitu hebat dalam menentukan wajah negara bangsa yang menganut berbeda-beda tapi tetap satu pada masa depan.

Kita menyadari sepenuhnya bahwa definisi kesatuan (unity) bukan keseragaman (unifomity). Ini yang menyebabkan pada Proklamasi 1945 ditambah dan dipertegas dengan kalimat ”Bhineka Tunggal Ika” sebagai semboyan hidup berbangsa.

Artinya, kita memang satu, namun beraneka ragam agama dan budaya. Ibarat sebuah taman, rakyat dituntut untuk menjaga, menyiram, dan me­ngembangkannya sehingga rumah Indonesia menjadi semakin indah dan nyaman dihuni oleh semuanya.

Negara harus memperkuat pemahaman kehidupan kita beragam, bukan seragam. Membangun kebinekaan bukan hal yang mekanistis teknis, melainkan suatu hal yang dinamis.

Kelompok dan komponen bangsa boleh saja berbeda-beda pendapat dan tampil dengan kekhususannya masing-masing. Namun, bersamaan dengan itu semua, kelompok dan komponen bangsa harus tetap bersatu padu dalam ketunggal-ikaan sebagai satu masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Kalau tidak, bangsa yang telah dibangun dengan susah payah ini akan hancur. Dinamika ini harus merupakan penghayatan semua kelompok/komponen bangsa Indonesia yang satu, hidup dan lestari.

”Bhinneka Tunggal Ika” itu tentu memiliki dasar yang kuat, antara lain historis, sosial, politik, ekonomi, militer, keagamaan dan cabang-cabang­nya. Dasar yang kuat itu berisikan berbagai motivasi dan dimensi yang baik, yang mengarah pada kelestarian kehidupan bersama semua pihak dan semua komponen bangsa.

Namun, di tengah jalan, upaya melestarikan kehidupan yang harmonis ini mendapat batu sandungan berupa lahirnya berbagai upaya dari sekelompok masyarakat yang ingin mendapatkan pengakuan identitasnya, baik secara lokal maupun nasional. Usaha memperoleh pengakuan tersebut begitu masif sehingga rawan menimbulkan konflik antarkelompok.

Identitas kelompok ini berisi data-data individu yang sangat banyak. Dengan banyaknya individu dalam sebuah kelom­pok, maka akan semakin mudah untuk memaksakan kehendak atas nama kepentingan kelompoknya itu.

Berdasarkan kenyataan ini, berbagai upaya mereka lakukan untuk memperoleh pengakuan dari pihak lain agar bisa dipahami sebagai upaya menonjolkan identitas kelompoknya semata.

Pembubaran kegiatan keagamaan, tawuran antarpelajar, penyerbuan terhadap kelompok tertentu hingga adanya pressure group atas kelompok politik berbeda men­jadi bukti bahwa ada intimidasi identitas kelompok tertentu yang lebih berkuasa, terhadap kelompok lain yang dianggap lemah.

Dalam kondisi belakangan, keadaan ini tampak meningkat, yang kalau berkembang terus akan mengganggu per­satuan dan kesatuan bangsa. Apalagi ber­kaitan dengan makin sensitifnya masalah SARA belakangan ini di Indonesia.

Lalu pertanyaannya, bagai­mana mengatasi masalah ter­sebut? Dalam bidang agama, orang Indonesia seyogianya memberlakukan identitasnya secara utuh sebagai orang Indonesia.

Ibarat kata, jika muslim maka jadilah muslim Indonesia. Jika kristiani, maka jadilah kristiani yang Indonesia. Begitu seterusnya. Kita semua memiliki perbedaan sekaligus juga memiliki persamaan. Jika yang ditekankan hanya kesamaan atau perbedaan, maka itu tidak adil terhadap rakyat yang majemuk itu sendiri.

Negara harus memberi penekanan identitas masyarakat yang utuh, dengan kesamaan dan perbedaannya sebagai sebuah dinamika. Itu menjadi ke­nyataan kemajemukan masyarakat Indonesia berasaskan ”Bhinneka Tunggal Ika”.

Rakyat harus dibiasakan untuk saling menerima persamaan sekaligus perbedaan dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa. Terlebih lagi rakyat perlu makin berusaha membudidayakan dinamika yang ada dalam kehidupan keragaman sosial politik.

Kebiasaan dalam keragaman menjadi penting karena jika negara berat sebelah ke kelompok tertentu, maka itu bisa saja melahirkan konflik yang menuju disintegrasi bangsa dan kemudian melahirkan kenyataan yang pada gilirannya sulit untuk rekonsiliasi.

Negara harus mengubah paradigma tentang ancaman terhadap ”Bhinneka Tunggal Ika”. Selama ini, penulis meng­amati ancaman terhadap ”Bhinneka Tunggal Ika” yang telah sampai pada bentuk ancaman serius bagi keutuhan ideologi negara, sepertinya dimaknai sebagai sebuah peristiwa politik biasa saja.

Seolah, selama tidak mengancam keutuhan kekuasaan politik, semua dianggap wajar dan bukan hal yang luar biasa untuk di­tangani. Atas nama demokrasi dan reformasi, seolah semuanya sah-sah saja dilakukan.

Kondisi ini sebenarnya kian mengkhawatirkan karena secara faktual ada saja kelompok yang selalu mengatasnamakan mayoritas dengan leluasa menekan hingga berperilaku anar­kistis menyerang dan merusak komunitas lain yang berbeda.

Tentu yang paling menyedihkan adalah dibiarkan dan dipeliharanya nafsu politik kelompok yang secara sistemik mem­bangun kinerja politik yang bertujuan menciptakan negara dalam negara.

Pancasila yang tidak terpisahkan dari UUD 1945 sebagai batang tubuh yang menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan ber­bangsa dan bernegara, seperti tidak digubris. Dalam kenyataannya, telah bermunculan ”negara-negara” kecil di berbagai daerah (kabu­paten/ kota) yang memberlakukan ”hukum lain” di luar hukum positif yang berlaku.

Kita harus berani merumus­kan ancaman terhadap kebinekaan bukan hanya seputar imperialisme kebudayaan yang melulu diartikan dan ditujukan hanya pada ancaman yang da­tang dari Barat. Tidakkah imperialisme itu juga bisa datang dari Timur? Ini menjadi kontemplasi kita semua, yang ingin merawat kebinekaan Indonesia.

Dengan kata lain, nilai-nilai kebaikan dalam agama dan budaya yang universal wajib diterima. Dia dimaknai sebagai pengayaan yang memberi nilai tambah pada kebudayaan bangsa.

Hanya saja, simbol-simbol keagamaan yang menyertakan identitas budaya impor dan yang cenderung menghilangkan identitas keindonesiaan, harus dengan tegas dinyatakan sebagai infiltrasi budaya yang negatif dan perlu disikapi dengan tegas. Selain identitas agama dan kelompok, hal lain yang men­jadi ancaman terhadap ”Bhinneka Tunggal Ika” adalah lunturnya nasionalisme di kalangan masyarakat.

Kita perlu bertanya pada diri sendiri, nasionalisme seperti apa yang kita anut? Pancasila yang mana dan versi siapa yang kita hayati selama ini? Jangan sampai atas nama nasionalisme, justru yang terjadi adalah menjual negara dan bangsa kepada asing untuk kepentingan kelompok dan pribadi.

Penulis mengajak semua pihak untuk melakukan redefinisi dan reaktualisasi tentang nasionalisme, demokrasi dan seterusnya, dalam konteks keindonesiaan kontemporer. Tentunya dalam satu kesepakatan bahwa Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Merah Putih dan NKRI, merupakan kesepakatan politik nasional yang bersifat final.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0818 seconds (0.1#10.140)