Puisi sebagai Kesaksian

Sabtu, 06 Mei 2017 - 07:05 WIB
Puisi sebagai Kesaksian
Puisi sebagai Kesaksian
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

KALAU harus menyebutkan identitasnya, apakah Dr AB Susanto seorang ’scholar’, birokrat, atau seni­man, kita menyebutnya se­orang scholar. Tapi, dia juga menulis puisi. Mungkin ini kumpulan puisinya yang pertama. Judul­nya: Per­jumpaan—Die Begeg­nung—The Encounter.

Sikap hidupnya sebagai se­orang ’scholar’ tadi kelihat­an­nya berpengaruh besar ter­hadap caranya menulis puisi. Pertama, puisi ditulis dalam tiga bahasa yang memesona. Kedua, puisi­nya ditata sedemikian rupa, ke dalam bagian-bagian yang menggam­bar­kan wilayah per­gulatan pemikirannya. Bagian paling awal diberi judul ’Leadership’, yang ke­dua ’Family and Friends’, ke­tiga, ’On Getting Older’, dan yang ke­empat ’For Our Country’.

Konsultan ini mengutamakan kata kunci ’leadership’ di bidang bisnis. Sedang dalam kehidupan pribadinya pun, sebagai seorang yang taat dan saleh memanggul ajaran Kristen, ’leadership’ itu men­jadi wujud keutamaan hidup. Tempatnya pun, di buku ini, di bagian pertama, dan ’leader’ paling sejati, dalam pemikirannya, Tuhan. Begitu cara pan­dang seorang hamba yang ber­iman.

Saya kira ini sebuah kesaksian. Fenomena demi fenomena dalam hidup diamatinya, dipahami dengan rasionalitas dan penalaran kritis, dan dirasakan dengan ’rasa’ yang terdalam dan jauh dari polusi apa pun, untuk kemudian dinyatakan dengan kerendahan hati sebagai bentuk kesaksiannya atas hidup dan kehidupan di sekitarnya. Maksudnya di sekitar komunitasnya—komunitas orang be­riman—, komunitas dunia bisnis, maupun ’academic community’ yang memperkaya pemikirannya.

Kalau pembaca memperoleh buku ini dan membacanya seperti saya membaca, dengan mengutamakan struktur lebih dulu, untuk tahu apa isi di dalamnya agar bisa menulis kata pengantar dengan baik dan memadai, mungkin Anda akan merasakan apa yang saya rasakan: tidak bisa rileks serileks membaca karya seni yang lain. Bau pemikiran seorang ’scholar’ di dalam kumpulan puisi ini sangat terasa.

Tapi, sesudah tahap itu saya lalui, kemudian saya membaca satu per satu puisi di dalam kumpulan ini, saya merasa berhadapan bukan dengan seorang ’scholar’, tapi dengan seorang warga negara yang mengharapkan agar pemimpin mengambil tindakan tepat dan di sana ada harapan, tapi juga kecemasan.

Ada momentum lain ketika yang kita hadapi seorang pemeluk Kristen yang taat, yang menyerahkan secara utuh hidupnya pada Tuhan, dan menjadikan Tuhan pemimpinnya. Di sini tersirat universalitas iman, dan penyerahan diri seorang hamba yang saleh, untuk tidak berpaling dari wajah Tuhan yang maha pe­murah dan maha pengasih.

Dalam puisi ”Tuhanku Pemimpinku’, puisi pertama dalam buku ini, dia berkata: ‘Pada saat aku ragu-ragu dan cemas..../ Aku berdo’a, memohon terang..../ Agar dapat me­milih.....antara yang gelap dan yang terang’.

Dan, kita pun merasa, dalam tradisi Islam, kita pun berbicara tentang perkara yang sama. Kita minta dibimbing dari ke­gelapan ke arah cahaya terang, cahaya-Mu. Dan, tak heran kita ketika Chairil berdoa: ”Di pintu­m­u aku mengetuk Aku tak bisa berpaling.’

Dr AB Susanto memang se­orang ’scholar’, bukan penyair seperti Chairil, sehingga rumusan teologisnya formal, seperti mungkin ungkapan pa­kem gereja. Tapi, kalau ini bukan satu-satunya karya seninya, dan buku kedua dan seterusnya akan lahir, plastisitas bahasanya pasti akan berubah: bebas, leluasa, dan tak ragu meninggalkan formalitas baku yang kurang menolongnya untuk berbicara dalam keindahan ungkapan seni.

Saya menyebut karya ini ’Puisi sebagai Kesaksian’, terutama karena apa yang diung­kap­kannya dalam cakupan wilayah yang luas itu sang penulis menunjukkan dirinya mengamati keadaan, dan mencatat dalam kenangannya sebagai suatu fenomena, dan kemudian dengan daya cipta seninya, fenomena itu lahir kembali sebagai realitas baru.

Dalam proses ini kita mencatat bahwa dia juga sedang menyampaikan kesaksiannya kepada kita. Mungkin, dia seorang ’saksi’ kehidupan yang jeli. Ketika berbicara sebagai orang Kristen, dia tak tampak melambung tinggi dengan kesombongan rohaniah, tapi dia sekadar bersaksi, dirinya hanyalah orang biasa.

Maksudnya, dia tak pernah membuat klaim bahwa dirinya orang saleh. Dalam puisi ’Ketika Aku berkata: Aku Seorang Kristen’; ’Aku seorang Kristen/ Aku tidak berteriak: Aku terselamatkan/ Aku hanya berbisik: Aku tersesat...’ Di sini kita mencatat kerendahan hati, atau mungkin semangat dari jiwa orang selalu siap menyatakan ’internal relativism’, dan biarlah orang lain yang menilai kesalehan kita.

Apakah ini bukan wujud iman, yang juga diperjuangkan untuk dimiliki oleh setiap ham­ba yang merindukan kedekatan dengan yang maha pencipta, dan yang disebutnya pemimpin tadi? Mata kita terbuka bahwa puisi mengangkut muatan rohaniah yang begitu meng­getarkan jiwa kita.

Dalam puisi yang sama, selanjutnya dia berkata: Ketika aku berkata, ’Aku Seorang Kristen’/ Aku tidak bergaya untuk menjadi kuat/ Aku mengakui bahwa aku lemah. Ini pun sebuah kerendahan hati orang beriman, yang paham akan kelemahan dirinya.

Tinjauan ini berangkat dari ’content’, yang merupakan kajian ilmu sosial, dan bukan seni yang berangkat dari sudut pandang kesastraan. Dengan begitu, mohon jangan ada yang berharap ini dan itu yang me­rupakan wilayah kajian sastra. Saya merasa bahwa dilihat dari sudut puisi, karya AB Susanto ini lebih merupakan ungkapan pemikir­an seorang ’scholar’ daripada kebebasan ekspresi jiwa seorang seniman. Kelihatannya puisi-puisi ini dipandu oleh semangat zaman Balai Pustaka yang meng­utamakan keindahan ’bunyi’.

Dalam Puisi ’Majulah Peng­usaha Indonesia’, penulis ber­kata: ’Fajar telah menyingsing di Asia.../ Jangan biarkan ’be­ruang’ dan ’harimau’ mengaum... tanpa terpadu dengan suara gagah burung Garuda’.

Ini mungkin suara orang dalam, suara dunia usaha di negeri kita sendiri, yang punya nasionalisme, yang tak rela orang asing merajalela me­nguasai kita? Ini sebuah kemarahan yang orisinal dari orang kita sendiri, para anak negeri, yang oleh pelukis Joko Pekik cukup di­simbolisasikan dengan lukisan Buaya: gambar­an keserakahan kaum kapitalis yang memorak-porandakan hidup kita.

Fenomena ini tampil sebagai kesaksian sang penulis atas apa yang tak menggembirakan hati­nya. Dia bersuara untuk kita, mewakili kita yang tak bisa bersuara sendiri. Dalam puisi ”Gus Dur sang Penembus Batas’, dia menyaksikan sepak terjang Gus Dur dengan rasa kagum yang sukar disembunyikan.

’Di balik kebiasaanmu ber­sarung dan duduk bersila di bawah/ Engkau.../ Menembus batas geografis, budaya dan kepercayaan..’ Dan dalam puisi ’Gus Dur yang Baik’ kekaguman itu terungkap lebih jelas: ’Di samping puji dan puja/ Di sam­ping kagum dan hormat/ Adakah hal lain yang akan lebih berman­faat?’ Gus Dur memang menjadi pujaan.

Dia ’harta’ kekayaan bangsa yang mahal harganya. Dia layak dipuja-puja tapi tak boleh menyentuh wilayah kultus yang dilarang itu. Apa yang diungkapkan di sini hanya sebuah kesaksian dari seorang penulis yang memandang dengan ketajaman mata hatinya. Inilah ’Puisi sebagai Kesaksian’ yang jujur terhadap berbagai fenomena dalam hidup kita.

Judul ’Perjumpaan’ itu sendiri juga mengandung makna sebagai sebuah kesaksian. Penulis bagaikan seorang musafir. Dalam hidupnya di dunia bisnis, dia melek, sensitif dan mencatat—sekali lagi—dalam ke­nangannya berbagai fenomena yang dijumpainya.

Sebuah pengantar tak perlu membahas semua unsur di dalam buku yang diantarnya. Sebaiknya kita berhenti sampai di sini. Kita tak boleh mengantar sampai ke tempat tujuan karena puisi ini sudah tahu jalan ke sana. Kita harus percaya, puisi tak perlu pengantar.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0714 seconds (0.1#10.140)